Liputan6.com, Yogyakarta - Pewarta Foto Indonesia (PFI) Yogyakarta menggelar pameran foto bertepatan dengan peringatan 17 tahun gempa jogja. Sebanyak 59 foto dipamerkan dalam pameran foto jurnalistik bertajuk Kilas Pitulas 17 Tahun Gempa M 5,9 Jogja-Jateng.
Pameran foto hasil karya fotografer yang tergabung dalam PFI Yogyakarta ini menggambarkan peristiwa gempa dahsyat yang melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006. Foto-foto ini mengabadikan momen-momen penting selama dan setelah gempa, memperlihatkan perjuangan masyarakat dalam menghadapi bencana, serta upaya dalam membangun kembali kehidupan mereka.
Bukan cuma soal foto yang sarat kenangan peristiwa menggetarkan ini, namun proses pameran foto ini juga tidak kalah memacu adrenalin. Hasilnya, sebuah pameran foto yang unik dan Instagramable.
Advertisement
Baca Juga
Pameran foto jurnalistik Kilas Pitulas yang digelar pada 26 Mei sampai 2 Juni 2023 berada di lokasi yang tidak biasa. Kebanyakan pameran foto digelar di galeri, namun PFI Yogyakarta justru mengambil Warung Mie Ayam dan Bakso Dhongso yang berada di Sariharjo, Ngaglik, Sleman, sebagai tempat pameran.
Warung mi ayam yang satu ini lain dari yang lain. Dibangun di atas tanah lapang dengan beberapa bangunan joglo di atasnya.
Beragam tanaman yang terdapat di dalamnya membuat interior Dhongso terlihat sangat artistik. Selain memanjakan lidah dan perut pengunjung dengan cita rasa autentik menu, mata pengunjung juga dimanjakan dengan hijaunya tumbuh-tumbuhan.
Pameran foto mengambil lokasi di salah satu joglo dan beberapa sudut ruangan lain. Jam buka pameran seiring dengan jam buka dan tutup Dhongso sampai dengan pukul 22.00 WIB.
Keunikan pameran tidak berhenti di sini. PFI Yogyakarta memamerkan foto-foto jurnalistik bertema gempa Jogja bukan dalam pigura. Foto dicetak dalam selembar kain satin berwarna putih.
Puluhan kain satin bergambar aneka foto gempa Jogja tergantung rapi di joglo Dhongso. Pengunjung yang ingin mengabadikan pameran foto itu pun bisa dengan mudah berswafoto untuk diunggah ke media sosial. Ornamen dekorasi, media foto, dan lokasi pameran menjadi sangat selaras.
“Saya menawarkan tempat saya ini karena persiapan pameran yang terbilang singkat, kurang dari satu bulan,” ujar Wawa Prabowo, pemilik Mie Ayam dan Bakso Dhongso.
Wawa juga merupakan salah satu peserta pameran foto. Ia ikut memamerkan foto-foto gempa Jogja yang diperolehnya ketika masih bertugas sebagai fotografer di salah satu media cetak nasional terkemuka.
Tantangan Kurasi
Menurut kurator pameran foto Kilas Pitulas, Ulet Ifansasti, tantangan dalam mengurasi foto adalah keterbatasan sumber pemilik foto. Ia tidak menampik rata-rata anggota PFI Yogyakarta saat ini belum bekerja menjadi fotografer saat gempa Jogja terjadi.
“Akhirnya mencari-cari dan masih ada anggota PFI senior yang punya,” ucap Ulet.
Kalau hanya berpatokan pada foto peristiwa gempa Jogja, ternyata jumlah foto yang terkumpul masih terbatas. Akhirnya, foto dibagi ke dalam tiga kategori, yakni peristiwa, recovery atau pemulihan, dan mitigasi.
Dengan demikian, anggota PFI yang baru bergabung setelah gempa Jogja juga bisa ikut berpartisipasi dalam dua kategori itu. Ada sekitar 20 dengan total 500 foto yang masuk.
“Open submit hanya empat sampai lima hari,” kata Ulet.
Ia mengurasi foto dan terpilihlah 59 foto yang dipamerkan. Ada dua alasan 59 foto yang dipamerkan dalam Kilas Pitulas.
Pertama, 59 menggambarkan kekuatan gempa Jogja M 5,9. Kedua, keterbatasan tempat pameran di Dhongso.
“Dalam mengurasi foto, memilih foto yang soft dan tidak vulgar, karena tidak semua orang bisa melihat foto yang vulgar dengan berdarah-darah, misalnya,” tutur Ulet.
Menurut Ulet, pameran foto gempa Jogja Kilas Pitulas bisa menjadi pengingat sekaligus merawat kenangan. Artinya, dengan mengetahui kejadian zaman dulu bisa menjadi persiapan di masa depan.
“Ini bisa untuk kilas balik dan menjadi evaluasi pemangku kepentingan,” kata Ulet.
Advertisement
Menghargai Komunitas
Senada, Ketua Pameran Kilas Pitulas Aka Rahman berpendapat dengan mengingat dan menjadikan pengalaman, gempa tersebut menjadi momentum bagi pemangku kepentingan untuk berupaya agar menciptakan lingkungan yang relatif aman dari gempa.
“Dengan harapan agar masyarakat tidak lagi kehilangan keluarga tercinta akibat bencana gempa bumi,” ujarnya.
Foto-foto yang dipamerkan juga memberikan gambaran semangat kebangkitan dan ketahanan masyarakat setelah gempa. Mulai dari proses pemulihan, bantuan dan kerja keras masyarakat dalam membangun kembali rumah, sekolah, dan infrastruktur yang rusak. Menunjukkan kekuatan manusia dalam menghadapi tantangan dan mengatasi kesulitan.
Disuguhkan pula foto-foto yang mencerminkan solidaritas dan kebersamaan antara masyarakat Yogyakarta-Jawa Tengah dan pihak-pihak lain yang datang untuk memberikan bantuan bahkan dari Internasional
Melalui foto-foto ini, orang akan menghargai daya tarik kemanusiaan dan kekuatan komunitas dalam menghadapi bencana.
Pameran ini mengajak pengunjung untuk merenungkan kekuatan manusia dalam menghadapi bencana dan mengatasinya,” ucapnya.