Sukses

Tulila, Alat Musik Spiritual Masyarakat Batak

Alat musik ini sebenarnya mirip dengan alat musik sulim (seruling masyarakat Batak).

Liputan6.com, Medan - Tulila merupakan alat musik tradisional dari bambu khas masyarakat Batak. Bambu yang digunakan biasanya bambu dihon, bambu rogon, dan lainnya.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, alat musik ini sebenarnya mirip dengan alat musik sulim (seruling masyarakat Batak). Hanya saja, pangkal bambu pada tulila diisi sepotong kayu penyumbat.

Kayu penyumbat tersebut berfungsi sebagai lidah suara. Adapun soal bunyi, alat musik Batak ini tidak menghasilkan bunyi senyaring sulim.

Mengutip dari bpodt.id, alat musik ini jarang dimainkan tetapi sangat spiritual. Pada zaman dahulu, alat musik ini digunakan untuk penyembahan dan pemujaan terhadap Tuhan. Tak heran jika alat musik ini disebut sebagai alat musik spiritual bagi masyarakat Batak yang biasanya dimainkan saat upacara adat.

Salah satu seniman asal Batak yang masih memainkan alat musik ini adalah Hardoni Sitohang. Ia terus menjaga dan melestarikan tulila agar tetap hidup.

Pasalnya, tulila sempat punah. Selama lebih dari 10 tahun orang-orang tidak memainkan alat musik ini.

Hardoni kemudian bangkit dan membawa irama baru dengan tulila. Irama baru tersebut didapatkan dari hasil mengadopsi lagu-lagu rohani umat Kristiani. Dari sanalah tulila kembali dikenal dan sering dimainkan sebagai alat musik pengiring umat Kristiani saat beribadah.

Awalnya, alat musik ini memang digunakan sebagai media interaksi kepada Tuhan. Alat musik ini juga sering hadir dalam perayaan upacara adat masyarakat Batak.

Pada budaya Batak lainnya, alat musik ini juga digunakan sebagai pengiring untuk menyambut datangnya tamu pihak laki-laki ke kediaman pihak wanita. Kunjungan ini bermaksud mengikat tali cinta antara keduanya.

Kini, tulila menjadi alat musik yang hanya diperdengarkan saat acara-acara tertentu dan sebagai pengusir burung di sawah. Meski demikian, nilai spiritual tulila tidak pernah pudar dan masih ada hingga kini.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak