Â
Liputan6.com, Jakarta - Aktivitas penambangan pasir laut, yang disebut pemerintah sebagai pemanfaatan sedimentasi laut, dipastikan tidak merusak ekosistem kelautan dan perikanan. Hal itu diungkapkan Jubir Menteri kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi, Rabu (16/6/2023).
"Tata kelola pengambilan sedimentasi akan diatur dan harus dipastikan tidak boleh merusak ekosistem kelautan dan perikanan kita," katanya.
Advertisement
Wahyu memastikan, pengerukan pasir sedimentasi laut ke depannya menggunakan sistem yang berbeda dengan rezim penambangan pada masa lalu, yakni dengan mengedepankan ekologi, termasuk mengutamakan keselamatan serta keberlanjutan hidup biota laut serta tidak akan merugikan nelayan pesisir.
"Ekologi tetap harus dijadikan sebagai panglima, jadi bukan sebaliknya hanya mengedepankan manfaat ekonominya," katanya.
Berdasarkan amanat PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, akan dibentuk tim kajian yang terdiri dari berbagai pakar Oseanografi, ahli sedimentasi dan lingkungan hidup di lintas kementerian dan lembaga terkait serta kalangan ahli dari perguruan tinggi, selain juga wakil dari Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
Tim kajian yang dibentuk inilah yang akan menentukan koordinat dan titik sedimentasi yang boleh dimanfaatkan termasuk volume, dengan menggunakan peralatan dan teknologi ramah lingkungan.
"Kalau kawasan yang akan diambil sedimentasinya berdasarkan temuan tim kajian ternyata merupakan lokasi pemijahan ikan dan habitat hiu berjalan dan pari manta misalnya, niscaya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono tidak akan memberikan izin pemanfaatan sedimentasi," tegasnya.
Â
Kata Greenpeace
Greenpeace menanggapi alasan sedimentasi yang membuat pemerintah mengeluarkan peraturan membuka lagi keran ekspor pasir laut. Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah, saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (31/5/2023) mengatakan, memang sedimentasi atau pendangkalan laut menjadi salah satu penyebab kerusakan laut. Di daerah-daerah pesisir yang banyak terumbu karang misalnya, karena ada sedimentasi laut, ekosistem lautnya jadi mati.Â
"Ini menjadi masalah memang, dan ini banyak terjadi di daerah-daerah hilir sungai, muara sungai. Dan ini terjadi karena ketidakmampuan kita mengelola sumber daya alam di darat. Ada deforestasi, alih fungsi lahan menyebabkan erosi kemudian materialnya dikirim hujan ke laut, sehingga daerah-daerah muara sungai terjadi pendangkalan," kata Afdillah.Â
Lebih lanjut dirinya menyebut, keluarnya peraturan pemerintah yang baru, PP No 26/2023, yang membuka kembali keran ekspor pasir laut patut dipertanyakan. Dalam pandangan Afdillah, jika pemerintah benar-benar ingin memulihkan laut yang mengalami sedimentasi, pulihkannya mulai dari darat.
"Dibersihkan dulu segala sesuatu di daratnya supaya tidak mengirim sedimentasi ke laut, baru lautnya dibereskan. Kalau kita bereskan lautnya nih, tapi di daratnya tidak dibereskan, ya sudah nanti datang lagi," katanya.Â
Afdillah menyebut, alasan sedimentasi hanya 'green washing' ala pemerintah. Membuat kebijakan yang seolah-olah baik, memberikan perlindungan lingkungan, namun yang terjadi aturannya membuka ruang eksplorasi ekstraktif dan segala macamnya.
"Pemerintah bilang itu untuk meningkatkan pendapatan nonpajak, kita kecewa sepertinya pemerintah kehabisan akal dan kecerdasan untuk melakukan upaya-upaya lain untuk memaksimalkan sumber daya laut kita. Saat tak ada kreativitas ya pilihannya dengan jalan pintas, ekstraksi, dikeruk dan dijual," katanya.
Afdillah kemudian memberikan contoh kasus betapa pengerukan pasir laut lebih banyak mendatangkan mudarat. Hal itu terjadi di Kodingareng Makassar. Banyak nelayan kehilangan area tangkap setelah pasir lautnya dikeruk. Pola arus juga berubah sehingga menyebabkan abarasi dan menenggelamkan pulau-pulau kecil.
"Itu berdampak buruk makanya itu dilarang pada pemerintahan Megawati 2003 dan diperkuat pada zaman SBY, ini muncul lagi untuk kepentingan siapa," katanya.
Â
Advertisement