Sukses

Cerita Wamenkumham Eddy Saat Presiden Jokowi Bertanya soal Pidana Mati sampai Ikhlas Dihina

Setidaknya ada 2 pertanyaan dari Presiden.

Liputan6.com, Ambon - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej mengaku sempat ditanya oleh Presiden Jokowi kaitan KUHP Nasional. Setidaknya ada 2 pertanyaan dari Presiden.

"Memang ketika KUHP ini ditarik lalu kemudian kami para tim ahli dipanggil oleh Presiden, itu ada 2 pertanyaan yang disampaikan presiden. Pertama adalah soal pidana hukuman mati, dan kedua soal penghinaan kepada presiden," kata Prof Eddy, sapaan akrabnya saat Sosialisasi KUHP Nasional dalam agenda Kumham Goes to Campus di Universitas Pattimura, Ambon, Kamis 4 April 2023.

Dia menuturkan, Presiden Jokowi dengan tenang menyikapi soal polemik pasal penghinaan Presiden dan pidana mati. Dan dia menegaskan, munculnya pasal penghinaan presiden bukan karena semata seorang Presiden Jokowi. Saat itu tim ahli pun ikut hadir.

"Nah presiden kita ini sudah Jawa legowo lagi. Beliau mengatakan bahwa adalah saya ini kalau dihina juga tidak apa-apa. Jadi sebaiknya pasal itu dihapus. Prof Tuti (Guru Besar Hukum Pidana UI) waktu itu menjawab dengan tegas bahwa ini bukan persoalan Joko widodo, tapi ini persoalan marwah dari Presiden dan Wapres," ungkap dia.

Lebih jauh dia menjelaskan, filosofi hukum pidana itu adalah fungsinya melindungi. Termasuk melindungi martabat dan marwah Presiden, Wapres dan lembaga negara.

"Yang dilindungi itu apa? kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan negara? Kepentingan masyarakat? Kepentingan individu? Yang dilindungi dari kepentingan itu apa saja? Satu adalah nyawa, ada kejahatan terhadap tubuh, ada penganiayaan dan sebagainya. Yang kedua adalah properti. Ada pencurian, penggelapan, penipuan itu kan properti yang dilindungi. Ketiga yang dilindungi apa? martabat. Ini terkait marwah lembaga negara, marwah Presiden, marwah Wapres. Ini bukan persoalan equility before the law. Tetapi ini persoalan primus inder paris," jelasnya.

Kemudian jika ada pertanyaan, mengapa pasal penghinaan presiden tidak digunakan saja pasal penghinaan biasa. Dia menambahkan, jika pertanyaannya demikian, maka sebaiknya hapus saja pasal-pasal makar.

"Makar itu kan pembunuhan terhadap Presiden, mengapa harus ada pasal itu kan ada pasal pembunuhan biasa. Itu menandakan bahwa presiden dan wakil presiden itu punya kedudukan dan bukan orang sembarangan. Anda bisa bayangkan jumlah pemilih mereka itu minimal 50 persen yang punya hak pilih plus 1. Jadi itu harus diatur," ujar dia.