Sukses

Jejak Dokter R Soetijono dan Bunker Penyimpanan Obat di RSUD Blora

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr R Soetijono Blora, Jawa Tengah, akan menggelar ulang tahun yang diperingati tiap 27 Maret, ada banyak cerita menarik awal-awal pendiriannya. Cikal bakal rumah sakit pelat merah ini ternyata punya sejarah yang belum banyak diketahui masyarakat.

Liputan6.com, Blora - Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr R Soetijono Blora, Jawa Tengah, akan menggelar ulang tahun yang diperingati tiap 27 Maret, ada banyak cerita menarik awal-awal pendiriannya. Cikal bakal rumah sakit pelat merah ini ternyata punya sejarah yang belum banyak diketahui masyarakat.

Jika merujuk data pendiriannya, rumah sakit ini mulai dirintis oleh badan zending Jerman Neukirchenn Missionhaus (tergabung di Salatiga Zending) sebuah organisasi pekabaran Injil di masa penjajahan Belanda. Program kerjanya adalah, bidang keagamaan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kegiatan sosial.

Untuk bidang kesehatan, badan Zending kemudian mendirikan rumah sakit di Blora. Namanya, Rumah Sakit Umum Zending Blora. Rumah sakit ini didirikan tahun 1907 silam atau kalau dihitung hingga sekarang, rumah sakit ini sudah berumur 116 tahun lamanya. Sebuah pengabdian lama bagi sebuah organisasi di bidang kesehatan.

Rumah sakit ini pertama kali beroperasi dengan tiga orang tenaga medis. Sebagai pimpinan, DS Van Engelen seorang warga Belanda, dibantu seorang suster berkebangsaan Jerman dan satu orang bidan. Sayangnya, untuk kedua nama dimaksud belum terdokumentasi. Rumah sakit ini juga kabarnya dibantu oleh sejumlah dokter tenaga lepas, ketika itu.

Pertama kali dibuka, rumah sakit Zending memiliki fasilitas terbatas. Hanya kamar operasi ditambah fasilitas komunikasi berupa telepon bantuan sambungan dari Rembang. Tentu saja di zaman penjajahan, fasilitas kesehatan menjadi hal berarti bagi masyarakat.

Kali pertama pendiriannya, Rumah Sakit Zending Blora berada di Jl Gunung Sindoro, Kelurahan Tempelan, Kecamatan Blora Kota (sekarang SDN I Tempelan). Selanjutnya rumah sakit pindah ke Jalan dr Sotomo, Blora dari tahun 1912 hingga sekarang ini.

Untuk anggaran operasionalnya, rumah sakit Zending juga dibantu oleh Pemerintah Belanda, ketika itu. Salah satu alasannya, karena masalah kesehatan menjadi hal penting, baik untuk orang Belanda yang tinggal di Blora dan masyarakat sekitar.

Menurut Direktur RSUD Blora dr Puji Basuki, soal sejarah awal rumah sakit hingga sekarang, bahan baku sejarahnya masih terbatas. Sedangkan, data lama yang tersimpan, diakui belum banyak.

"Soal itu, masih banyak data yang mesti terus ditelusuri. Mulai dari tempat pertama didirikan, hingga kepindahan di rumah sakit yang sekarang kita tempati ini," ujarnya pada Liputan6.com di Blora.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

2 dari 3 halaman

Kepala RS Pertama dari Pribumi

Tahun 2017, peristiwa bersejarah terjadi di Rumah Sakit Umum Zending Blora, yaitu ditunjuknya seorang bernama dr Sutomo, sebagai pimpinan rumah sakit dari kalangan pribumi.

Namun, tak banyak cerita soal sosok dr Soetomo saat mengelola rumah sakit tersebut pada era penjajahan Belanda. Hingga kemudian terjadi Perang Dunia II tahun 1940, yang konon berdampak pada krisis keuangan. Penyebabnya, bisa jadi karena konflik antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Jerman.

Hal ini bisa dimaklumi. Karena pendirian awal Rumah Sakit Zending secara pendanaan dibantu Jerman dan juga Belanda. Sehingga ketika Perang Dunia ke II pecah, program-program kerja sama kedua negara otomatis ikut terseret. Kondisi itu diperparah dengan datangnya Jepang ke Indonesia tahun 1942.

Untuk mengantisipasi keberlanjutan Rumah Sakit Zending, pihak Gereja Jawa Selatan yang konon sebagai pengelola Zending Blora menyerahkan Rumah Sakit Zending Blora ke Bupati Blora, tepatnya pada 27 Maret 1950.

Saat proses penyerahan, pimpinan Rumah Sakit Zending Blora dipegang dr R Soetijono ke Bupati Blora, yang ketika itu dijabat R Siswadi Djojo Soerono yang menjabat dari tahun 1950 hingga tahun 1952.

Menurut Direktur RSUD Blora dr Puji Basuki, dipakainya nama dr R Soetijono sebagai nama RSUD Blora, itu karena dia pernah menjabat sebagai pimpinan Rumah Sakit Zending Blora yang kemudian diserahkan ke Bupati Blora, ketika itu.

"Jadi nama dr R Soetijono itu memang ada sejarahnya,” tandasnya.

 

3 dari 3 halaman

Bunker Bawah Tanah untuk Simpan Obat

Dalam sebuah keterangan, Direktur RSUD Blora dr Puji Basuki menceritakan sejumlah peninggalan Belanda. Namun, aset tua berumur satu abad lebih tersebut tinggal beberapa saja.

Di antaranya yang disebut gedung SHD berada di salah satu area RSUD Blora. Gedung tersebut, kabarnya dibangun awal-awal rintisan saat masih bernama Rumah Sakit Zending Blora.

"Itu salah satu gedung peninggalannya," ujar dr Puji Basuki.

Selain itu, ada juga bunker yang kini berada di bawah ruang Rawat Inap RSUD Blora. Secara etimologis, bunker bisa disebut jenis bangunan pertahanan militer. Bunker biasanya dibangun di bawah tanah dan banyak dibangun saat Perang Dunia I dan II. Pada masa itu, bunker besar dibangun untuk mengantisipasi kemungkinan perang nuklir.

Menurut dr Puji Basuki, bunker bangunan peninggalan Rumah Sakit Zending Blora, kini masih tetap difungsikan. Tetapi bukan untuk bersembunyi, justru untuk simpan obat.

"Tetap masih kita jaga. Meski difungsikan untuk simpan obat," paparnya.

Dokter Puji Basuki berharap, dengan HUT RSUD Blora yang telah berumur, akan menjadi tempat rujukan masyarakat di Blora. Menjadi rumah sakit dengan visi dan semangat pengabdian. Setidaknya mencontoh para dokter dan tenaga medis awal berdirinya rumah sakit ini.

"Kita terus berbenah. Selamat ulang tahun untuk para karyawan di rumah sakit ini," dia menandaskan.