Liputan6.com, Jakarta - Pustakawan sejatinya adalah agent of change, yaitu orang-orang yang berada di garda terdepan melakukan perubahan sosial untuk pembangunan. Perannya bahkan lebih sentral dari sekadar tenaga pendidik.
Stigma yang menyebut pustakawan hanya seorang penjaga dan pengolah buku untuk disajikan di perpustakaan harus diubah. Kini pustakawan adalah aktor penerjemah ilmu dari buku-buku yang dimilikinya untuk menjadi aktivitas edukasi dan pengembangan life skill melalui beragam inovasi.
Hal itu yang setidaknya diutarakan Mokhamad Farid Rohmawantika. Salah satu Pustakawan Berprestasi Nasional 2023 asal Blora itu tahu betul perjuangan seorang pustakawan dalam perannya sebagai agen perubahan sosial. Indonesia sebagai bangsa yang besar, baginya, sangat membutuhkan kiprah pustakawan, baik di institusi pendidikan maupun swasta, baik di kota maupun di daerah.
Advertisement
"Bayangkan 270 juta jiwa penduduk Indonesia hanya dilayani 5000an pustakawan," katanya.
Itu artinya butuh perjuangan ekstra dari seorang pustakawan untuk selalu menggelorakan semangat belajar sepanjang hayat demi menjawab tantangan global. Bukan tanpa sebab, jika minat baca tidak diperbaiki dan pustakawan tidak berdaya, jangan harap kesejahteraan akan hadir di tengah masyarakat.
"Dampak kesejahteraan merupakan parameternya. Kita bisa lihat sangat berbeda sosok petani yang berkualitas literasi tinggi dengan petani yang rendah literasinya," kata farid.
Seorang petani yang berdaya misalnya, selalu identik dengan petani yang mau belajar, gemar membaca dan mengimplementasikan pengetahuannya dalam bentuk inovasi-inovasi teknik pernanian yang baru. Dalam pandangan Farid, petani yang berdaya tidak melulu adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Berdaya adalah soal pilihan, mau atau tidak.
"Terlepas dari berpendidikan atau tidak, bergantung kerajinannya dalam mengubah diri melalui membaca dinamika pertanian dan memgikuti tren kemajuan ilmu pertanian melalui kegiatan literasinya," kata Farid.
Memang tidak ada yang instan dalam memperoleh keberhasilan, semua perlu proses yang panjang, termasuk menanamkan minat baca kepada masyarakat agar lebih berdaya dan mendatangkan kesejahteraan. Farid mengatakan, hal yang paling urgen dan revolusioner yang harus dilakukan Indonesia untuk membangkitkan minat baca masyarakatnya, adalah dengan menghadirkan banyak pustakawan berkualitas di daerah-daerah. Jumlahnya paling tidak satu pustawakan berbanding seribu penduduk.
"Kondisi saat ini, satu berbanding 55.000, nyaris satu pustakawan menanggung setara penduduk satu kotamadya. Itu pun dengan sebaran yang tidak merata, lebih menumpuk di instansi,"" ungkap Farid.
Dirinya juga menyayangkan rendahnya kualitas maupun kuantitas pustakawan di sekolah. Sekolah kerap menjadikan pustakawan yang hanya sekadar penjaga buku yang melayani peminjaman buku semata, belum punya peran sentral dalam mentransfer pengetahuan. Padahal, menurut Farid, sekolah merupakan pondasi utama dalam pendidikan.
"Sekolah itu pondasinya cita-cita Indonesia hebat. Saya berharap pemerintah mau memprioritaskan ketersediaan pustakawan di daerah-daerah untuk mencapai Indonesia emas 2045," katanya.
Selain penambahakan tenaga pustakawan berkualitas, persoalan kesenjangan buku antara kota dan desa menjadi masalah yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Ketersediaan tenaga pustakawan juga harus dibarengi dengan ketersediaan buku.
"Buku akan terbengkalai tanpa pengelolanya, jangan paksakan selain pustakawan untuk menjalankan tugas itu," katanya.
Setelah tanaga pustakawan berkualitas sudah tersedia, maka perpustakaan harus mendapat akreditasi nasional. Jika kedua aspek penggerak literasi sudah tersedia, maka katerbatasan buku bisa dipangkas melalui kebijakan pendanaan dari pemerintah melalui pengembangan koleksi perpustakaan.
Untuk memangkas kesenjangan buku diperlukan kolaborasi yang apik dari berbagai pihak, termasuk komunitas literasi dan penerbit buku serta penulis. Namun upaya tersebut tidak akan berarti tanpa dukungan penuh dari pemerintah untuk menyediakan tenaga pustakawan yang berkualitas.
Pustakawan juga perlu melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan minat baca. Farid misalnya telah melakukan berbagai inovasi, antara lain Saka Pustaka, yaitu gerakan pramuka literasi yang sudah ada sejak 2007. Bahkan gerakan literasi di tubuh pramuka ini sudah diaplikasikan di banyak daerah di Jawa Tengah, seperti di Blora, Kabupaten banyumas, Kabupaten Demak, Kota Salatiga, bahkan sampai ke SMAK Penabur Sumarecon Bekasi dan Provinsi Banten.
Â
Â
Menyentuh Langsung Masyarakat
Tak hanya di institusi Pendidikan, gerakan inovasi yang dilakukan Farid juga menyentuh langsung masyarakat, dengan menghadirkan Selamat (Sekolah Literasi Masyarakat). Wadah ini menjadi tempat pembelajaran dan perubahan sosial dengan mengoptimalkan fungsi kemitraan perpustakaan sebagai sarana belajar sepanjang hayat.
"Di sini ada Kelas Anak (Kelompok Literasi Anak, Kelas Diva (Kelompok Literasi Disabilitas), dan Kelas Mapujar (Kelas Literasi Mahasiswa dan Pelajar). Ini sudah dari 2017 sampai sekarang," kata Farid.
Farid juga menggandengan organisasi GREAT (Gerakan Relawan Internasional) membuat program Gelora (Gerakan Kerelawanan Literasi Blora). Program ini berusaha meningkatkan minat baca masyarakat di Blora melalui berbagai pengembangan literasi. Hanya saja program ini seikit terhambat karena pandemi Covid-19 dan meningkatnya eskalasi geopolitik di Eropa.
Yang menarik, saat pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, dan pergerakan masyarakat dibatasi, Farid yang merupakan jebolan Ilmu Perpustakaan Universitas Padjajaran Bandung, menciptakan inovasi yang diberi nama Sepakat, yaitu Sistem Integrasi Pustaka Berbasis Kesejahteraan Masyarakat.
"Implementasinya saat pandemi kita mengoptimalkan layanan digital perpustakaan. Kita juga membuat inovasi pengelolaan perpustakaan yang berintegrasi antara daring dan luring sejak 2019 sampai sekarang," katanya.
Â
Advertisement