Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Robiansyah duduk bersila di warung kopi di seberang sebuah sekolah kayu berbentuk bangunan panggung. Di hadapannya duduk beberapa kawannya yang sering sama-sama ke hutan untuk mengambil air nira.
Dia adalah Kepala Sekolah MTs Baiturrahman, sebuah sekolah swasta di Desa Selerong, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Robi, sapaan akrabnya, bercerita tentang kondisi sekolahnya kepada teman-teman sesama usaha gula aren.
Tentu cerita itu, meski sedih, dibuat jadi bahan tertawaan. Salah satu kelebihan orang Kutai, selalu membuat banyak hal jadi candaan, walau sebenarnya bukan hal lucu yang harus ditertawakan.
Advertisement
Baca Juga
Meski berstatus kepala sekolah, Robi tetap menyadap nira untuk diolah menjadi gula aren. Salah satu cara agar dapur tetap ngebul. Tak banyak siswa di sekolahnya. Hanya ada 65 siswa yang terbagi menjadi tiga kelas.
"Siswa kelas 7 itu 19 siswa, kelas 8 ada 21 siswa, kelas 9 cukup banyak ada 25 siswa. Total gurunya ada 11 orang termasuk saya," kata Robi kepada liputan6.com, Rabu (15/3/2023).
Masalah utama sekolah ini, keluhnya, adalah bangunan yang sudah mulai lapuk. Saat dikunjungi, bagian paling rentan adalah atap. Beberapa pondasi atap juga terlihat lapuk. Robi pun khawatir jika ada angin kencang atau puting beliung bisa membuat atap sekolah ambruk.
Uniknya, sekolah ini membelakangi jalan. Padahal dahulu sekolah ini menghadap jalan dengan lapangan di depannya."Dulu di belakang sekolah itu hutan. Tiba-tiba berubah jadi jalan dan jadi jalan utama," katanya.
Soal biaya bulanan, sekolah ini tak menarik sepeserpun kepada siswanya. Hanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jadi tumpuan utama untuk menghidupi sekolah.
Tak hanya operasional sekolah, dana BOS juga digunakan untuk menggaji guru. Tentu bisa ditebak seberapa besar gaji guru jika melihat besaran dana BOS yang mereka terima.
"Sekolah hanya sanggup menggaji Rp350 ribu per bulan. Termasuk saya sebagai kepala sekolah," kata Robi sambil tersenyum.
Sulit mengartikan senyuman pemuda yang belum genap 40 tahun ini. Tapi jika ditanya kenapa masih bertahan di sekolah ini, arti senyuman itu bisa kita tebak.
"Sekolah ini masih dibutuhkan anak-anak di sini. Sekolah ini harus tetap ada," katanya tegas meski sedikit lirih.
Simak juga video pilihan berikut:
Putus Sekolah
MTs Baiturahman dibentuk setelah sebuah SMP tutup karea aktivitas perusahaan kayu berhenti. Tujuannya mulia, agar anak lulusan SD tak perlu keluar desa untuk melanjutkan sekolah.
"Dulu ini SMP swasta. Setelah di desa sebelah ada SMP Negeri, gurunya berhenti dan tidak ada yang mengajar. Petinggi desa berembuk dan sepakat mendirikan MTs pada tahun 2001," kenang Robi.
Mereka komitmen untuk menggratiskan biaya sekolah dan itu bertahan hingga kini. Bahkan sebisa mungkin tak ada pungutan apapun kecuali terpaksa. Itu pun untuk kegiatan sekolah yang berdampak langsung ke siswa.
Meski di desa sebelah ada SMP Negeri, Robi menyebut tidak semua warga di Desa Selerong mampu. Mereka terkadang kesulitan untuk mengantar anaknya ke sekolah.
"Tidak semua orangtua punya kendaraan. Kesibukan di ladang (berkebun) atau di sungai (nelayan), terkadang membuat warga memilih tak melanjutkan pendidikan anaknya," kata Robi.
Sementara di desa ini ada dua sekolah dasar. Tentu banyak lulusan SD yang tidak terserap. Maka MTs Baiturrahman diperjuangkan menjadi solusi bagi orangtua yang tetap ingin anaknya bersekolah.
"Kami ini sulit bersaing dengan sekolah negeri, kami akui itu. Modal kami cuma semangat," ungkapnya.
Soal bangunan, Robi bersama rekan guru lainnya sudah berusaha mengajukan proposal ke banyak pihak. Sementara jika mengandalkan bantuan dari Kementerian Agama, antreannya panjang.
"Kami pernah dapat bantuan pada tahun 2007 dari Kemenag, itu untuk meninggikan bangunan kayu yang dulu sering banjir," kata Robi.
Saat ini, sambungnya, perbaikan bangunan yang menjadi prioritas. Namun mereka tak tahu kapan bisa dapat dana untuk memperbaiki bangunan sekolah.
"Tunggu keajaiban," katanya tertawa lepas diikuti oleh kawan-kawannya.
Advertisement
Mengakali Insentif
Pendapatan guru memang tidak hanya dari honor sekolah. Ada insentif yang diberikan pemerintah setiap bulan.
Namun, untuk mendapatkan insentif, setiap guru mengajar dua mata pelajaran. Syarat penerima insentif salah satunya jumlah jam mengajar setiap pekannya.
"Rata-rata guru di sini dua mata pelajaran untuk memenuhi syarat penerima insentif yang harus 24 jam mengajar setiap pekan," kata Robi.
Kondisi ini tentu tidak ideal untuk pembelajaran sebuah sekolah mengingat guru tidak fokus di satu mata pelajaran. Apalagi MTs Baiturrahman hanya memiliki tiga kelas yang memaksa satu guru harus dua mata pelajaran.
11 guru yang mengajar di sini, termasuk Robi, memang bukan malaikat. Tapi semangat mereka setidaknya menjadi pelita bagi warga Desa Selerong yang masih ingin anaknya melanjutkan sekolah.
Panggilan hati dan rasa cinta terhadap keberlanjutan pendidikan anak-anak di tempat-tempat terpencil adalah pembeda dari manusia lainnya. Maka, pahlawan tanpa tanda jasa memang pantas disematkan untuk orang-orang seperti mereka.
Robiansyah masih mengaduk wajan besar berisi air nira yang sudah berubah warna menjadi coklat. Api dari kayu bakar di tungku tak hanya mendidihkan air nira yang nanti akan menjadi gula merah, tapi juga membuat wajahnya bercucuran keringat.
Robi menyeka keringat itu dengan lengannya. Bajunya pun tak luput ikut basah karena keringat.
"Mas, nanti tolong promosikan gula aren cair kami ya," katanya seraya tersenyum.