Liputan6.com, Jakarta - Pancasila merupakan dasar falsafah bangsa yang sudah seharusnya terpatri dalam keseharian masyarakat Indonesia. Sayangnya, sejauh ini nilai-nilai dalam Pancasila belum secara optimal melebur dalam penerapan kurikulum pendidikan di Indonesia. Alhasil, nafas Pancasila belum benar-benar nampak sebagai cara pandang para kaum cerdik cendikia dalam khasanah keilmuan di negeri ini.
Hal disampaikan Akademisi Universitas Indonesia, Dr Donny Gahral Adian dalam Podcast Bung Karno Series, Bulan Bung Karno BKN PDI Perjuangan, Senin 25 Juni 2023 di kanal YouTube BKN PDI Perjuangan yang dipandu oleh FX Catur Setiawan.
Baca Juga
Donny menggarisbawahi bahwa pendidikan harus mampu mengakselerasi kemajuan bangsa agar memiliki masyarakat yang cerdas, bebas, dan adil untuk menuju kesejahteraan
Advertisement
Sejak zaman dahulu Indonesia sudah berkali-kali mengganti kurikulum pendidikan yang diterapkan, akan tetapi dari sekian banyaknya sistem pendidikan yang silih berganti, sejauh ini belum ada yang senafas dengan cita cita proklamasi.
Sistem pendidikan hanya berupaya menjejali manusia dengan sebanyak mungkin pengetahuan, tapi lupa bahwa pendidikan itu tidak hanya pengetahuan tapi juga soal karakter,"Â sebutnya.
"Pancasila sebagai ideologi bangsa berlawanan dengan segala hal yang mengedepankan egoisme, individualisme, dan segala hal yang berkaitan dengan menisbikan kepentingan umum. Pancasila sangat mengedepankan kolektivisme, solidaritas, toleransi, dan gotong royong," ujarnya.
Saat ini banyak orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, namun sulit untuk menjalankan nilai pendidikan yang sesuai dengan falsafah dalam Pancasila.
Hal itu terjadi karena lembaga pendidikan lebih banyak mencetak cerdik cendikia yang dipersiapkan untuk mengisi kebutuhan proses industrialisasi, tetapi tidak banyak yang memiliki karakter kolektivitas atau gotongroyong untuk membangun bangsa.
"Indonesia memiliki laut yang luas, tapi berapa ahli maritim dan perikanan yang kita punya?, Negara ini juga punya hamparan sawah pertanian yang luas dari Sabang sampai Merauke, tapi berapa orang ilmuwan pertanian yang kita punya dan mau mengabdikan dirinya pada negara? Itu yang kita lupa, bahwa kita tidak hanya mencetak ahli-ahli yang dibutuhkan oleh industri, tapi kita juga seharusnya mencetak ilmuwan yang mau membangun bangsanya sendiri," tegas pengajar Filsafat di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.
Berkaitan dengan banyaknya ilmuwan yang hanya dicetak untuk menjadi pengisi slot industri, Donny mengkritik sejauh ini Indonesia terlalu banyak menciptakan tukang tapi kurang menciptakan konseptor yang memahami basis dari ideologi bangsa.
"Sudah saatnya kita memiliki sistem pendidikan yang mampu membuat setiap siswa dari Sabang sampai Merauke memiliki softskill berupa pemahaman akan Pancasila itu sendiri. Agar supaya terbentuk seorang cerdik cendikia yang memiliki karakter gotong royong, toleransi, saling membantu, dan solidaritas yang tinggi," katanya.