Liputan6.com, Riau - Kebijakan Presiden Jokowi yang membuka penambangan pasir laut konon belum selesai aturan teknisnya. Namun di Pulau Rupat Provinsi Riau ternyata aktivitas penambangan sudah berlangsung, bahkan mendahului PP 26/2023.
Merespon hal ini, puluhan nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara yang mayoritasnya Suku Akit membentangkan spanduk, menyuarakan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut.
Baca Juga
Aksi digelar di sekitar Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara. Ini sebagai respon terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang memberikan ruang untuk penambangan pasir laut dengan dalih sedimentasi.
Advertisement
Nelayan Rupat juga menyerukan agar Gubernur Riau segera mengambil keputusan untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Logo Mas Utama.
Menurut Kempang, salah satu nelayan dari Dusun Simpur, mereka menolak penambangan pasir laut karena mengancam kelangsungan hidup pulau Rupat.
"Sangat merugikan nelayan dan masyarakat Rupat secara umum,” kata Kempang.
Andre, nelayan dari Dusun Suling, juga menyatakan keberatannya terhadap keberadaan tambang pasir laut di wilayahnya. Menurutnya, kehadiran PT Logo Mas Utama di perairan Rupat Utara sangat meresahkan.
"Ada penyedotan pasir laut. Hanya dalam beberapa bulan saja mengakibatkan hasil tangkap nelayan turun drastis. Belum lagi kekhawatiran kami kalau pulau kami akan rusak dan tenggelam,” kata Andre.
Beting Aceh berjarak sekitar 2 km dari Pulau Rupat bagian utara. Di sekitar Beting Aceh terdapat Beting Tinggi yang sempat hilang ketika PT Logo Mas Utama beraktivitas menyedot pasir laut.
Para nelayan ini menunjukkan bahwa Beting Aceh, Beting Tinggi, Beting Tiga, dan beting-beting lainnya adalah ekosistem penting yang harus dijaga dan tidak boleh ditambang. Hal ini mereka lakukan karena Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Reklamasi Alamiah
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Adnan Kasry, pakar llmu Kelautan dan Perikanan yg juga pakar Manajemen Lingkungan Hidup Universitas Riau dalam suatu diskusi bersama WALHI Riau menjelaskan bahwa sedimentasi berasal dari hasil erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa tanah, lumpur, pasir dan mineral serta berbagai unsur kimia yg dibawa oleh aliran sungai ke muara (estuaria).
Material reklamasi ini dapat juga berasal dari pelapukan batuan di kawasan pantai dan dasar laut. Di kawasan estuaria yang kondisi geografisnya relatif datar, sebagian besar hasil erosi tersebut akan mengendap di kawasan estuaria membentuk timbunan lumpur dan pasir (beting).
Beting ini lama kelamaan akan membesar dan terbentuklah pulau-pulau delta. Sedimentasi yang terbentuk di sekitar kawasan pantai akan menyebabkan terbentuknya daratan yang menyatu dengan daratan sekitarnya sehingga daratan pantai bertambah luas.
”Inilah yg disebut natural land reclamation, reklamasi tanpa campur tangan manusia dan tanpa biaya. Sebagai contoh, reklamasi alami ini sudah lama terjadi di Bagansiapiapi di muara sungai Rokan dan juga terjadi di muara sungai Kuantan- Indragiri Riau," kata Adnan Kasry.
Mangrove yang tumbuh di area sedimentasi justru lebih baik, karena sedimentasi menjadi habitat dan dasar bagi tumbuh mangrove. Sedimentasi mengandung sumber makanan atau senyawa kimia bagi mangrove.
”Padang lamun di muara sungai juga diuntungkan dengan adanya sedimentasi,” kata Prof Adnan.
Menurut Prof Adnan, fungsi beting bisa mengubah arah arus. Beting yang sudah permanen juga memiliki fungsi lain untuk mengurangi abrasi yang terjadi di pulau.
”Apabila beting ditambang, yang paling dirugikan adalah nelayan karena daerah tangkapan ikan akan hilang,” katanya.
Advertisement
Ada Izin Dari Gubernur Riau
Umi Ma’rufah, Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau menyebut kekhawatiran yang disebutkan Prof Adnan telah terbukti ketika PT Logomas Utama beroperasi menyedot pasir laut di sekitar Pulau Babi dan Beting Aceh.
”Kebijakan pemerintah memberi ruang untuk menambang pasir laut. Ini membuat Pulau Rupat semakin rentan terkena abrasi sebab hilangnya beting-beting dan pulau kecil di sekitarnya,” kata Umi.
Umi menyatakan bahwa WALHI Riau bersama nelayan Pulau Rupat menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023.
”Selain itu, kami juga mendorong agar Gubernur Riau, Syamsuar segera mencabut IUP PT Logomas Utama, karena berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2022 kewenangan itu sekarang berada di tangannya," kata Umi.