Sukses

Kapal Pinisi, Saksi Perjalanan Cinta Putra Mahkota Luwu kepada Putri Tiongkok

Masyarakat percaya, nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera di dunia.

Liputan6.com, Makassar - Kapal pinisi merupakan kapal layar tradisional yang berasal dari Suku Bugis di Sulawesi Selatan. Masyarakat Bugis memang dikenal sebagai pembuat perahu dan pelaut yang tangguh.

Mengutip dari gln.kemdikbud.go.id, kapal pinisi banyak dibuat di Tana Beru. Kampung pesisir tersebut merupakan tanah leluhur bagi para punggawa pembuat pinisi.

Sebagian besar masyarakat Tana Beru bekerja sebagai pembuat perahu. Namun, ada juga yang bekerja sebagai penangkap ikan atau nelayan yang menggunakan perahu buatan sendiri.

Kapal pinisi sudah ada sejak zaman dahulu. Kapal ini memiliki dua tiang layar utama dengan tujuh buah layar. Tiga layar dipasang di ujung depan, dua layar di bagian depan, dan dua layar lainnya dipasang di bagian belakang perahu.

Tujuh layar tersebut memiliki makna yang berkaitan dengan nenek moyang. Masyarakat percaya, nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera di dunia.

Selain Tana Beru, sebenarnya kapal ini juga banyak dibuat di berbagai wilayah Sulawesi Selatan. Para pembuat pinisi tetap mempertahankan tradisi kunonya dalam membuat perahu. Biasanya, mereka membuat kapal di bibir pantai agar saat sudah selesai dibuat, kapal tersebut dapat langsung didorong ke laut dengan mudah.

Mengutip dari kikomunal-indonesia.dgip.go.id, menurut naskah lontarak I La Lagaligo, pinisi diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14 Masehi. Konon, pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu.

Bahan yang digunakan untuk membuatnya diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal kokoh dan tidak mudah rapuh. Sebelum menebang pohon, dilaksanakan upacara khusus terlebih dulu agar penunggu pohon bersedia pindah ke pohon lainnya.

Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju negeri Tiongkok. Saat itu, ia bermaksud meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.

Sawerigading pun berhasil memperistri Puteri We Cudai. Setelah lama tinggal di Tiongkok, Sawerigading yang rindu dengan kampung halamannya pun berlayar ke Luwu dengan menggunakan perahunya yang dulu.

Namun, ketika perahunya akan memasuki pantai Luwu, tiba-tiba gelombang besar menghantam perahunya hingga pecah. Pecahan-pecahan perahunya pun terdampar di tiga tempat di wilayah Kabupaten Bulukumba, yaitu di Kelurahan Ara, Tana Beru, dan Lemo-lemo.

Oleh masyarakat dari ketiga kelurahan tersebut, bagian-bagian perahu itu kemudian dirakit kembali menjadi sebuah perahu yang megah. Mereka pun memberi nama perahu atau kapal pinisi.

(Resla Aknaita Chak)