Sukses

Sedap Mantap, Saksi Bisu Perjuangan Hidup Bu Romlah

Dengan bantuan anak pertamanya, Mbak Eko, ia mulai mendirikan warung makan ketiganya di kawasan UNNES.

Liputan6.com, Semarang - Malam itu suasana begitu sunyi. Kumandang azan Isya telah lama berlalu. Jalan kecil yang tersusun rapi dari conblock di kawasan Sekaran, Gunungpati, Semarang, sepi, tak ada lagi motor lalu-lalang. Hanya kucing penggunanya, melenggang dengan anggun layaknya model dalam peragaan busana.

Dari ujung jalan terlihat sebuah warung bercahaya lampu remang-remang dengan kanan-kiri kebun singkong entah miliki siapa. Seorang perempuan paruh baya duduk di terasnya. Mengenakan setelan daster kuning dengan corak abstrak dan penutup kepala putih ia menyambut kedatanganku yang sebelumnya telah kami rencanakan.

Dipersilakannya aku masuk. Lalu dia menututup pintu warung berbahan seng plat aluminium, pertanda tidak lagi menerima pelanggan.

“Duduk Nok, tak buatin minum,” seru perempuan paruh baya itu sambil tersenyum. Kubalas senyumnya seraya berterima kasih dan mulai memilih tempat posisi duduk ternyaman.

Aku duduk di pojok dengan jendela di sisi kirinya, menghadap tepat ke arah etalase tempat memamerkan lauk dagangan yang masih tersusun rapi dalam kotak..

Dari sini, terlihat juga sebuah banner hijau sarana promosi tergantung membentang dari ujung ke ujung megikuti panjang atap warung ini. Dari kaca pembatas dunia luar dan dalam aku bisa membaca rangkaian tulisan yang tersusun dalam banner itu meski harus bekerja keras.

 

“Sedap Mantap”, begitu saja kata itu terlotar dari bibirku setelah mencerna tulisan terbalik dari banner. Bersamaan dengan itu, Bu Romlah, sang pemilik warung itu keluar dengan membawa segelas es teh di tangannya.

Pandangannya mengikuti arah mataku. Sadar dengan apa yang kulihat dan kukatakan, dia berkata, “Itu nama warung ini."

Aku kaget dibuatnya, dan itu adalah hari pertama di mana aku mengetahui nama warung itu setelah setahun tinggal di komplek ini.

Mungkin bukan hanya aku yang baru tahu nama warung ini. Teman-temanku yang sering makan di sini juga tidak tahu nama warung ini. Selama ini kami sering menyebutnya dengan sebutan “warung depan gang”.

Setelah meletakkan es teh yang ia bawa di meja dan mempersilakan aku untuk meminumnya, Ibu Romlah mengambil tempat tepat di sampingku dan mulai bercerita tentang "Sedap Mantap".

2 dari 3 halaman

Terinspirasi dari Kardus

Berawal dua belas tahun silam ketika ia memutuskan pindah dari Bogor tempat anaknya, ke Gunung Pati Kota Semarang. Lokasi ini ia pilih tidak lain karena adanya universitas terkenal, yaitu Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang sudah pasti merupakan lokasi strategis untuk mendirikan usaha warung makan.

Terinspirasi dari sebuah kardus bergambarkan koki dengan tulisan “Sedap Mantap” warung ini mulai didirikan pada tahun 2011. Dengan bantuan anak pertamanya, Mbak Eko, Bu  Romlah mulai mendirikan warung makan ketiganya.

Sebelumnya, dengan nama berbeda, ia juga telah mendirikan warung makan di dekat UNISULA (Universitas Islam Sultan Agung) yang bertempat di Kecamatan Genuk Kota Semarang dan juga Bogor, dekat dengan Kantor Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan. Kedua tempat makan itu ia tinggalkan kepada dua anaknya yang lain dan memutuskan tinggal dan mendirikan usahnya sendiri di sini.

Menjadi wanita mandiri baginya merupakan sebuah keharusan. “Kita tidak bisa bergantung menadahkan tangan kepada suami ataupun anak,” ucapnya dengan air mata yang sedikit demi sedikit memenuhi pelupuk matanya. Kenangan akan suami dengan cepat menyambar, ingatan masa lalu manis dan pahitnya kehidupan kini memenuhi otaknya.

Di bawah atap seng, warung ini menjadi saksi bisu kesuksesan perjuangan hidupnya. Setiap hari, kepulan asap dan bau semerbak makanan selalu memenuhi semua sudut ruangan gubuk kecil ini. Semerbak bau makanan yang terbang terbawa embusan angin tak jarang tercium oleh para penghuni kos dekat warung yang memberikan bayangan sekilas betapa lezatnya masakan Ibu Romlah.

Mengaku tak pernah memiliki hobi memasak, Ibu Romlah tersenyum geli mengingat bagaimana ia memulai memberanikan diri terjun sebagai pengusaha kuliner. Berjualan apapun ia lakoni pada saat masih muda.

 

Kesampingkan Rasa Malu

Dengan mengesampingkan rasa malu, Ibu Romlah pernah berkeliling menawarkan jasa kredit barang dua puluh lima tahun silam. Memanfaatkan keterampilan berbicaranya, ia menawari serta bertanya kepada calon pelanggan apa yang sedang mereka butuhkan, dan mencoba memenuhi apapun permintaan pelanggan selagi ia bisa.

Dukungan suami yang terus ia dapatkan meneguhkan hatinya. Keinginan untuk tidak selalu bergantung kepada anak ataupun suami memberikannya keberanian mengambil risiko mendirikan tempat makan yang sebelumnya tak pernah ia pikirkan, karena memasak tak pernah ada dalam daftar hobi ataupun keahliannya.

Menjadi salah satu staf kantin di kantor DIKLAT dijadikannya sebagai sarana belajar memasaknya secara gratis. Banyak hal yang ia dapatkan selama beberapa tahun bekerja di sana. Dan pada saat pergantian Kapus, Ibu Romlah memutuskan berhenti untuk pindah dan membangun usahanya sendiri.

Pengalaman berkerja di kantin DIKLAT itu nyatanya membuka jalan rezekinya. Ketrampilan memasaknya meningkat pesat, hingga ia berani menerima pesanan kue ulang tahun serta katering untuk acara-acara besar seperti pernikahan dan hajatan.

“Hidup harus terus maju dan terus berinovasi. Dari dulu Ibu selalu mencoba membuat makanan yang sedang banyak dicari orang, meskipun Ibu tidak tahu cara membuatnya, tapi ya dicoba-coba terus,” ujar Ibu Romlah kala mengingat dirinya pernah membuat kue coklat untuk hari Valentine.

Sambil membenarkan kupluk putih penutup kepalanya yang sama sekali tidak perlu dibetulkan, Ibu Romlah berusaha keras mengingat rangkaian peristiwa pada hari Valentine tersebut.

3 dari 3 halaman

Hari Valentine yang Berharga

Dalam ingatannya, hari itu adalah satu hari sebelum tanggal 14 Februari, entah di tahun berapa. Ia membuat kue coklat berbentuk hati berloyang-loyang banyaknya. Tidak tahu harus dijual untuk siapa, Ibu Romlah terus membuat kuenya. “Urusan siapa yang beli, itu urusan nanti,” ujar Ibu Romlah pada anaknya yang sempat meragukan dirinya.

Bak mereka adegan ingatan masa lalunya, senyum Ibu Romlah merekah tatkala menyampaikan bahwa kue coklatnya laris terjual pada hari Valetine di tahun yang tak bisa ia ingat itu. Mulai dari sini ia meyakini bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan kepada orang- orang yang mau berusaha sekecil apapun itu.

Dihantam Pandemi

Sesaat ingatan Hari Valentine itu berhasil membuat senyumnya merekah. Itu adalah hari yang sangat berharga baginya, hari yang membuatnya percaya diri selama ia merintis usahanya.

Namun seketika senyum itu hilang, berubah menjadi tatapan sedih mengingat peristiwa pandemi COVID 19 dua tahun silam. Ia merunduk, menggenggam kedua tangannya lalu berucap “Itu adalah hari paling kelam dalam usaha Ibu." 

Dalam kesedihannya, Ibu Romlah mengaku warung makannya berhenti total, tidak ada penghasilan sama sekali, karena penggerak usahanya yang paling besar berasal dari mahasiswa-mahasiswa UNNES.

Selama berbulan-bulan ia berpikir bagaimana cara ia bisa dapat kembali berpenghasilan. Hingga akhirnya Tuhan memberinya jalan melalui Ramadan. Selama bulan puasa, ia membuat sempel kue kering untuk lebaran dan menyebarkannya kepada orang-orang di sekitarnya.

Usaha Ibu Romlah ini membuahkan hasil, ketika mendekati Lebaran selama pandemi COVID 19, sampel kue kering yang ia buat banyak di pesan dan memberikannya penghasilan kembali.

Malam itu tak terasa satu jam lebih aku berbincang dengan Ibu Romlah, jam dinding yang tergantung di atasku sudah menunjukan pukul sembilan dua puluh. Ingin rasanya aku terus berbincang dengannya, tapi tugas kuliah masih menghantuiku, dan rasanya tak pantas jika aku terus berada di sini dan mengganggu waktu istirahat Ibu Romlah.

Kuputuskan pamit, pulang ke kosku yang tak jauh dari warung Ibu Romlah. Sepanjang perjalanan terngiang terus di kepala ucapan Bu Romlah. “Manusia diciptakan untuk terus berusaha. Berusaha memberikan versi dirinya yang lebih baik, maka Tuhan akan terus ada bersama kita, membantu membukakan jalan yang terbaik pula.”

(Sherly Amri/Fakultas Bahasa dan Seni UNNES)