Sukses

Melihat Kisah Hidup Pelukis Oktaviyani lewat Sepasang Mata Arabella yang Beda Warna

Potret Arabella terpampang lewat 18 karya lukisan surealis dan sebuah karya patung benang yang dipamerkan di RuangDalam Arthouse Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Liputan6.com, Yogyakarta - Oktaviyani memamerkan sahabat imajiner yang selama ini menampung keluh kesahnya. Namanya Arabella.

Potret Arabella terpampang lewat 18 karya lukisan surealis dan sebuah karya patung benang yang dipamerkan di RuangDalam Art House Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Oktaviyani mempertontonkan perjalanannya berkarya lengkap dengan segala pergulatan emosionalnya dalam pameran tunggal bertajuk Matayani yang berlangsung dari 24 Mei sampai 7 Juni 2023.

Ekspresi Arabella dalam karya-karya Yani beragam, dari senang sampai sedih, layaknya emosi manusia kebanyakan. Arabella selalu digambarkan dalam sosok perempuan bermata besar dan bermulut kecil.

Uniknya, seluruh mata figur Arabella dalam lukisan Yani memiliki warna yang berbeda, antara mata kanan dan kiri.

Tentu saja ada maknanya. Bagi Yani, warna mata yang berbeda merepresentasikan dua sisi manusia, baik dan buruk. Kehadiran Arabella sebagai sahabat imajiner tidak begitu saja.

Yani, sosok yang introvert, tidak mudah bercerita kepada semua orang. Ia melahirkan Arabella dalam imajinasinya sejak kecil. Secara visual, Arabella dituangkan dalam karya-karyanya mulai 2015.

“Saya lebih suka mengamati ketimbang bicara, jadi Arabella digamabarkan matanya besar, mulutnya kecil,” ujar lulusan ISI Yogyakarta ini.

Sejak kuliah, Yani sudah aktif berkarya. Beragam pameran diikuti.

Namun, Matayani menjadi kali pertama ia menggelar pameran tunggalnya. Sebenarnya rencana mengadakan pameran tunggal pada 2019. Namun, ada tragedi pada tahun itu, yang menjadi titik balik hidupnya.

 

2 dari 4 halaman

Perusakan Karya

Karya-karya yang sudah disiapkan untuk pameran dirusak. Pelakunya, mantan kekasih Yani saat itu. Penyebabnya, mantan kekasihnya tidak terima Yani memutuskan hubungan.

Ada 10 karya yang dirusak, enam karya baru dan empat karya baru.

Kejadian itu sempat meruntuhkan harapan Yani. Ia sempat berpikir untuk berhenti dari berkarya.

Namun, teman-temannya, tak terkecuali pelukis-pelukis senior yang menjadi kerabatnya berhasil membuat Yani mengurungkan niatnya.

“Saya didukung dan didorong terus untuk terus berkarya jangan sampai berhenti gara-gara masalah kemarin, Uda Gusmen (pelukis Gusmen Heriadi) juga mendukung saya untuk pameran tunggal dan menyuruh saya berkarya nanti dipamerkan di galerinya (RuangDalam),” ucap Yani.

Niat untuk melanjutkan pameran setelah kejadian itu otomatis terhenti akibat pandemi Covid-19. Pameran banyak yang absen. Waktu luang itu pun dimanfaatkan Yani untuk kembali berkarya mewujudkan pameran tunggalnya.

 

3 dari 4 halaman

Merespons Ulang

Tidak hanya karya baru, ia juga merespons ulang lukisan-lukisan yang sudah dirusak dengan cutter. Ada yang dijalin kembali dengan menggunakan benang, ada pula yang diberi tambahan air mata berwarna merah darah untuk merepresentasikan kesedihannya saat itu.

Ada satu karya yang dilukis pada 2023. Karya berjudul  A Confession menjadi bentuk pernyataan sikap Yani atas semua hal sudah terjadi. Karya yang dilukis menggunakan cat minyak di atas kanvas berukuran 140x90 sentimenter ini menggambarkan sosok Arabella dengan tangan memeluk hati dan memegang gunting.

“Jadi pernyataan karena saya ingat dengan si perusak karya, saya bisa bangkit, kamu bisa menghancurkan karya saya tetapi tidak dengan semangat saya,” tutur perempuan kelahiran Duri, 27 Oktober 1994 ini.

 

4 dari 4 halaman

Mitayani

Dalam sebagian catatannya, kurator pameran Matayani, Yaksa Agus, menuliskan tema Matayani ini diambil dengan meminjam sebuah diksi, mata-mata Yani adalah harapan untuk Mitayani.

Sebuah karya yang tampak tersayat oleh benda tajam, salah satunya berjudul "Tell Me A Story_Thread", oil and acrylic on canvas, 95 x 140cm, 2018. Sayatan pada lukisan ini bukan disengaja oleh Yani. Tentu tidak seperti Lucio Fontana, pelukis abstrak era 1950-an yang sengaja membuat sayatan di atas kanvasnya.

Luka pada kanvas Yani dipinjam sebagai fakta semiotik atau tanda. Tanda sayatan pada lukisan ini muncul dari sebuah peristiwa.

Lukisan-lukisan yang terluka dengan sayatan pisau cutter ini, hari ini hadir, setelah karya itu direspon kembali dengan membiarkan luka sayatan sebagai tanda. Hidup harus terus berjalan, rasa kecewa, takut, trauma karena tekanan dan peristiwa itu adalah bagian dari  sebuah perjalanan.

Butuh waktu lama bagi Yani untuk kembali menata semangat berkarya. Dan pandemi 2020 di saat semua orang harus merenung dan berjuang menata hidup, Yani pun merasa tidak sendirian untuk bangkit dan survive.

Survive atau dalam bahasa Jawa disebut mitayani, artinya dapat dipercaya. Dalam hal apa? Mampu melakukan tugas yang diberikan. Tidak hanya “mampu” dalam pengertian punya kompetensi yang cukup tetapi juga harus punya “komitmen” yang tinggi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.

Kompetensi adalah bekal ilmu, ibarat tongkat atau “teken” (Jawa) yang harus kita gunakan sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas. Kompetensi diperoleh dengan belajar yang dilandasi ketekunan (baca: tekun, teken, tekan).

Kemudian tatapan-tatapan mata penuh pertanyaan ini, seringkali berkembang, meluas, bagaimana, mengapa dan lalu harus melakukan apa.