Sukses

Dunia 'Thrifting', Dua Mata Pisau Industri Tekstil Tanah Air

Slow Fashion salah satu cara mencegah perubahan iklim

Liputan6.com, Bangkalan - Kemunculan pandemi covid-19 awal tahun 2000, jadi pembuka jalan bagi Musthafa berkenalan dengan dunia jual beli pakaian bekas bermerek yang hari-hari ini populer dengan istilah thrifting

Kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat yang diambil pemerintah kala itu, membuat sebagian besar masyarakat termasuk Musthafa menghabiskan waktu dengan menonton apa saja lewat gawai. Ia mengenal thrifting pertama kali lewat TikTok, aplikasi berbagi video pendek ini banyak dipakai para penjual pakaian bekas berjualan secara live.

Sejak lama Musthafa tahu brand pakaian terkenal macam Adidas, Nike, dan Gucci. Harga yang mahal untuk ukuran gaji pekerja lepas macam dirinya, membuatnya tak berpikir sedikit pun untuk memiliki salah satunya.

Maka, ketika harga bekas brand-brand itu dibanderol hanya di kisaran Rp100 hingga 200 ribu di pasar thrifting, Musthafa pun langsung membelinya.

"Awalnya saya cuma penasaran, gimana sih rasanya memakai pakaian yang harganya jutaan," kata Musthafa.

Masa coba-coba itu berakhir menjadi kecanduan. Dan sialnya, Musthafa ingin merasakan memakai semua brand itu, hingga tak sadar satu lemari di rumahnya telah penuh oleh barang thrifting mulai dari jaket, sweater, hoodie, hingga celana.

"Saya baru ngerem belanja, setelah istri kerap menyindir," tutur dia.

Tapi inilah enaknya dunia thrifting, pakaian-pakaian yang setelah dicoba tak sesuai ekspektasinya ia jual kembali. Setelah memilih beberapa brand sebagai koleksi, sisanya ia jual kembali dengan harga lebih tinggi.

"Dulu saya buyer, sekarang jadi seller, thrifting sangat cuan karena peminatnya tinggi," kenang pria berusia 39 tahun itu.

2 dari 3 halaman

Dilarang Pemerintah

Namun belakangan ini, dunia thrifting tengah disorot. Pemerintahan Presiden Joko Widodo lewat Kementerian Perdagangannya sedang gencar 'memerangi' impor pakaian bekas. Sebagai permulaan, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan membakar pakaian bekas senilai Rp10 miliar yang disita dari Medan dan Jawa Timur.

Langkah ini diambil pemerintah karena impor pakaian bekas yang kemudian digandrungi anak-anak muda untuk belajar berbisnis, dianggap mengganggu industri tekstil lokal.

Musthafa sama sekali tak khawatir dengan tindakan tegas yang diambil pemerintah itu. Baginya ada sisi positif di baliknya, yaitu peredaran barang-barang thrifting akan berkurang dan itu berarti harganya akan kembali mahal.

"Sekarang ini, karena banyak yang jualan, para seller perang harga murah-murahan. Kalah modal hilang pembeli," kata dia.

Bagi Musthafa, thrifting tak melulu soal cuan. Thrifting punya peran penting dalam mencegah perubahan iklim. Dia pernah melihat tayangan video tentang dampak mengerikan dari fast fashion atau mode yang diproduksi dengan cepat.

Fast fashion dari Eropa menyebabkan banyak "sampah" tekstil yang kemudian diimpor ke berbagai negara. Di Guru Atacama, Chili ada gunungan sampah yang 60 persen adalah barang fast fashion. Kondisi yang sama juga bisa dilihat di kota Accra Ghana.

Industri fast fashion biasanya menggunakan bahan dasar polyester atau serat sintetis karena biayanya jauh lebih murah. Padahal, pakaian dari serat sintetis atau yang diolah dengan bahan kimia paling tidak membutuhkan 200 tahun untuk terurai. Sampahnya, sama beracunnya dengan ban atau plastik bekas. 

"Dari sisi lingkungan, thrifting itu punya peranan sangat penting, agar barang-barang fast fashion tidak cepat menjadi sampah yang merusak bumi," tuturnya.

3 dari 3 halaman

Tentang Thrifting

Meski tak pernah membeli bal impor pakaian bekas secara langsung, melainkan dari seller thrifting lain, Musthafa paham bagaimana bisnis ini dijalankan. Di Indonesia, bal-bal thrifting paling populer disebut bal Jepang, Eropa, dan Korea.

Tiap bal punya kode khusus untuk mengindentifikasi isinya apakah kaus, crewneck, celana, atau hoodie. Harga tiap bal tak sama, tetapi di kisaran Rp4 hingga 7 juta perbal. Isi bal bervariasi antara 100 hingga 150 lembar.

Seumpama membeli bal hoodie seharga Rp4 juta dengan isi 150 lembar, maka modal per hoodienya adalah kurang lebih Rp26 ribu belum termasuk ongkir kirim.

Isi bal kemudian disortir ke dalam tiga kategori yaitu kepala, badan, dan kaki. Kepala untuk hoodie bermerk seperti Nike, Adidas, Champion, Patagonia, Guess, Anderson Bell hingga Charthart, dan Lacoste. Sementara kategori badan umumnya merk Uniqlo, Alvinclo, Keith Haring, Zara, hingga Levi's. Adapun kategori kaki umumnya adalah brand-brand yang tak begitu dikenal publik.

Di luar tiga kategori ini adalah kategori lain yaitu luxuryan dan vintage. Umumnya brand Louis Vuitton, Chanel, Off White, dan juga brand-brand edisi khusus dan langka. Semakin lama tahun pembuatan semakin mahal harganya. Harga kategori ini rata-rata di atas Rp1 hingga 10 juta.

Umumnya, kata Musthafa, kategori kaki dan badan diborongkan atau dijual murah agar balik modal. Sementara brand-brand kepala dimasukkan sebagai keuntungan dengan harga jual di angka Rp100 hingga 500 ribu. Seller thrifting pemula biasanya ambil borongan, sekalian belajar dan menciptakan pasar sendiri.

"Risiko beli bal itu kalau ternyata isi kategori kepalanya sedikit, bisa buntung," ujar dia.