Liputan6.com, Aceh - Salah satu universitas di Aceh disorot usai poster ucapan peringatan Jumat Agung yang diunggah oleh lembaga kemahasiswaan kampus tersebut terpaksa dihapus akibat desakan yang tidak terbendung. Pengunggahan poster tersebut telah bersulih jadi masalah yang menyita perhatian.
Insiden berawal ketika akun Instagram Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) mengepos poster berisi ucapan selamat memperingati Hari Jumat yang ditujukan untuk umat Kristiani pada 7 April lalu. Unggahan ini segera viral serta menuai berbagai respons negatif dari banyak pengguna akun media sosial yang kontra dan reaksioner.
Demi menahan laju kecaman dari pelbagai pihak yang semakin tidak tergencat, DPM UTU memutuskan untuk segera menghapus poster tersebut lalu menyampaikan permintaan maaf melalui surat resmi. Surat bernomor 01/A/DPM-UTU/IV/2023 tersebut ditandatangi langsung oleh Plt. Ketua DPM UTU, Wiwin Hendrolia dan sekretarisnya, Rio Chardova, yang ditujukan kepada Rektor UTU, civitas academica termasuk ikatan alumni.
Advertisement
Dari surat ini dapat dilihat bahwa pengunggahan poster ucapan peringatan Hari Jumat Agung oleh DPM UTU diunggah itu terjadi di luar koordinasi dengan para pihak. Para pihak yang dimaksud dapat dilihat pada alamat yang ditujukan dalam surat penyampaian maaf.
Baca Juga
Tidak cukup sampai di situ, aksi permintaan maaf dilakukan dalam bentuk video mengatasnamakan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dan DPM UTU yang direkam di ruang rapat senat kampus. Berbeda dengan surat, pernyataan melalui video ini terasa jauh lebih lengkap.
Namun, kecaman demi kecaman terus bergulir seperti bola salju yang sulit untuk dibendung, surat serta video permohonan maaf saja dirasa belum cukup. Isu yang kemudian berkembang di sekitar insiden ini mulai dari aksi pemangkasan rambut yang menimpa salah seorang mahasiswa yang dinilai paling bertanggung jawab, desakan agar mahasiswa bersyahadat ulang, hingga rumor adanya pihak yang mendesak agar mahasiswa yang menjabat di DPM UTU melepaskan jabatan mereka.
Menanggapi hal ini, sebanyak 30 lebih lembaga di Indonesia yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Akademik untuk Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan memutuskan untuk melayangkan surat pernyataan dan menyebut insiden yang menimpa mahasiswa ini sebagai potret buram kebebasan beragama serta menambah catatan intoleransi di dunia pendidikan.
“Pengurus DPM juga diminta membuat video permintaan maaf dan salah satu diantara mereka dibotaki. Hukuman tersebut justru merendahkan hak asasi manusia. Padahal Islam merupakan salah satu agama yang menjunjung martabat manusia. Penggunaan narasi agama digunakan untuk pendisiplinan juga merupakan praktik abuse of power,” bunyi salah satu paragraf dalam surat pernyataan tersebut.
Simak Video Pilihan Ini:
Kampus Takut Jadi Bulan-bulanan?
Sebagai lembaga pendidikan tinggi, UTU dinilai ikut andil dalam mendukung persekusi yang menimpa mahasiswa. Fakta bahwa surat permintaan maaf ikut ditujukan kepada rektor memberi kesan bahwa kampus tidak ingin diseret-seret ke dalam masalah yang menimpa DPM UTU, jika tidak disebut takut akan terkena rembesan serapah warganet yang mengaku sebagai representasi dari umat agama tertentu.
Di sini, alih-alih berdiri laiknya sebuah lembaga pendidikan tinggi, UTU malah terkesan membenarkan perundungan yang menerpa mahasiswanya. Universitas yang berstatus negeri sejak 2014 tersebut juga dinilai kontraproduktif dengan semangat Kemendikbud-Ristek dalam menghapus “tiga dosa besar” pendidikan, salah satunya adalah intoleransi-sistem pendidikan saat ini mesti menjamin adanya ekosistem yang kondusif, di mana hal-hal seperti intoleransi tidak boleh hidup di dalamnya.
Adapun rumor telah dilakukannya pemecatan terhadap pengurus DPM UTU ini dibantah keras oleh bagian kehumasan kampus. Narasi “pemecatan” seperti yang beredar disebut keliru karena seperti yang tersebar melalui video permintaan maaf, pengurus MPM dan DPM UTU mengundurkan bukan dipecat.
“Kampus tidak melakukan pemecatan kepada pengurus DPM, mereka mengundurkan diri. Jadi narasi yang dibangun dari dasar pemecatan ini keliru,” jawab Humas UTU, Aduwina Pakeh kepada Liputan6.com belum lama ini.
Sementara itu, untuk memastikan benar tidaknya salah satu mahasiswa yang dianggap bertanggung jawab atas pengunggahan tersebut disuruh bersyahadat ulang, Liputan6.com menghubungi Wiwin Hendrolia, mantan Plt. DPM UTU yang ikut terseret dalam masalah ini. Ia sendiri mengaku tidak tahu secara pasti mengenai hal tersebut.
"Itu saya kurang tahu. soalnya itu lebih ke pembinaan, khususnya buat yang kawan itu, kan. Itu tidak tahu saya, karena itu memang bagian dari pembinaan dari lembaga P3AI (Program Pengembangan Pendidikan Agama Islam) UTU. Saya enggak tahu itu tempatnya di mana, entah di kampus, entah di rumah, entah di musala," terang Wiwin via telepon.
Namun, berbeda dengan Wiwin, Humas UTU, Aduwina Pakeh menampik soal adanya lembaga di kampus tersebut yang terlibat dalam proses syahadat ulang kepada salah satu pengurus DPM UTU.
"Tidak benar itu, lembaga UTU tidak melakukan pensyahadatan kembali," jawab Aduwina melalui pesan WhatsApp.
Melalui surat pernyataan, Koalisi Kebebasan Akademik untuk Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan mendesak Mendikbud Ristek Nadiem Anwar agar bertindak tegas terkait hal ini. Surat pernyataan ini, selain ditujukan kepada Kemendikbud-Ristek, juga akan dikirimkan kepada Rektorat UTU.
Advertisement