Liputan6.com, Makassar - Kondo buleng atau kondobuleng adalah teater tradisional Sulawesi Selatan. Teater tradisional ini dimainkan dan dilestarikan oleh masyarakat penutur bahasa Makassar di Sulawesi Selatan.
Dalam bahasa Bugis dan bahasa Makassar, kata 'kondobuleng' terbentuk dari dua kata, yakni 'kondo' dan 'buleng. 'Kondo' berarti bangau atau sejenis burung berkaki, berleher, dan berparuh panjang. Burung ini merupakan pemangsa ikan yang hidup di rawa-rawa atau tempat berair, seperti tepi pantai atau sawah.
Sementara itu, kata 'buleng' ada yang mengartikannya 'putih'. Namun, dalam percakapan sehari-hari bahasa Makassar, kata 'putih' berarti 'kebo’.
Advertisement
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, teater rakyat kondobuleng merupakan bentuk teater bernapaskan komedi satir. Teater ini dimainkan oleh lima pemeran tokoh nelayan, satu pemeran tokoh kondobuleng (bangau putih), satu pemeran tokoh pemburu, dan satu pemeran tokoh Pak Lurah.
Baca Juga
Dalam pertunjukannya, pemain menggunakan dialog, kostum, dan properti sesuai perannya dengan diiringi kelompok musik berjumlah 5-10 orang. Menariknya, pada awal kemunculannya hingga sekarang, Pertunjukan Teater Rakyat Kondobuleng (PTRK) tidak pernah menggunakan naskah tertulis.
Para pemain hanya mencermati materi awal pertunjukan berulang kali dan hasil wawancara dengan para pendukungnya. Mereka hanya dihadapkan pada ide dalam bentuk lisan, bukan tulisan semacam sinopsis atau naskah.
Para aktor memainkan perannya dengan menggunakan bahasa verbal dan nonverbal. Bahasa verbal yang digunakan yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Makassar.
Selain dipresentasikan melalui dialog, bahasa Makassar juga dipresentasikan dalam bentuk nyanyian oleh kelompok musik. Selain itu, ada juga nuansa Islam dalam nyanyian mereka. Adapun bahasa nonverbal digunakan melalui gerak, mimik, ekspresi, properti, dan musik.
Teater kondobuleng bercerita tentang seorang pemburu yang mengejar seekor bangau putih di daerah rawa-rawa pinggiran pantai. Terdapat sejumlah nelayan yang sedang menangkap ikan di rawa-rawa tersebut.
Dengan susah payah, sang pemburu yang dibantu para nelayan pun berhasil menembak kondobuleng (bangau putih). Namun karena kesaktiannya, sang bangau bisa hidup kembali.
Dahulu, rombongan ini hanya dipentaskan oleh satu grup saja yang pemainnya masih dalam satu lingkup keluarga saja. Dalam perkembangannya, kini kelompok teater rakyat ini telah berkembang menjadi tiga kelompok dan bermukim di Kampung Paropo yang sekarang sudah menjadi bagian Kota Makassar Sulawesi Selatan.
Penulis: Resla Aknaita Chak