Liputan6.com, Aceh - Permakaman ini tidak lebih luas dari lapangan bulu tangkis. Ia dikelilingi pagar beton serta kisi-kisi besi berkilau. Dari jauh, akan terlihat rimbunan puring yang mencuat dari pagar pekuburan itu. Pucuk-pucuknya menuding langit, menyembunyikan belasan jasad terkubur di bawahnya.
Jasad-jasad tersebut adalah jasad penduduk setempat yang dibunuh serdadu Indonesia dua puluh tahun silam. Nama mereka kini terpahat pada tugu dalam permakaman itu. Pahatan nama bercat emas tersebut kini agak sulit dibaca. Terdapat rekahan memanjang yang membelah lempengan granit berisi nama-nama korban.
Matahari berada di atas ubun-ubun ketika surah Yasin mulai dibacakan. Hawa di permakaman itu pun terasa masygul. Suara pak tua yang memimpin doa sempat tercekat beberapa kali. Ludahnya tertahan di kerongkongan. Ia tak kuasa menahan tangis.
Advertisement
Baca Juga
Kebanyakan orang ini adalah keluarga korban. Datang dari seantero tempat, setahun sekali mereka berkumpul di pemakaman. Menggelar yasinan, khataman Al-Qur'an, dan kenduri seadanya. Demi memorabilia, meski jauh dari kesan mewah.
"Hanya ini yang bisa kami lakukan agar peristiwa itu terus diingat. Sekarang ini sudah generasi ketiga. Artinya, keluarga korban banyak yang sudah memiliki cucu," kata Saburan, keluarga korban, usai peringatan tragedi Jambo Keupok, Rabu (17/5/2023).
Sabtu pagi 17 Mei 2003, serdadu Indonesia datang membawa jahanam itu ke Jambo Keupok, Aceh Selatan. Dalih menyisir anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebanyak 16 orang laki-laki dibunuh: dua belas dibakar setelah diberondong peluru; empat lagi dihabisi dengan cara ditembak.
Sebelumnya, seluruh penduduk dipaksa keluar rumah lalu dibariskan di halaman. Mereka dipaksa mengaku menyembunyikan anggota GAM. Karena tidak dapat memberi jawaban yang diinginkan, banyak penduduk yang disiksa. Mulai dihantam dengan popor senapan hingga dipermalukan sebelum dihabisi.
Serdadu-serdadu itu baru beranjak dari desa menjelang tengah hari. Setelah yakin situasi telah aman, penduduk baru berani memadamkan api di rumah tempat belasan korban dibakar. Mereka dibantu penduduk desa tetangga.
Pemakaman baru bisa dilakukan menjelang asar. Semua korban dikubur dalam satu liang yang sama. Situasi masih terasa mencekam. Proses pemakaman harus dilakukan dengan cepat. Tentara bisa saja sekonyong-konyong kembali.
Desa itu seketika nyenyat pada malam hari. Banyak rumah yang ditinggalkan penghuninya. Mereka mengungsi ke masjid setempat. Lebih dari satu bulan lamanya di sana. Dalam kondisi berkabung serta kekurangan makanan.
Diakui sebagai Pelanggaran HAM Berat
Apa yang terjadi di Jambo Keupok menurut Komnas HAM dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan catatan, perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”. Ini mengacu pada pasal 7 juncto 9 UU No. 26 Tahun 2000.
Namun, pembantaian di Jambo Keupok baru diakui sebagai pelanggaran HAM berat pada 11 Januari 2023. Hal tersebut dinyatakan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Secara keseluruhan, pernyataan ini ditujukan untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia kurun waktu 1965–2003. Tiga di antaranya terjadi di Aceh sewaktu militerisme diberlakukan di provinsi itu dalam rangka merespons gerakan separatisme.
Pernyataan Jokowi merupakan tindak lanjut dari Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) yang Berat Masa Lalu. Tim ini melahirkan 11 rekomendasi. Di antaranya menyampaikan pengakuan penyesalan dan memulihkan hak korban. Seperti yang baru saja dilakukan.
Selanjutnya, Jokowi menerbitkan Keppres No. 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat, dan Inpres 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Tim PPHAM. Keduanya ditetapkan pada Maret 2023.
Beleid tersebut tidak serta-merta diterima. Awal pembentukannya, formasi tim PPHAM dipertanyakan. Tim kecil tersebut diisi oleh sejumlah nama kontroversial. Seperti, Wakil Kepala Staf TNI AD Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kiki Syahnakri, eks Ketua pelaksana Simposium Anti-Partai Komunis Indonesia pada 2016 lalu.
Selanjutnya, ada mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negera (BIN) As’ad Said Ali. Nama orang ini sempat mencuat dalam kasus pembunuhan Munir.
Korban tragedi Simpang KKA via Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Sp. KKA (FK3T-SP KKA) bahkan menolak langkah nonyudisial yang maujud melalui keppres. Pemulihan yang diajukan Jokowi dinilai terlalu digadang-gadangkan. Padahal, hal itu wajib dilakukan sekalipun tanpa keppres.
”Keppres ini tidak tepat dan tidak berkenan di hati kami. Andai pun pemerintah ingin melakukan reparasi (pemulihan) terhadap korban dan keluarga korban silakan saja, tetapi tidak harus direalisasikan melalui keppres," kata salah satu korban Sp. KKA, Safri Ilyas, dalam rilis yang dikeluarkan pada November tahun lalu.
Advertisement
Negara Setengah Hati
Korban Simpang KKA lainnya, Murtala, merasa ragu. Mekanisme nonyudisial tidak menghasilkan keputusan hukum yang mengikat serta berkeadilan. Selain itu, berpotensi melanggengkan impunitas karena berorientasi pada peristiwa dan kerugian korban sementara pelaku tidak tersentuh sama sekali.
"Apabila (keppres) kami terima nanti, kami takut akan dikhianati. Kami takut pemerintah tidak berniat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh melalui Pengadilan HAM Ad Hoc," tegas Murtala dalam rilis yang sama.
Peristiwa Simpang KKA sendiri terjadi pada tahun 1999. Tepatnya di bulan yang sama ketika peristiwa Jambo Keupok terjadi. Pada 3 Mei lalu, komunitas korban dan keluarga korban menggelar aksi di lokasi tentara memberondong kerumunan warga yang menyebabkan puluhan orang tewas 24 tahun silam.
Di atas spanduk yang mereka bentang tertulis, "24 tahun perjuangan penyelesaian pelanggaran HAM, berkeadilan dan bermartabat bukan penyelesaian setengah hati". Dengan kalimat penegasan di bawahnya berbunyi, "kami menanti Pengadilan HAM ad hoc".
Hal senada diutarakan Syahar Banu. Perempuan di Divisi Pemantauan Impunitas KontraS ini turut hadir dalam peringatan 20 tahun tragedi Jambo Keupok, Rabu (17/5/2023). Menurutnya, andai kata negara hendak melakukan pemulihan, maka harus berupa pemulihan individual dan kolektif yang bermartabat. Juga menyentuh seluruh korban, keluarga korban, termasuk warga Jambo Keupok.
"Dan jangan lupa juga, pemulihan tersebut harus sejalan dengan upaya pencarian keadilan lewat jalur yudisial dan jaminan tidak berulangnya peristiwa. Misalnya dengan meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Tindakan Penghilangan Orang Secara Paksa," ujar Banu.
Serangan ke Jambo Keupok terjadi di masa transisi. Yakni menjelang berakhirnya Operasi Militer Terbatas (OMT) atau hanya beberapa hari sebelum Darurat Militer (DM) ditetapkan di Aceh pada 19 Mei 2003. Mengingat pembantaian di Simpang KKA juga terjadi di bulan yang sama pada 1999, rasa-rasanya Mei adalah bulan berkabung bagi orang Aceh.
Ini ditegaskan kembali oleh KontraS Aceh dalam diskusi bertajuk Refleksi 20 Tahun Penetapan Darurat Militer di Aceh yang digelar di halaman kantor organisasi kemanusiaan itu pada Jumat (19/5/2023). "Refleksi ini bukan hanya tentang darah yang tumpah tetapi juga keseriusan negara dalam hal pemulihan korban pelanggaran HAM masa lalu," tegas Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna kepada Liputan6.com.
Menurut Azharul, rekomendasi pemulihan yang dipersoalkan sebagian korban menandakan bahwa terdapat sesuatu yang salah di dalam langkah yang sedang diambil oleh pemerintah. Terutama berkaitan dengan pendekatannya. "Padahal, kalau pendekatannya menggunakan pendekatan berbasis hak, tentulah tak jadi soal bagi korban".
Tidak diikutsertakannya KKR Aceh dalam skema pemulihan nasional mempertegas hal tersebut. Ini tampak dari keengganan pemerintah untuk menggunakan data korban pelanggaran HAM masa lalu yang ditangani oleh lembaga itu, kata Azharul.