Liputan6.com, Aceh - Keluarga korban dan korban peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara, berharap adanya penyelesaian yang berkeadilan dan bermartabat terhadap pelanggaran. HAM yang mereka alami. Keinginan terbesar mereka yaitu dibentuknya pengadilan ad hoc.
Keinginan ini ditegaskan kembali dalam aksi peringatan 24 tahun peristiwa Simpang KKA, Rabu (3/5/2023). Aksi yang digelar oleh keluarga korban dan korban ini berlangsung khidmat dan sederhana yang dibalut dengan doa bersama di atas kuburan para korban.
Peristiwa Simpang KKA sendiri merupakan sebuah peristiwa di mana pasukan dari Detasemen Arhanud Rudal 001 Pulo Rungkon (Den Arhanud Rudal 001) memuntahkan peluru ke arah kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa. Tembakan selama lebih kurang 20 menit itu disusul dengan serangan susulan oleh pasukan dari Batalyon 113.
Advertisement
Saat itu, massa yang melakukan unjuk rasa bergabung dengan kerumunan warga yang datang karena penasaran terkonsentrasi di sebuah persimpangan yang berada di dekat pabrik kertas bernama PT Kertas Kraft Aceh. Massa yang berkumpul saat itu disebut-sebut mencapai ribuan orang.
Unjuk rasa ini sendiri merupakan protes sebab pasukan dari Den Arhanud Rudal 001 melakukan penyisiran dengan cara kekerasan terhadap warga desa setelah salah satu prajurit dari detasemen mereka hilang.
Tembakan yang dilepaskan pada hari itu telah menewaskan puluhan orang dan membuat sebagian orang lagi luka-luka. Setelah puluhan tahun berlalu, barulah pada 11 Januari 2023 peristiwa Simpang KKA secara resmi diakui sebagai pelanggaran HAM berat bersama 11 peristiwa lainnya-termasuk dua peristiwa dari Aceh.
Hal tersebut dinyatakan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi mengatakan bahwa ia menyesalkan apa yang telah terjadi dan berjanji akan memulihkan hak para korban.
Pernyataan Jokowi merupakan manifestasi dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu. Presiden telah menunjuk Menko Polhukam Mahfud Md sebagai ketua tim pengarah dan Makarim Wibisono sebagai ketua tim pelaksana untuk tim ini.
Selanjutnya, Jokowi menerbitkan Keppres No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, dan Inpres 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Tim PPHAM yang keduanya ditetapkan pada tanggal 15 Maret 2023.
Namun, segendang sepenarian dengan keluarga korban dan korban, KontraS Aceh menilai beleid Jokowi dalam memulihkan hak korban pelanggaran HAM masa lalu terkesan setengah hati.
"Bayangkan, Keppres 17/2022 mengenai PPHAM hanya 3 bulan usianya, lalu dilanjutkan dengan perpres dan inpres baru untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. dan akan berakhir pada akhir tahun ini," tegas Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna kepada Liputan6.com, Rabu (3/5/2023) siang.
Ia pesimis bahwa manifestasi pemulihan hak korban nantinya hanya berputar-putar di tataran regulasi saja. Padahal, hari ini korban yogianya sudah menerima apa yang seharusnya mereka dapatkan bertahun-tahun silam.
"Jangan sampai pemulihan korban hanya dari perpres ke perpres saja tanpa tindakan nyata. Termasuk janji presiden untuk menemui korban, itupun masih kami nanti," ujar Husna.
Menurut Husna, apabila pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak diselesaikan secara berkeadilan, salah satunya melalui pengungkapan kebenaran serta pengadilan dengan hukuman yang berat dan setimpal, maka pelanggaran HAM terutama melalui militerisme akan terus mengalami reproduksi.
Selain itu, Husna juga berharap Pemerintah Indonesia dapat melihat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai sebuah kekhususan Aceh dalam hal mekanisme penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM di provinsi tersebut. Hal ini bisa diterapkan melalui apa yang disebutnya sebagai "harmonisasi" terkait dengan anggaran pemulihan hak korban dari APBN melalui KKR.
"Untuk pemulihan sebagaimana Inpres No. Tahun 2023 hendaknya tak hanya untuk 12 pelanggaran HAM masa lalu yang disebutkan dalam keppres tetapi juga bagi korban pelanggaran HAM yang pernyataannya telah diambil oleh KKR Aceh," harap Husna.
Persoalan anggaran ini sendiri dinilai penting karena selama ini manifestasi dari rekomendasi KKR Aceh untuk para korban yang telah mereka data mesti melewati sejumlah mekanisme termasuk kebijakan dari gubernur terlebih dahulu agar terlaksana. Implikasi logisnya, realisasi pemulihan hak korban harus memakan waktu yang lebih lama.
Baca Juga