Liputan6.com, Bali - Gelang tridatu menjadi aksesoris tradisional yang kerap digunakan oleh masyarakat Bali. Bahkan, tidak hanya digunakan oleh masyarakat setempat, gelang ini juga kerap melingkar di pergelangan tangan para wisatawan.
Bagi masyarakat Bali, gelang tridatu bukanlah aksesoris biasa. Gelang ini mengandung makna yang mendalam bagi masyarakat Hindu di Bali.
Dikutip dari laman denpasar.go.id, gelang tridatu terbuat dari 3 benang yang dijalin. Warna benang yang digunakan berwarna merah, hitam dan putih.
Advertisement
Baca Juga
Ketiga warna benang yang digunakan dalam pembuatan gelang tridatu menjadi manifestasi Ida Sang Hyang Widhi. Tiga warna benang tersebut melambangkan kesucian Tuhan dalam manifestasinya, yaitu sebagai Brahma (pencipta) yang dilambangkan dengan warna merah, Wisnu (pemelihara) yang dilambangkan dengan warna hitam, dan Dewa Siwa (pelebur) yang dilambangkan dengan warna putih.
Selain itu, gelang tridatu juga melambangkan Tri Kona yang merupakan tiga perjalanan hidup di dunia, yaitu lahir, hidup dan mati. Dengan mengenakan gelang tridatu, diharapkan manusia akan semakin mawas diri tentang perjalanan hidup dan selalu ingat akan Tuhan sebagai Sang Pencipta.
Gelang tridatu memiliki sejarah tersendiri, sehingga sangat spesial bagi masyarakat Hindu di Bali. Gelang tridatu muncul pada abad ke-14 dan 15 ketika berada di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit dengan Dalem Waturenggong sebagai rajanya.
Kala itu, Raja Gelgel melakukan penyerangan ke Nusa Penida dengan mengirim Ki Patih Jelantik untuk melawan Ki Dalem Bungkut. Kekalahan Ki Dalem Bungkut membuat membuat ia terpaksa melakukan kesepakatan dengan Raja Gelgel.
Keributan ini membuat Ratu Gede Mecaling memutuskan untuk melindungi umat Hindu yang masih taat dan berbakti pada leluhur. Sedangkan bagi yang sudah lalai dan melanggar berbakti kepada leluhur akan dihukum oleh Ratu Gede Mecaling.
Gelang tridatu dibuat untuk menandai warga yang taat dan bakti kepada leluhur, sehingga tidak dikenakan hukuman. Sejak saat itu gelang tridatu dipercaya merupakan anugerah untuk menjauhkan diri dari bahaya.
Sedangkan, dalam kitab kuno lontar agastya parwa, gelang tridatu digunakan sebagai sarana perlindungan dari kekuatan negatif. Tujuannya agar manusia bisa terhindar dari hal-hal negatif dan bisa berpikir lebih bijaksana.
Keistimewaan gelang tridatu juga terdapat pada jalinan benangnya yang tidak dibuat secara sembarangan. Jalinan benang tridatu dapat dikatakan benar bila ukuran benangnya sama dan dijalin saling ikat, dan tidak terlepas begitu saja.
Upacara Keagamaan
Gelang tridatu kerap digunakan dalam upacara-upacara keagamaan seperti dalam upakara. Dalam upacara Bhuta Yadnya, gelang tridatu dipakai pemogpog atau pelengkap atas kekurangan persembahan yang dilaksanakan.
Pada pelaksanaan upacara Rsi Yadnya, gelang tridatu digunakan sebagai selempang pada tubuh yang di diksa atau winten sebagai pawitra dari nabe kepada sisya. Sedangkan pada upacara Manusa Yadnya, gelang tridatu digunakan sebagai lambang panugrahan.
Dalam upacara Dewa Yajna, gelang tridatu difungsikan sebagai sarana nuntun Ida Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya. Selain itu, benang Tri Datu juga digunakan sebagai alat atau media penghubung antara pemuja dan yang dipuja.
Bagi masyarakat Bali penggunaan gelang ini memiliki beberapa aturan khusus. Memakai benang pawitra berwarna tridatu juga bermakna pengikatan diri terhadap norma-norma agama.
Meski begitu penganut agama lain juga diperbolehkan untuk mengenakan gelang ini. Hanya saja harus memperhatikan cara mengenakannya yang tidak bisa sembarangan.
Salah satunya dilarang mengenakan gelang Tridatu di pergelangan kaki, karena bisa menjadi salah satu bentuk pelecehan terhadap simbol agama bagi masyarakat Hindu.
Advertisement