Liputan6.com, Papua - Patung mbitoro merupakan kesenian masyarakat Kamoro yang tinggal di Papua. Patung ini dianggap sebagai spesimen paling spektakuler dari seni orang Kamoro.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, masyarakat setempat menganggap patung ini sebagai induk dasar dari semua jenis ukiran yang mereka buat. Hal itu sesuai dengan sejarah asal usul patung mbitoro, yakni pengetahuan mengukir diperoleh sejak nenek moyang menemukan dan mengambil mbitoro dari dasar laut atau sungai.
Patung mbitoro dibuat dari batang dan akar pohon bakau (satu pohon utuh). Setelah ditebang dan dahan-dahannya dilepas, semua akar penopang dipotong dan hanya menyisakan satu akar yang akan diukir.
Advertisement
Baca Juga
Adapun bagian batang pohon tersebut kemudian dilubangi dan dipahat dengan ukiran satu atau lebih figur manusia. Hasil pahatan tersebut dipajang di depan karapao (rumah adat) dengan posisi terbalik.
Patung ini rata-rata memiliki tinggi di atas satu meter dengan diameter mencapai satu meter. Patung ini berdiri tegak di depan rumah adat yang dihiasi dengan berbagai ornamen yang melambangkan kehidupan alam dan makhluk hidup.
Adapun pemancangan patung tersebut dilakukan saat ritual inisiasi, yaitu proses seseorang menuju remaja (tauri). Patung itu kemudian diisi dengan roh para leluhur mereka.
Setiap patung mbitoro menjadi rumah bagi para leluhurnya. Bagi masyarakat Kamoro, mbitoro sangat penting dalam setiap upacara adat penduduk Kamoro karena melambangkan tetua yang diharapkan bantuan dan perlindungannya.
Saat memilih pohon untuk dijadikan patung pun tak bisa sembarangan, hanya pohon-pohon terpilih saja yang digunakan. Masyarakat pesisir biasanya menggunakan jenis pohon myristica fatua dan horsfeida irja.
Adapun motif-motif pada patung mbitoro menggambarkan kekerabatan dan kebersamaan di kalangan Suku Kamoro. Motif-motif dalam patung mbitoro biasanya berupa ruas tulang belakang (uema), awan putih berarak (uturu tani), ekor kuskus pohon (waken bipi), lidah biawak (oke-mbare), kepala manusia (upau), kepala ular (apako upau), insang ikan (ereka kenemu), tulang ikan (ema), dan tempat api atau perapian (utu-wau).
Â
Penulis: Resla Aknaita Chak