Sukses

Jika Indonesia Mau Bangkit dari Keterpurukan Minat Baca: Sasar Ibu-Ibunya

Para ibu di Indonesia punya peran sentral membangkitkan minat baca anak-anak.

Liputan6.com, Jakarta Jika bangsa Indonesia ingin bangkit dari keterpurukan minat baca, hal fundamental yang perlu dilakukan adalah sasar ibu-ibunya. Hal itu diungkapkan Nova Indah Wijayanti, pustakawan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang didapuk Perpusnas menjadi salah satu Pustakawan Berprestasi Nasional 2023 oleh Perpusnas. Nova mengatakan, seorang ibu merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak dalam keluarga. Dirinya meyakini, jika para ibu di Indonesia berbudaya baca tinggi, secara otomatis anak-anaknya juga akan terbawa.

“Ibu-ibunya dulu deh yang dipegang. Karena ibu-ibu punya peran sentral di keluarga, dari keluarga bisa mengubah Indonesia,” kata Nova, kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Bukan tanpa sebab, hasil survei UNESCO pada 2016 menyebut, Indonesia berada di urutan kedua dari bawah, dengan gambaran hanya ada 1 yang gemar membaca dari 1000 orang. Penelitian berjudul World’s Most Literate Ranked yang diterbitkan Central Connecticut State University di tahun yang sama juga menyebutkan, tingkat literasi masyarakat Indonesia ada di posisi ke-60 dari 61 negara.

“Hal yang paling gampang masuk ke ibu-ibu arisan. Ini sudah saya lakukan. Saya datangkan pembicara untuk bahas bank sampah. Dari ketertarikan itu minat baca akan terbangun,” katanya.

Meski begitu, survei dan penelitian tersebut tidak bisa dijadikan patokan bahwa minat baca orang Indonesia rendah, mengingat ada masalah kesenjangan akses buku dan informasi serta pemahaman literasi antara di kota dan desa.  Ini yang dalam pandangan Nova, menjadi PR besar bagi seorang pustakawan khususnya di Indonesia, yaitu bagaimana caranya memangkas kesenjangan buku antara desa dan kota di tengah upaya membangkitkan minat baca.

Nova mengatakan, memangkas kesenjangan buku demi meningkatkan minat baca orang Indonesia, khususnya di daerah, harus dilakukan dengan komprehensif, artinya dilakukan secara luas dengan kolaborasi berbagai pihak, termasuk dukungan penuh dari pemerintah sendiri.

“Kalau di daerah itu yang didengar tokoh, bisa tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat. Itu dulu yang dilakukan, yaitu membuat campaign dengan menggandeng tokoh-tokoh. Butuh juga kerja sama penerbit buku, penulis, dan tokoh komunitas, untuk menerbitkan buku-buku yang memang dibutuhkan di masyarakat,” katanya.

Semangat itu, kata Nova, sejalan dengan semangat Perpusnas yang menginginkan perpustakaan di daerah punya peran lebih luas dari sekadar tempat baca. Perpustakaan berbasis inklusi sosial menjawab tantangan zaman, mengingat masyarakat berhak memperoleh informasi yang dibutuhkannya untuk mendatangkan kesejahteraan.

“Nah agar bertemu antara kebutuhan dengan informasi yang tersedia itu yang dibutuhkan adalah kerja sama dengan berbagai pihak. Dan pemerintah harus ada di situ. Misal dibikin perlombaan bikin buku tentang pertanian milenial di masyarakat, kemudian masyarakat di luar Jawa mungkin butuhnya informasi tentang air bersih. Bikinlah buku tentang itu, dengan bahasa yang simple bukan yang susah. Jadi minat baca itu terbangun untuk benar-benar menjawab permasalahan yang ada,” katanya.

Nova, yang merupakan lulusan Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga meyakini, ke depan tugas seorang pustawakan bukan hanya menjaga dan melayani peminjam buku, tetapi ikut andil menjawab tantangan membangun minat baca dan memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat.   

“Perpustakaan di Indonesia itu jumlahnya nomor dua terbanyak di dunia. Tantangannya memang gimana caranya menarik minat masyarakat, maka diperlukan komunikasi yang bagus. Pustakawan harus menguasai teknik komunikasi,” katanya.

 

 

2 dari 2 halaman

Pustakawan Harus Menyatu dengan Masyarakat

Nova juga mengatakan, seorang pustakawan, khususnya di daerah, perlu terjun langsung ke masyarakat supaya kelihatan visibilitasnya di tengah masyarakat. Menyatu dengan masyarakat, ikut kegiatan yang digelar masyarakat, dia bermanfaat dulu. Setelah itu pesan-pesan dan ajakan membaca pasti akan didengar. Untuk itu, seorang pustakawan perlu punya branding yang bagus. Salah satunya dengan berprestasi di tingkat nasional dan membuat inovasi-inovasi.

“Makanya teman-teman pustakawan sekarang itu punya akun medsos, akun IG, TikTok, itu bisa digunakan pustakawan untuk unjuk diri ke masyarakat dan bangun personal branding,” katanya.

Personal branding tanpa inovasi akan jadi percuma. Untuk itu Nova merancang beragam inovasi untuk membangun minat baca dengan cara-cara yang tidak biasa. Salah satunya adalah dengan media film pendek. Nova membuat film pendek dengan menggandeng penulis buku dan influencer. Film pendek itu dibuat berdasarkan isi buku, sehingga mengundang ketertarikan dan minat membaca buku. Praktik ini sudah dilakukan Nova selama menjadi pustakawan UGM.

Tak hanya itu, Nova juga merancang inovasi Library Skill, yaitu program literasi untuk mahasiswa pascasarjana yang sedang menyusun tesis dan disertasi, dengan memberikan informasi semua recources yang dimiliki UGM termasuk tentang manajemen referensinya.

“Jadi inovasi ini memungkinkan mahasiswa membuat daftar pustaka secara instan tanpa ribet manual. Termasuk juga literasi visualnya. Bikin grafis, membuat infografis menggunakan tools Google Studio, Canva, kita informasikan di situ. Biar mahasiswa nanti punya bekal saat bikin tesis, presentasi, jadi lebih menarik dan mudah,” katanya.

Nova menyadari, tugas seorang pustakawan kini harus bisa menjawab berbagai tantangan zaman. Untuk itu dirinya membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, mengingat tugas yang diemban seorang pustakawan kini bukan lagi hanya membereskan buku dan melayani peminjam buku, tapi lebih dari itu, memberikan literasi informasi yang dibutuhkan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

Nova berharap pemerintah mau memberikan kesempatan bagi para pustakawan untuk lebih berperan di tengah masyarakat melalui berbagai inovasi yang dilakukannya.

“Jadi kalau sekarang mungkin perannya baru sebatas memberikan literasi informasi, dan sudah selesai gitu saja. Mungkin ke depan akan lebih punya peran. Misal saya bikin movie itu impaknya masih skala kecil, komunitas. Ke depan bisa dilibatkan lagi yang lebih besar dengan dukungan pendanaan dari pemerintah, itu bisa dilakukan,” katanya.

Nova juga berharap pemerintah turut andil meningkatkan kompetensi para pustakawan, dengan mengirimkan ke luar negeri, membangun branding sehingga gaungnya terdengar, dan di dunia internasional juga tidak ketinggalan.

“Jadi banyak-banyaklah menyekolahkan pustakawan ke luar negeri, itu juga sebagai upaya bancmarking di luar negeri. Tentu ini butuh dukungan penuh dari pemerintah,” katanya.