Sukses

Mengenang Jejak Sukarno Muda di Tanah Pasundan

Sukarno muda telah aktif terjun ke masyarakat Jawa Barat melalui mekanisme door to door untuk mendengar aspirasi yang beredar di kalangan masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Bandung memiliki tempat istimewa di hati Presiden Pertama Indonesia Sukarno. Perjuangan politik yang berujung penjara, karya fenomenal Indonesia Menggugat hingga perumusan Marhaenisme terjadi di bumi Pasundan ini, berbekal "pendekatan khusus", sepak terjang Sukarno muda itu berbekas harum sampai sekarang.

Hal itu diungkapkan Anggota DPR TB Hasanuddin saat Podcast Bung Karno Series bersama host Yustin Sila yang tayang di akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Minggu (18/6/2023).

"Bung Karno pernah mengatakan, hanya Bandunglah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya. Bahkan nama Bung Karno sendiri juga melekat di hati masyarakat Jawa Barat, wabil khusus Bandung sebagai goresan memori indah," ujarnya.

TB Hasanuddin mengungkapkan, Sukarno muda telah aktif terjun ke masyarakat Jawa Barat melalui mekanisme door to door untuk mendengar aspirasi yang beredar di kalangan masyarakat.

"Founding Father kita ini luar biasa hebatnya, di usia muda turun door to door kalau dalam bahasa sekarang menampung aspirasi. Jurus jitu yang beliau lakukan ialah dengan menguasai bahasa Sunda sehingga mudah di terima masyarakat," jelas politikus kelahiran Majalengka itu.

Suatu ketika saat sedang jalan-jalan, tutur TB Hasanuddin, Sukarno muda menyerap aspirasi masyarakat Jawa Barat. Dia bertemu dengan seorang petani yang bernama Mang Aeng. Diketahui kemudian, dari sanalah cikal bakal lahirnya teori Marhaenisme.

Bung Karno tiba di sebuah wilayah persawahan dan ia bertemu dengan seorang petani bernama Mang Aeng, aslinya adalah Ki Marhaen. Bung Karno berdiskusi dalam bahasa Sunda tentang luas tanah, alat produksi, apa yang dimiliki dan bagaimana akses Mang Aeng.

"Dari situlah, Bung Karno membuat teori bahwa inilah yang harus diperjuangkan bangsa kita, akhirnya terkenal dengan nama Marhaenisme," terang Anggota Komisi I DPR RI tersebut.

Dalam sebuah pidato, kata TB Hasanuddin, Bung Karno menyebut bahwa rakyat Indonesia yang nasibnya seperti Mang Aeng, apakah itu petani,buruh dan lain sebagainya, dinamai menjadi Marhaen.

"Berangkat dari perjalanan Bung Karno menemui masyarakat, menggaungkan konsep dasar kebangsaan, beliau membentuk semacam grup diskusi politik yang berisikan tokoh-tokoh masyarakat di Bandung bernama Algemenee Studie Club," katanya.

Grup diskusi politik Bung Karno inilah yang kemudian mengirimnya ke balik jeruji besi. Belanda merasa risau dan khawatir terhadap pergerakan Bung Karno, akhirnya didakwa melakukan pemberontakan.

Bung Karno kemudian ditahan di rumah tahanan Banceuy. Tempat tahanan yang sangat sempit. Hanya 1,5 x 2,5 meter sudah termasuk wc non-permanen. Di sana Bung Karno justru membuat pledoi dengan pensil dan kertas dalam posisi serba terbatas.

"Pledoi itu disampaikan di depan pengadilan dengan judul Indonesia Menggugat," paparnya.

Dalam Pledoi tersebut, lanjut TB Hasanuddin, Bung Karno dengan berani memaparkan tentang konsep perlawanan atas penindasan yang dilakukan oleh kolonialisme dan imperialisme kepada sebuah bangsa.

Pledoi Bung Karno itulah yang kemudian menjadi dasar pemikiran para pemimpin-pemimpin dunia. Betapa luar biasanya Bung Karno, dalam kondisi terhimpit beliau tetap menyuluhkan api perjuangan.

"Bahkan, ketika Bung Karno kemudian dipindahkan kedalam tahanan Sukamiskin, beliau tetap menulis yang pada akhirnya saat ini karyanya kita kenal dengan Di Bawah Bendera Revolusi," ia menambahkan.

Â