Sukses

Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya Resmi Dibuka, Jadi Destinasi Wisata Edukasi dan Religi

Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya dengan ketinggian 114 meter telah resmi dibuka untuk umum sebagai wisata edukasi religi.

Liputan6.com, Palangka Raya - Di Bulan Suci Ramadan 1444H ini, Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya telah resmi dibuka untuk umum sebagai wisata edukasi religi. Dengan ketinggian 114 meter, menara tersebut menjadi menara masjid tertinggi di ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.

Pengurus Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya, Rahmat Nasution Hamka, mengatakan pihaknya telah merencanakan pengembangan menara sebagai objek wisata edukasi religi.

Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya menawarkan pemandangan Kota Palangka Raya yang indah dari ketinggian. Pengunjung dapat menikmati pemandangan tersebut dengan gratis, karena tarif masih dalam proses penghitungan.

 "Untuk saat ini masyarakat dapat masuk dengan gratis, masih belum kami kenakan tarif karena masih disusun," kata Rahmat di Palangka Raya.

Selain itu, menara tersebut juga dilengkapi dengan teropong pantau yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melihat dari kejauhan. Hanya dengan uang koin Rp1.000 saja, pengunjung dapat menggunakan teropong tersebut.

Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya juga memiliki perpustakaan yang dapat menjadi bahan literasi masyarakat tentang sejarah dan pengetahuan Islam. Dan untuk memberikan kenyamanan kepada pengunjung, pihak pengurus menara juga akan membuka semacam kafe di lantai 33, sehingga pengunjung dapat menikmati keindahan Kota Palangka Raya sambil bersantai.

Diharapkan dengan dibukanya Menara Masjid Raya Darussalam Palangka Raya sebagai wisata edukasi religi ini, dapat meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap sejarah dan pengetahuan Islam serta memperkenalkan Kota Palangka Raya sebagai objek wisata religi yang menarik.

2 dari 2 halaman

Masjid Pulau Penyengat

Sementara itu, Jika berkunjung ke Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri) jangan lupa mampir ke rumah sotoh Masjid Raya Sultan Riau, karena sedang ada pameran kitab kuno dan mushaf Al Quran.

"Pameran ini berlangsung hingga 4 April 2023 dan direncanakan diperpanjang sampai hari raya Idul Fitri 1444 Hijriah," kata Ketua Pengurus Masjid Sultan Riau, Raja Al Hafiz, di Tanjungpinang, Minggu.

Di rumah sotoh itu, katanya, pengunjung bisa melihat beragam koleksi kitab-kita kuno Kutubkhanah Marhum Ahmadi.

Kemudian sejumlah kitab wakaf Yang Dipertuan Riau Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi yang masih terawat dengan baik. Seperti kitab tafsir dan hadits, mushaf Al Quran, kitab dan sejarah Tarekat Naqsyabandiah, kamus, ensiklopedia, sejarah Islam, perbandingan agama, sastra Arab, dan kitab-kitab ilmu tabib.

Kitab-kitab itulah menjadi bukti sejarah pulau Penyengat di masa lampau. Tentunya, memiliki segudang cerita untuk dipelajari para wisatawan.

"Di setiap koleksi sudah tertulis jelas sejarah yang dimilikinya, namun pastinya lebih senang jika dijelaskan langsung oleh pemandu wisata," ujarnya lagi.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Tanjungpinang Muhammad Nazri menyampaikan pengunjung bisa meminta bantuan pemandu wisata lokal yang bertugas di Tourism Information Center (TIC) Penyengat yang dikelola pihaknya, jika pengunjung ingin mengetahui dengan jelas informasi mengenai koleksi yang dipamerkan.

Ia menjelaskan TIC ini disiapkan untuk memberikan pelayanan kepariwisataan kepada para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Penyengat.

"Di TIC ini, kami siapkan satu orang petugas pemandu wisata lokal yang akan memandu wisatawan selama perjalanan berwisata di Pulau Penyengat," ujar Nazri.

Terpisah, Sejarawan Kepri Aswandi Syahri menerangkan di Masjid Raya Sultan Riau Penyengat ini tersimpan perpustakaan yang dibuka Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi sekitar tahun 1892.

"Sampai sekarang kitab-kitab peninggalan perpustakaan itu dapat kita lihat dan kini sedang dipamerkan di rumah sotoh Masjid Raya Sultan Riau Penyengat," kata Aswandi.

Pulau Penyengat, kata dia, juga pernah menjadi pusat literasi sastra Melayu yang terkenal pada abad 19 hingga awal abad 20.

Karena menjadi pusat literasi itulah, Belanda melihat Pulau Penyengat sangat potensial pada bidang bahasa.

"Kemudian menjadikan bahasa Melayu Riau sebagai sumber bahasa yang akan digunakan di sekolah-sekolah yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia," ujar Aswandi lagi.