Liputan6.com, Jakarta - Suka membaca dan mengoleksi buku membuat Indah Rachma Cahyani memiliki pandangan berbeda soal perpustakaan. Baginya, perpustakaan bukan sekadar tempat penyimpanan dan penataan buku.
Kecintaannya terhadap dunia literasi inilah yang akhirnya menggiringnya memilih bidang pendidikan yang untuk sebagian orang dianggap tidak populer. Selepas tamat SMA, ia memutuskan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga (Unair).
Sekalipun kedua orangtuanya mendukung penuh keputusannya, tetapi masih saja ada pertanyaan dan pandangan sebelah mata dari kerabat dan keluarga jauh. Kebanyakan mereka mempertanyakan pilihan Indah soal jurusan kuliah.
Advertisement
"Mereka tidak tahu saja sebenarnya, saya menjelaskan dengan alasan-alasan yang lebih dimengerti, jurusan ini akan berguna, Indonesia akan mengikuti, di barat sudah ada sekolah sains informasi dan ini akan terjadi di Indonesia," ujar perempuan kelahiran 30 tahun silam ini.
Sebenarnya, sejak SMA Indah sudah punya pikiran ilmu perpustakaan berkembang, bukan sekadar membaca dan mengatur buku, tetapi juga teknologi, perilaku manusia, keaktifan pustakawan, dan sebagainya. Apa yang ada di benaknya pun terbukti.
Selepas S1 dia semakin paham literasi bukan sekadar baca tulis karena perkembangannya yang pesat. Masih penasaran dengan ilmu ini, Indah memutuskan untuk memperdalam ilmunya dengan mengambil studi S2 Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Di sini saya semakin paham perpustakaan adalah soal big data," ucapnya.
Setelah mendapatkan gelar master, dia mendapatkan kesempatan mengabdi di kampus lamanya. Indah menjadi pustakawan di Unair sejak 2020.
"Dengan menjadi pustakawan, kita bisa menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan," kata Indah.
Baginya, perpustakaan dan pustakawan memainkan peran penting dalam menavigasi informasi. Sebagai navigator, orang datang ke perpustakaan dengan kebingungan dan si pustakawan memberikan petunjuk.
Menurut Indah, ada pergeseran dalam baca dan tulis. Saat ini, peran pustakawan sebagai navigator informasi yang terkait dengan berbagai aktivitas manusia. Jadi tidak hanya belajar buku, melainkan juga belajar perilaku manusia dan pustaka, sehingga pustakawan yang baik lincah menanggapi dan menangkap serta solutif.
"Dalam level paling sederhana, misalnya pemustaka sekarang tidak bisa dikasih kursi kaku, harus kursi yang nyaman, ada coworking space yang nyaman, dan itu menjadi tugas pustakawan untuk memberikan solusi, kami menyebutnya new librarian," ujar Indah.
Inovasi SLR
Kebiasaan berinovasi dalam dunia literasi membuat Indah punya prinsip cari tahu, dapatkan, dan beri tahu. Prinsip ini pula yang menggiringnya sebagai inisiator metode riset baru di Unair.
Namanya systematic literature review (SLR). Kelahiran SLR tidak bisa lepas dari kondisi ketika itu.
Pandemi Covid-19 yang melanda membuat penelitian atau riset di Unair sulit dilakukan karena pembatasan mobilitas.
"Saya melihat peluang, saya melihat kalau misalnya kita melakukan kajian literatur yang sistematik bagaimana, saya tawarkan ke dosen, bagaimana kalau kita melakukan studi ini, ini jadi solusi ketika studi empiris sulit dilakukan, terutama orang teknik dan kesehatan yang harus ke lab atau lapangan," ucapnya.
Artinya, tanpa melakukan penelitian akademisi bisa melakukan kajian literatur yang sistematis. Semula SLR ini diterapkan untuk bidang kesehatan, namun semakin lama ilmu sosial juga bisa menerapkan hal yang sama.
Divisi Pelatihan dan Pengembangan, Perpustakaan UNAIR, tempat Indah mengabdi, memiliki program library class enam topik. Kemudian untuk menyosialisasikan SLR dan jurnal klinik dibuka dua kelas baru. Enam bulan setelah pandemi Covid-19, SLR diluncurkan.
Antusiasme dan respons para dosen cukup baik. SLR pun masuk ke mata kuliah.
"Di sini membuktikan pustakawan bisa masuk ke kegiatan penelitian, tidak hanya sebagai penunggu kontainer melainkan juga mampu menjadi pengelola konten, bisa bilang orang ketergantungan terhadap perpustakaan civitas," tutur Indah.
Ada sejumlah tahapan dalam SLR dan pustakawan berperan di semua tahapan itu. Bisa dikatakan, pustakawan menuntun jalannya riset, serupa konsultan yang masuk di setiap tahap riset.
SLR dimulai dengan menentukan pertanyaan penelitian dengan metode PICO. Pertanyaan menjadi kunci awal sebuah riset.
Setelah itu dilanjutkan dengan menentukan kriteria, merumuskan kata kunci, searching, screening menggunakan tools, kriteria eligibiltas, sintesis, sampai akhirnya melihat evidence atau bukti.
Bukti yang didapat dari riset, misalnya, perubahan gigi geraham manusia dari sudut pandang antropologi. Dulu orang makan makanan yang terlalu keras, tetapi kini makanan yang dikonsumsi manusia sudah berubah.
Ada pula contoh hasil riset yang menemukan bukti ada kencederungan orang terpapar Covid-19 dilihat dari golongan darah nenek moyang. Ini bisa menjadi pengambilan keputusan pemerintah atau institusi, ternyata dari hasil riset atau kajian SLR bisa berdampak pada satu kondisi tertentu.
SLR juga bisa mengoptimalkan manfaat riset. Periset dipaksa membaca, menganalisis, dan bisa menjadi bagian dari pertimbangan dalam kebijakan mengambil keputusan. Hasilnya, ada alternatif solusi.
"Selama ini belum ada metode SLR di Unair, biasanya riset dilakukan dengan metode empiris," kata Indah.
Bungsu dari dua bersaudara ini juga tidak membantah jika dalam proses awal penerapan SLR menghadapi tantangan.
"Tantangannya meyakinkan orang yang levelnya di atas kita, kita akan berhadapan dengan user atau pemustaka yang tingkatan pendidikannya lebih tinggi," ujar Indah.
Meyakinkan seorang profesor, dosen, dan mahasiswa yang saat ini juga kritis harus punya metode tertentu.
Indah bercerita, pernah suatu ketika ada dosen di fakultas tertentu yang ingin melihatnya mengajar. Atas dukungan pimpinan perpustakaan UNAIR ia pun bisa bertemu dengan dosen itu.
Pertemuan khusus dibuat, Indah jemput bola. Ia datang dan menunjukkan. Setelah itu, kepercayaan pun didapat.
Menurut Indah, selama ini ada satu hal yang terlupakan. Masyarakat Indonesia memiliki minat terhadap literasi, minat untuk menjadi sukses dan menjadi yang terbaik.
“Yang belum adalah dayanya,” ucapnya.
Oleh karena itu, daya harus dibuat, dibentuk, supaya mereka bisa mengakses, menggunakan, evaluasi, dan meningkatkan hajat hidup.
"Di daerah 3T itu ada minat, tetapi daya untuk mengakses itu, instrumen masih minim, tetapi saya sudah melihat usaha pemerintah untuk perpustakaan nasional, kita perlu melakukan community development, buat inovasi dengan lihat kebutuhannya apa," tuturnya.
Ke depan, Indah juga berencana bersama dengan Unair membangun meta analisis. Jadi, bakal ada basis data yang dimiliki persputakaan Unair untuk pemetaan riset.
Advertisement