Sukses

Sejarah Tumbilotohe, Menyalakan Sejuta Lampu Tradisional di Gorontalo pada Penghujung Ramadan

Ribuan warga tumpah ruah ke sejumlah tempat untuk menyaksikan indahnya hiasan lampu temaram.

Liputan6.com, Gorontalo - Jika saat ini Anda berada di Provinsi Gorontalo di akhir Ramadan, jangan lupa untuk menyaksikan Malam Tumbilotohe atau malam pasang lampu. Tradisi tua yang digelar setiap 3 hari menjelang hari raya Idul Fitri sangat menarik untuk disaksikan.

Ribuan warga tumpah ruah ke sejumlah tempat untuk menyaksikan indahnya hiasan lampu temaram. Lampu-lampu minyak tradisional ini dipasang menghiasi setiap rumah-rumah warga di Gorontalo.

Tidak hanya di rumah warga, lampu juga menghiasi beberapa tempat seperti jalan raya, halaman perkantoran, masjid, bahkan aliran sungai pun dihiasi lampu.

Tahun ini, tempat paling favorit yang dikunjungi ribuan warga, yakni di sekitar Kota Gorontalo. Sedikitnya ada 15.000 buah lampu minyak yang dikombinasikan dengan lampu listrik dengan beragam warna menghiasi jalanan di Kota Gorontalo.

Lampu sebanyak itu diperkirakan menghabiskan 4.000 liter minyak tanah. Akibat padatnya warga di tempat ini, jalanan pun macet hingga menjelang waktu sahur.

"Tradisi ini memang sudah lama. Biasanya tradisi ini digelar pada malam 27 Ramadan dan penanda bahwa Ramadan akan berakhir," kata Danda Mahmud warga sekitar.

"Banyak warga sangat antusias menyaksikan ini, karena tahun lalu hanya diselenggarakan sederhana saja akibat pandemi Covid-19," imbuhnya.

Simak juga video pilihan berikut:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Sejarah Tumbilotohe

Konon, tradisi tumbilotohe ini sudah berlangsung sejak abad XV. Pada masa itu, lampu penerangan masih terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar.

Alat penerangan ini disebut mayango atau obor. Tahun-tahun berikutnya, alat penerangan mulai menggunakan tohetutu atau damar yaitu semacam getah padat yang menjadi bahan bakar.

Kemudian, berkembang lagi dengan memakai lampu yang menggunakan sumbu dari kapas dan minyak kelapa. Dengan menggunakan wadah seperti kima, sejenis kerang, dan pepaya yang dipotong dua, lampu ini disebut padamala.

Seiring dengan perkembangan zaman, maka bahan lampu buat penerangan diganti minyak tanah hingga sekarang ini. Bahkan untuk lebih menyemarakkan tradisi ini sering ditambahkan dengan ribuan lampu listrik.

Tradisi turun temurun ini menjadi ajang hiburan masyarakat setempat. Malam tumbilotohe benar-benar ramai, bisa di bilang festival paling ramai di gorontalo.

Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Dalam setiap perayaan tradisi ini, masyarakat secara sukarela menyalakan lampu dan menyediakan minyak tanah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah.

Menurut salah Syarifudin Abdullah, salah satu tokoh masyarakat di Gorontalo bahwa tradisi tumbilotohe sudah lama sekali dilaksanakan. Dulunya, lampu tumbilotohe itu hanya sebagai penerangan warga Gorontalo untuk datang ke masjid.

"Dulu katanya sebelum ada lampu listrik, setiap ramadan itu warga wajib meletakkan lampu tradisional di depan jalan menuju masjid," kata Syarifudin.

Namun, seiring berjalannya waktu, tumbilotohe mulai dilombakan oleh warga. Hingga akhirnya menjadi festival tahun di Gorontalo.

"Tahun ini ramai sekali, tradisi tua yang sampai dengan hari ini dipertahankan oleh warga Gorontalo," ia menandaskan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.