Sukses

Surat Berstempel Darah untuk PT Satya Agung

Perusahaan pemilik Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) PT Satya Agung di Aceh Utara disebut-sebut telah menyerobot tanah ulayat. Warga pun mengirim surat berisi stempel darah.

Liputan6.com, Aceh - "...selama masyarakat tidak pernah merasa memberikan hak atas wilayah tersebut kepada pihak lain, selamanya itu akan menjadi hak atas wilayah yang sah dan berdaulat bagi masyarakat Kilometer VIII dan generasi yang akan datang." (Kalimat penutup surat dari Desa Kilometer VIII kepada PT Satya Agung)

Denyut konflik lahan di Indonesia masih terus terasa di tengah-tengah berjalannya program reforma agraria yang digaung-gaungkan sebagai upaya pemerataan ekonomi nasional. Dalam situasi ini, rakyat kecil kerap terseret ke dalam pusaran pertarungan dengan perusahaan yang sama sekali tak seimbang dan pelik.

Ekspose Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut sebanyak 212 kejadian konflik agraria berlangsung sepanjang 2022. Angka tersebut menandai terjadinya kenaikan jumlah kejadian dari tahun sebelumnya yang bertengger di angka 207.

Adapun luas lahan yang mengalami konflik agraria mencapai 1,04 juta hektare. Sebaran konflik paling banyak terjadi di sektor perkebunan yakni 99 kejadian yang 88 di antaranya terjadi pada sektor perkebunan kelapa sawit.

Aceh sendiri ikut menokok jumlah konflik agraria di Indonesia. Menurut catatan Liputan6.com pada 2018 luas, lahan yang bersengketa di empat kabupaten di Serambi Makkah mencapai 5.420,5 hektare dari 338.280,47 hektare total lahan sengketa yang tersebar di 15 provinsi di Indonesia.

Kasus paling anyar terjadi di Aceh Utara, melibatkan warga Desa Kilometer VIII, Kecamatan Simpang Keuramat versus PT Satya Agung. Perusahaan pemilik Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) itu disebut-sebut telah menyerobot tanah ulayat.

Sementara perusahaan mengaku secara yuridis bahwa lahan sengketa masuk ke dalam HGU mereka, masyarakat mengeklaim memiliki peta wilayah yang menyatakan bahwa perusahaan telah beraktivitas di luar batas HGU.

Sepintas info, kendati telah beroperasi sejak Mei 2021, PMKS PT Satya Agung sendiri baru diresmikan pada November 2022 lalu oleh Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki dalam sebuah acara yang terkesan glamor, dihadiri oleh banyak kalangan pejabat forkopimda. Termasuk di antaranya Menteri ATR/Kepala BPN, Hadi Tjahjanto.

Kemeriahan itu diikuti pula dengan pembagian sertifikat kepada masyarakat yang ikut dalam skema kemitraan perkebunan plasma perusahaan. Namun, tak banyak yang tahu bahwa saat itu sengkarut penguasaan lahan antara perusahaan dengan masyarakat Kilometer VIII menggelegak di bawah permukaan.

November 2021 lalu, Front Perjuangan Rakyat Batee VIII Menggugat memblokade jalan menuju perusahaan, menuntut agar PT Satya Agung menghentikan segala aktivitas di atas lahan yang masih bersengketa. Aksi itu juga mendesak dilakukannya pengukuran ulang untuk memastikan mana watas antara tanah ulayat dengan HGU.

Konsentrasi massa saat itu buyar ketika barikade kepolisian mendesak dengan tameng dan tongkat kayu. Beberapa hari setelah peristiwa pembubaran aksi tersebut, digelar konferensi pers yang menuntut agar Kapolres Lhokseumawe, Eko Hartanto segera dicopot dari jabatannya.

2 dari 3 halaman

Tanah Nenek Moyang

Benur perlawanan masyarakat Kilometer VIII sebenarnya mulai diperlihatkan sejak perusahaan melakukan pengerukan di atas lahan yang diklaim milik desa pada Mei 2020. Lahan ulayat yang diduga diserobot seluas lebih kurang 500 hektare.

Dengan areal HGU lebih kurang 10 ribu hektare lebih, PT Satya Agung sendiri sudah beroperasi sejak 90-an, sementara itu, sewaktu pengerukan dilakukan, perusahan sudah melakukan perpanjangan HGU yang telah habis jangka waktunya beberapa tahun yang lalu. Luas areal HGU perpanjangan mencapai 1.700 hektare meliputi empat desa, yakni Mns Dayah, Uram Jalan, Suka Makmu, dan Kilometer VIII.

Selanjutnya, untuk mengupayakan penyelesaian sengketa lahan yang sedang terjadi, dalam audiensi pada Maret 2022, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh setuju untuk membentuk tim pansus penanganan konflik agraria antara PT Satya Agung dengan masyarakat Kilometer VIII. Kinerja pansus tersebut dipertanyakan.

"Sampai hari ini sudah setahun lebih sejak pertemuan tersebut, pembahasan tentang pansus tak kunjung selesai. Alih-alih selesai bahkan untuk progresnya saja tidak ada," ketus Jubir Front Batee 8 Menggugat, Ahmad, dalam rilis kepada Liputan6.com, Selasa malam (11/4/2023).

Ahmad sendiri merasa pesimis. Sampai saat ini, baik eksekutif maupun legislatif, belum menunjukkan adanya tanda-tanda akan mengurai dengan serius sengketa lahan yang sedang membelit mereka.

"Mereka hanya jadi penonton. DPR Aceh acuh tak acuh bahkan tak memedulikan nasib kami sebagai rakyat. Pemerintah Aceh terkesan melahirkan penjahat. Setelah mengeluarkan izin HGU yang merampas wilayah masyarakat, ketika persengketaan terjadi mereka malah lepas tangan," tegas Ahmad.

Sementara itu, PT Satya Agung melalui Vice CEO T. Syahmi Johan, Februari 2023 lalu, pernah melontarkan surat berisi peringatan akan segera mengambil ancang-ancang beraktivitas di atas lahan yang masih disengketakan. Surat ini berisi 11 poin yang isinya merupakan keterangan rentetan datum langkah-langkah penyelesaian yang gagal sejak Mei 2020 hingga Januari 2023.

Terdapat salah satu poin dalam surat tersebut yang dinilai bernada mencemooh, berbunyi, "...beranggapan bahwa lahan tersebut adalah lahan milik 'nenek moyang' (keluarga) dan mengindikasikan bahwa lahan tersebut adalah tanah hutan masyarakat".

Pada bagian penutup, manajemen perusahaan berkesimpulan bahwa areal yang bersengketa masuk ke dalam HGU mereka. Melalui satu paragraf pemungkas, surat tersebut menafikan semua usaha yang diupayakan oleh warga selama ini.

Berang dengan surat yang dikirim oleh PT Satya Agung, masyarakat pun melayangkan surat balasan. Untuk menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan dengan niat untuk menjaga tanah leluhur, surat ini sengaja dibubuhi oleh stempel darah oleh hampir 70 orang warga termasuk aparatur desa.

3 dari 3 halaman

Qanun Pertanahan, Setitik Cahaya

Menyangkut salah satu poin dari surat dari PT Satya Agung yang terdengar merendahkan karena menggunakan kata 'nenek moyang', masyarakat Kilometer VIII membalas, "...benar adanya bahwa nenek moyang kami telah tinggal dan bermukim di wilayah tersebut jauh sebelum PT Satya Agung lahir".

Menurut Ketua KPW SMUR Lhokseumawe-Aceh Utara, Hafidh, konflik agraria di Aceh bukanlah perkara muskil yang sulit dipecahkan andai saja eksekutif dan legislatif menaruh serius untuk menyelesaikannya. Salah satu alternatifnya dengan cara memaksimalkan regulasi daerah.

Misal, dengan mengesahkan Rancangan Qanun Pertanahan yang selama ini diupayakan oleh organisasi masyarakat sipil di Aceh. Aturan setingkat perda ini, menurut dia, sebenarnya dapat menjadi oase bagi pemecahan masalah konflik agraria yang tengah melilit Serambi Makkah.

"Namun, pengesahan Rancangan Qanun Pertanahan ini seperti tak jadi prioritas bagi pemerintah Aceh, khususnya DPRA. Padahal konflik agraria juga jadi konflik besar di Aceh pascadamai dan tsunami," ketus Hafidh.

Sebagai info, DPR Aceh melalui Komisi I dan II telah mempersiapkan draf yang dimaksud sejak Desember 2016. Statusnya berubah menjadi qanun kumulatif terbuka dalam program legislasi DPR Aceh pada tahun 2017 dan 2018.

Kemudian menjadi qanun perioritas program legislasi serta dibahas oleh Komisi I DPR Aceh pada tahun 2019-2022. DPR Aceh sebenarnya sudah memfinalisasi draf qanun tersebut termasuk melaksanakan dua kali rapat dengar pendapat umum pada November 2020 dan November 2021.

Selain itu, juga melakukan agenda fasilitasi dengan Kementerian Dalam Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan pada akhir tahun 2020 dan akhir tahun 2021. Namun, sampai dengan saat ini draf qanun tersebut tidak dapat disahkan karena belum mendapat surat hasil fasilitasi dan nomor registrasi peraturan daerah dari Kemendagri.

Sebagai lex specialis, Qanun Pertanahan sendiri nantinya akan mengatur kewenangan Pemerintah Aceh terkait perizinan HGU. Juga pembentukan komisi pertanahan yang salah satu fungsinya menerima pengaduan dan menyelesaikan sengketa pertanahan secara adil dan setara.

Namun, melihat Raqan Pertanahan yang tak kunjung menjadi regulasi ini, harapan tersebut rasanya masih terlalu dini. Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, menilai Kemendagri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas situasi ini.

"Hasil fasilitasi itu seharusnya sudah wajib diserahkan kepada Pemerintah Aceh 15 hari setelah surat permohonan fasilitasi diterima," Syahrul menjawab Liputan6.com, Selasa malam (11/4/2023).

Aturan yang dimaksud oleh Syahrul tertera dalam pasal 89 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.

Menurut Syahrul, jika dihitung sejak fasilitasi pertama dilakukan di ujung 2020, berarti status rancangan qanun ini sudah terkatung-katung selama beberapa tahun. Dalam surat balasannya, kementerian sendiri menjawab alasan hasil fasilitasi belum keluar karena masih perlu mendalami dan mengkaji muatan materi qanun tersebut.

Dari sini, Syahrul berkesimpulan bahwa Kemendagri telah melanggar aturannya sendiri terkait dengan aturan pembentukan produk hukum. Ia juga sepakat jika lembaga eksekutif dan legislatif di Aceh disebut benyai dalam mendorong Raqan Pertanahan menjadi produk hukum.

Sementara itu, berkaitan dengan tudingan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT Satya Agung, Liputan6.com sudah berusaha mengontak nomor humas perusahaan tersebut. Namun, kendati melalui sebuah aplikasi teridentifikasi bahwa pemilik nomor yang dihubungi merupakan Sofyan selaku Humas PT Satya Agung, orang yang menjawab telepon mengaku sebaliknya.

"Ini enggak pak Sofyan ini, pak...," balas suara dari ujung telepon.