Liputan6.com, Yogyakarta - Dalam menyambut Ramadan, masyarakat memiliki berbagai macam aktivitas budaya atau tradisi. Bagi masyarakat Jawa sendiri, kehadiran bulan Ramadan identik dengan tradisi ruwahan.
Ruwahan merupakan tradisi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun. Tradisi ini menggabungkan kepercayaan adat dan ajaran agama Islam.
Tradisi ini bertujuan untuk mendoakan para leluhur. Selain itu, melalui tradisi ini masyarakat akan berbagi sedekah dengan orang-orang sekitar.
Advertisement
Baca Juga
Mengutip dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, ruwahan sebenarnya berasal dari kata 'ruwah', yakni nama Jawa untuk bulan ketujuh dalam kalender Islam dan berbarengan dengan bulan Sya’ban. Kata 'ruwah' sendiri memiliki akar kata 'arwah' atau roh para leluhur dan nenek moyang.
Dari kata arwah inilah akhirnya tradisi ini dijuluki dengan nama ruwahan sekaligus dijadikan sebagai bulan untuk mengenang para leluhur. Tradisi ini melambangkan kesucian dan rasa sukacita memasuki bulan Ramadan.
Adapun selain mengirim doa, ruwahan juga dilakukan untuk memohon ampunan Tuhan. Ruwahan juga diisi dengan kenduri warga sebagai ungkapan terima kasih atas limpahan rezeki dan keselamatan dalam bekerja.
Sementara itu, kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ruwahan adalah membersihkan makam leluhur. Selanjutnya, masyarakat melangsungkan nyadran bersama atau ziarah kubur sambil membawa kembang setaman dan kemenyan (setanggi).
Masyarakat pedesaan melakukan tradisi ini dengan mengunjungi makam atau rumah seseorang yang dituakan. Masing-masing keluarga membawa berbagai macam makanan ke tempat nyadran.
Setelah doa bersama, makanan yang dibawa oleh peserta selanjutkan ditukarkan antar keluarga. Kemudian, mereka akan menyantap makanan bersama-sama.
Makanan yang biasanya dibawa berupa nasi ambengan dan berbagai macam jajanan tradisional, seperti wajik, jadah, tape ketan, ketan-kolak-apem. Selain itu, ada juga berbagai macam buah, seperti jeruk, jambu, dan pisang.
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak