Liputan6.com, Bali - Ayunan jantra merupakan salah satu permainan tradisional Bali. Tidak hanya sekedar media hiburan, permainan tradisional ini memiliki mmakna sakral bagi masyarakat Bali.
Ayunan jantra atau ayunan betara masih dapat ditemui di Desa Adat Trunyan, Kintamani, Bangli. Ayunan Jantra biasa digelar bertepatan dengan pelaksanaan upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat.
Upacara tersebut merupakan rangkaian upacara Piodalan di Pura Desa Pancering Jagat di Desa Trunyan. Dikutip dari laman kebudayaan.kemendikbud.go.id, ayunan jantra berbentuk tapak dara (swastika).
Advertisement
Baca Juga
Ayunan tradisional ini terbuat dari dua jenis kayu, yaitu kayu kesuna dan kayu owa. Benda ini menjadi artefak dalam upacara Ngusaba Gede Lanang Kapat yang pelaksanaannya biasa dilakukan dua tahun sekali.
Dalam filosofi masyarakat Desa Trunyan Bali, kehidupan manusia diibaratkan sebagai sebuah perputaran roda kehidupan yang disimbolkan dengan ayunan jantra. Ayunan ini mirip dengan simbol swastika, bisa diputar ke arah kanan dan ke arah kiri, sebagai simbol keseimbangan dalam hidup.
Hal inilah yang dijadikan pedoman untuk melihat keadaan kehidupan masyarakat Trunyan. Dengan demikian, dalam kehidupan masyarakatnya dapat dilihat tidak ada warga desa yang sangat kaya raya maupun sangat kurang mampu.
Dalam kehidupan masyarakat Desa Trunyan dikenal istilah Sibak Luh dan Sibak Muani. Istilah ini merupakan pembagian kelompok masyarakat di Desa Trunyan yang terdiri dari Sibak Kaje (Sibak Luh) dan Sibak Kelod (Sibak Muani).
Â
Bekerja Bersama
Dalam proses pembuatan Ayunan Jantra, Krama Sibak Luh dan Sibak Muani harus bekerja secara bersama-sama, mulai dari mencari kayu kesuna dan kayu owa. Kayu kesuna akan dicari di hutan sekitar Terunyan oleh warga Sibak Luh dan kayu owa akan dicari oleh Sibak Muani.
Setelah kayu ini ditemukan kemudian dibuat persiapan untuk membuat canggah (tiang penopang). Apabila canggah dari kayu kesuna sudah selesai dibuat dan canggah satu lagi dari kayu owa juga sudah selesai disiapkan, maka tahap berikutnya adalah mendirikan tiang ayunan.
Tiang ayunan dari kayu kesuna akan ditancapkan oleh warga Sibak Luh di sebelah timur (kaja/utara di Trunyan). Sementara, tiang kayu dari owa akan ditancapkan di sebelah barat (kelod/selatan Trunyan).
Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan tempat duduk ayunan yang jumlahnya empat buah. Setelah selesai ayunan ini, maka warga yang naik juga harus dari krama Sibak Luh dan Sibak Muani secara bergantian.
Sebelum melakukan acara inti dari permainan ayunan jantra, diawali dengan upacara Mantening Ayunan. Upacara ini merupakan upacara untuk memberi sajian kepada ayunan jantra.
Upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari, karena pada pagi dan siang harinya dipergunakan untuk mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk keperluan sajian. Seperti menyembelih seekor babi besar, mengukir janur, daun kelapa muda, daun lontar dan daun aren.
Permainan tradisonal khas Bali ini juga dimanfaatkan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Trunyan khususnya. Secara filosofis, ayunan jantra memiliki makna sebagai perputaran kehidupan di dunia ini.
Advertisement