Sukses

Sidang Isbat Tunggu Rukyatul Hilal di 124 Titik, Ini Alasan NU Masih Pakai Metode Rukyatul Hilal Tentukan Awal Ramadhan

Kemenag RI menggelar pemantauan (rukyatul) hilal awal Ramadhan 1444 Hijriah di 124 titik lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia, hari ini Rabu (22/3/2023).

Liputan6.com, Jakarta - Kemenag RI menggelar pemantauan (rukyatul) hilal awal Ramadhan 1444 Hijriah di 124 titik lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia, hari ini Rabu (22/3/2023).

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin mengatakan, rukyatul hilal tersebut akan dilaksanakan oleh Kanwil Kementerian Agama dan Kemenag Kabupaten/Kota, bekerja sama dengan Peradilan Agama dan Ormas Islam serta instansi lain di daerah setempat.

"Hasil rukyatul hilal yang dilakukan ini selanjutnya dilaporkan sebagai bahan pertimbangan Sidang Isbat Awal Ramadhan 1444 H," ujar Kamaruddin.

Penggunaan metode rukyatul hilal masih dipakai dalam menentukan awal Ramadhan di Indonesia. Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, masih menggunakan metode tersebut dalam penentuan Ramadhan. Apa alasannya? Dikutip dari laman NU Online, Rukyatul Hilal digunakan NU atas dasar keputusan Muktamar ke–30 NU tahun 1999 di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, maka rukyah hilal akan digelar di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah hukum.

Ada dua aspek yang mendasari NU tetap menggunakan rukyah hilal, yaitu pertama, Rukyatul Hilal sebagai aspek ibadah. Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, pelaksanaan rukyah hilal merupakan instrumen wajib guna memastikan kapan masuk tanggal 1 bulan kalender Hijriyah menurut ukuran syara'.

"Jadi tidak hanya untuk menentukan awal Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Nahdlatul Ulama menggelar rukyah hilal guna penentuan awal setiap bulan kalender Hijriyah sepanjang tahun," begitu yang tertulis dalam Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H 29 Sya’ban 1444 H/22 Maret 2023 M yang diterbitkan LF PBNU.

Rukyatul Hilal bagi NU juga selaras dengan pendapat para ulama salaf, yakni hukumnya fardhu kifayah atau bersifat wajib untuk masyarakat (wajib-komunal).

Alasan kedua, Rukyatul Hilal tetap dilakukan juga sebagai bentuk aspek kultural. Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia pada saat ini.

Survei keberagamaan Muslim di Indonesia pada 2016 yang digelar lembaga Alvara Research Center dan dipublikasikan Januari 2017 menunjukkan 64 persen Muslim Indonesia mengikuti Rukyatul Hilal dalam penentuan hari besar Islam. Jumlah penduduk Indonesia pada 2016 adalah 262 juta jiwa dengan 87 persen di antaranya muslim.

"Maka kuantitas muslim Indonesia yang berpedoman pada rukyatul hilal dalam penentuan hari besar Islam setara dengan 145 juta jiwa," demikian keterangan Alvara Research Center.

Sebagai pembanding, jumlah muslim Indonesia yang menjadi warga NU di seluruh Indonesia hanya berkisar 90 juta orang. Maka tidak elok jika NU sebagai lembaga keagamaan Islam yang berpedoman pada rukyah hilal tidak menyelenggarakan kegiatan yang hasilnya jelas akan ditunggu dan akan dipedomani demikian banyak orang.

 

2 dari 2 halaman

Awal Ramadhan Berpotensi Sama

Perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri yang kerap terjadi di Indonesia, bukan karena metode hisab dan rukyat, melainkan karena perbedaan kriteria. Hal itu yang diutarakan Peneliti Astronomi dan Astrofisika dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin.

Kriteria wujudul hilal digunakan Muhammadiyah, sedangkan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) digunakan oleh Nahdlatul Ulama dan beberapa organisasi keagamaan lain di Indonesia.

"Penentuan awal bulan memerlukan kriteria agar bisa disepakati bersama. Rukyat memerlukan verifikasi kriteria untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru," kata Thomas, menurut keterangannya, Rabu (8/3/2023).

"Hisab tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria, sehingga kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat," katanya. 

Thomas menerangkan bahwa kriteria hilal yang diadopsi adalah kriteria berdasarkan pada dalil hukum agama tentang awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih.

Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab untuk menjadi kesepakatan bersama, termasuk Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Menurutnya, ada potensi kesamaan awal Ramadhan pada tahun ini, yakni 23 Maret 2023.

Di Indonesia, saat Maghrib, 22 Maret 2023, posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru MABIMS dengan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

 

Idul Fitri Ada Potensi Berbeda

Sementara itu, di sisi lain, ada potensi perbedaan Idul Fitri tahun ini karena saat Maghrib, 20 April 2023, ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Namun, posisi bulan itu sudah memenuhi kriteria wujudul hilal. Apabila merujuk kriteria baru MABIMS, maka Lebaran jatuh pada 22 April 2023, sedangkan bila merujuk wujudul hilal, 1 Syawal 1444 Hijriah jatuh pada 21 April 2023.

Lebih lanjut Thomas mengungkapkan penyebab utama perbedaan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha yang terus berulang karena belum ada kesepakatan terkait kriteria awal bulan Hijriyah.

Ia menjelaskan bahwa prasyarat utama untuk terwujudnya unifikasi Kalender Hijriyah harus ada otoritas tunggal. Otoritas tunggal akan menentukan kriteria dan batas tanggal yang dapat diikuti bersama.

Sedangkan, kondisi saat ini otoritas tunggal mungkin bisa diwujudkan dulu di tingkat nasional atau regional.

"Penentuan ini mengacu pada batas wilayah sebagai satu wilayah hukum sesuai batas kedaulatan negara. Kriteria diupayakan untuk disepakati bersama," kata Thomas. 

Video Terkini