Liputan6.com, Bulungan - Suku rimba terakhir di Pulau Kalimantan yang masih aktif berburu dan meramu di dalam hutan, Suku Punan Batu ternyata punya banyak keunikan. Berdasarkan hasil uji genetik, DNA suku ini ternyata lebih tua dari nenek moyang orang Indonesia. Fakta itu semakin kuat dengan bahasa kuno yang masih mereka gunakan saat ritual.
Suku pemburu dan peramu yang masih aktif kemungkinan besar hanya mitos. Kebanyakan para peneliti juga sependapat dengan itu. Sampai kemudian sebuah penelitian genetik dengan mengambil sampel Deoxyribo Nucleic Acid atau DNA Suku Dayak dari berbagai provinsi di Pulau Kalimantan menemukan hal unik.
Beberapa tahun silam, peneliti dikagetkan dengan temuan DNA yang dianggap cukup tua, bahkan lebih tua dari nenek moyang suku-suku yang ada di Indonesia. DNA tersebut tidak ada perbauran atau pencampuran sama sekali.
Advertisement
Baca Juga
Temuan tersebut menimbulkan banyak tanya. Bagaimana mungkin ada komunitas masyarakat yang tidak berinteraksi, berasimilasi dan pertukaran budaya sejak ribuan tahun silam. Bagaimana pola hidupnya? Seberapa ekslusif ruang hidupnya?
Sampailah para peneliti pada sebuah komunitas suku rimba yakni Suku Punan Batu di Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. Lokasinya berada di bentang alam karst yang membentang dari Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara.
Peneliti akhirnya mematahkan mitos dan menemukan komunitas masyarakat yang masih aktif berburu dan meramu makanan, seperti nenek moyang kita dahulu.
“Kami menyaksikan suatu komunitas yang memang masih menjalani gaya hidup nenek moyang hingga saat ini. Berburu, meramu, berpindah-pindah dan tinggal di bawah liang atau ceruk,” kata Pradiptajati Kusuma, peneliti dari Mochtar Riyadi Institute.
Berdasarkan hasil uji genetik, ada sejarah bauran genetik yang berbeda antara Suku Punan Batu dengan komunitas masyarakat lainnya di Pulau Kalimantan. Suku ini memiliki sumber genetik dari sebelum Austronesia.
Sementara suku-suku yang ada di Indonesia merupakan turunan dari nenek moyang Austronesia. Perpisahan genetik antara astronesia dengan suku punan itu sudah sangat tua. Para peneliti kemudian menyimpulkan suku punan batu memiliki sejarah bauran genetik yang berbeda dan lebih tua dibandingkan masyarakat indonesia lainnya.
“Mereka juga memiliki bahasa yang unik terkait Bahasa komunikasi di dalam hutan, yaitu istilahnya belahik atau bahasa ranting. Mereka berkomunikasi dengan ranting tersebut sebagai perilaku pro-sosial,” kata Pradiptajati.
Pola Hidup
Mengapa suku punan batu memiliki genetik lebih tua? Hal ini terjawab dengan melihat aktivitas dan pola hidupnya. Liputan6.com berkesempatan melihat langsung aktivitas suku ini pada awal Juni 2023 lalu.
Suku ini merupakan suku pemburu dan peramu aktif terakhir yang ada di Pulau Kalimantan. Mereka sangat bergantung dengan sumber makanan dari dalam hutan.
Pola hidup seperti ini yang membatasi suku punan batu berinteraksi dengan dunia luar. Ketergantungan dengan hutan sangat mutlak.
Setiap hari, setiap komunitas yang terdiri dari 1 hingga 5 kepala keluarga akan masuk ke dalam hutan mencari makanan. Mereka berburu hewan atau mencari umbi-umbian.
Apapun tanaman yang bisa dimakan akan mereka kumpulkan untuk menjadi sumber karbohidrat. Suku Punan Batu juga hidup secara nomaden, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di dalam hutan untuk menemukan sumber makanan terdekat.
“Setiap hari Berburu. (Berburu) burung, tupai, ikan, babi, payau, kijang. Kalau tidak dapat mencari ubi. Ubinya ada kariting, tubong, labak, baher. Itu setiap hari untuk makan hari itu. Kalau habis, besok cari lagi,” kata Lais, remaja Suku Punan Batu saat ditemui di depan pondoknya di tengah hutan.
Saat ini hanya sekitar 100 orang atau 36 kepala keluarga yang tersisa dengan pola hidup seperti ini. Mereka menyebar di sebuah hutan di kawasan karst di sekitar Gunung Benau dan Sungai Sajau. Sementara Suku Punan Batu lainnya sudah ada yang bermigrasi, meninggalkan pola hidup berburu dan meramu.
Maka untuk mengidentifikasi suku pemburu peramu aktif terakhir di Pulau Kalimantan ini para peneliti menamakan komunitas ini dengan sebutan Suku Punan Batu Benau Sajau.
Advertisement
Tinggal Nomaden
Karena nomaden, mereka akan membangun pondok-pondok kecil di tengah hutan, di bawah rindangnya pepohonan. Pondok ini disebut lapo.
Setiap keluarga akan membangun pondok yang beralaskan batang pohon dan beratapkan dedaunan. Satu pondok untuk satu keluarga. Ukuran pondok tergantung jumlah anggota keluarga.
Soal kenyamanan, mereka sangat nyaman tinggal di sini. Dinas Sosial setempat pernah mencoba membangunkan perumahan untuk mereka namun ditinggalkan. Alasannya sederhana, jauh dari hutan dan sumber makanan.
Maka Suku Punan Batu ini membuktikan kepada kita bahwa ukuran kenyamanan setiap manusia itu berbeda-beda. Bagi mereka, tinggal di hutan adalah surga sesungguhnya.
“Terkait bagaimana aktivitas fisik mereka yang sangat luar biasa besar menurut saya. Karena mereka pada saat mencari ubi atau berburu pun mereka bergerak, saya amati ya, mereka bergerak dari jam 8 pagi setelah sarapan seadanya, mereka makan ubi tadi sebagai sarapan. Terus mereka bertebaran di dalam hutan untuk mencari sumber makanan. Dan kembali di sore hari pukul 4 pukul 5 sore,” kata Pradipta yang meneliti suku ini sejak tahun 2018.
Kawasan Benau Sajau masih berupa rimba yang merupakan Hutan Hujan Tropis Kalimantan. Kawasan ini juga merupakan bentang karst yang memiliki banyak liang atau gua karst.
Pada musim tertentu, sebagian komunitas Punan Batu akan tinggal di dalam liang. Misalnya pada musim panen sarang burung walet, meski masih bergantung pada hutan, suku ini juga menjalankan metode barter. Hasil hutan seperti sarang burung walet dan madu hutan akan ditukar dengan kebutuhan pokok.
Di dalam gua, suku punan batu tetap membangun pondokan tapi tanpa atap. Untuk anak-anak ditambah dedaunan agar lebih nyaman.
Secara umum ada tiga lokasi utama suku ini tinggal. Yakni di hutan tepi sungai, di tengah hutan belantara, dan liang karst. Mereka akan berpindah setiap dua pekan.
Perpindahan lokasi tergantung dua hal. Pertama, sumber makanan terdekat. Kedua, kenyamanan. Jadi jika dirasa di sebuah tempat mulai panas dan tidak sejuk, suku ini juga akan pindah ke tempat yang lebih nyaman.
“Itu memang kesenangan turun temurun kami. Karena di hutan senangnya ada dinginnya, makannya juga kami bisa carinya. Jadi itulah kami tidak bisa tinggal di sini, kami bisa cari sendiri tanpa kita pakai usaha yang berlebih. Di hutan semuanya jadi lebih mudah,” kata Kepala Adat Punan Batu, Asut.
Bahasa Kuno
Punan Batu Benau Sajau adalah potret kehidupan nenek moyang kita. Pranata sosialnya sederhana.
Karena masih berburu dan meramu, mereka tidak memiliki pola penyimpanan makanan. Pun tak ada kesenian karena setiap hari harus masuk hutan untuk mencari makanan untuk makan pada hari itu.
Pada waktu tertentu di malam hari, Suku Punan Batu memiliki ritual yang dinamakan Menira. Di ritual ini mereka melantunkan syair yang ditujukan kepada Tuhan mereka sebut Latala. Menira dilantunkan agar mendapatkan hasil buruan yang melimpah serta permohonan lainnya.
Inilah keunikan lain dari komunitas Punan Batu Benau Sajau. Bahasa yang dipakai dalam menira merupakan bahasa kuno dan berbeda dari bahasa yang digunakan sehari-hari.
“Bahasa Punan sehari-hari itu masuk dalam keluarga bahasa Austronesia seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Melayu dan apapun yang dituturkan di wilayah Indonesia tengah dan barat,” ujar Pradiptajati.
Menira dilakukan secara sadar, tidak dalam kondisi kesurupan. Sementara para peneliti menemukan syair yang digunakan bisa direkonstruksi per kata sehingga benar-benar merupakan sebuah kalimat.
Bahasa kuno ini berbeda dengan austronesia yang menjadi bahasa ibu sebagian besar masyarakat Indonesia maupun bahasa austroasiatik yang dipakai di daratan Asia Tenggara. Jika disandingkan dengan data genetiknya, maka bahasa yang dipakai saat menira sudah sangat tua, setua DNA-nya.
“Saat kami merekam kosakata-kosakata ketika Menira, itu tidak berafiliasi dengan Bahasa Austronesia dan juga bukan Bahasa Austroasiatik. Austroasiatik itu di wilayah Asia Tenggara daratan, Myanmar, Laos, Kamboja dan segala macam. Jadi bahasa itu sangat tua,” papar Pradiptajati.
Menira juga biasa dipakai sebagai pengantar tidur untuk anak-anak. Syair-syair menira mampu memberikan pesan moral bagi anak-anak untuk tumbuh dan bertahan hidup di hutan. Kebiasaan ini juga yang membuat bahasa latala bisa terus diturunkan dan tidak punah.
Advertisement
Bahasa Simbol
Keunikan lain dari suku punan batu adalah kehidupan pro-sosialnya. Meski tinggal di tengah belantara Hutan Hujan Tropis Kalimantan dan kawasan karst, mereka bisa berkomunikasi dengan menggunakan simbol.
Setiap keluarga memiliki simbol tersendiri. Misalnya saja keluarga Samsul, salah satu keluarga di Suku Punan Batu.
Samsul memasang simbol yang menandakan keberadaan keluarganya. Simbol bisa berisi banyak pesan seperti keberadaan, situasi, hingga satuan waktu dan jumlah.
Samsul membuat tanda tentang keberadaan komunitasnya di tengah hutan, kemudian membuat arah lokasinya.
Simbol-simbol atau tanda yang dibuat juga bisa diisi pesan seperti komunitas yang kelaparan, sakit, atau sedang pergi. Sehingga komunitas Punan Batu lainnya yang melintasi hutan tersebut bisa membaca pesan.
“Mereka juga memiliki bahasa yang unik terkait Bahasa komunikasi di dalam hutan, yaitu istilahnya belahik atau bahasa ranting. Mereka berkomunikasi dengan ranting tersebut sebagai perilaku pro-sosial,” kata Pradiptajati.
Pengakuan Keberadaan
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) bersama para peneliti yang lebih dahulu meneliti Suku Punan Batu Benau Sajau kemudian berusaha agar ada pengakuan atas suku ini. Dengan pengakuan, keberadaan mereka kemudian diakui sebagai bagian dari komunitas adat.
Sebab suku rimba terakhir di pulau kalimantan ini sebelumnya belum diketahui bahkan dianggap hanya mitos. kini dengan keberadaan yang bisa dibuktikan secara sains, perlindungan terhadap komunitas Punan Batu menjadi penting dalam upaya menyelamatkan kebudayaan mereka.
“Bahwa mereka memerlukan ruang hidup dan ruang hidup mereka ini berada di hutan gunung benau ini. Harapannya, pertama ada kepastian bahwa mereka memang tinggal di wilayah masyarakat hukum adat ini yang luasnya sekitar 18 ribu,” kata Community Engagement Manager YKAN, Taufiq Hidayat.
Pemerintah Kabupaten Bulungan telah mengeluarkan Surat Keputusan Masyarakat Hukum Adat (MAH). SK ini secara hukum mengakui keberadaan komunitas pemburu peramu terakhir di Pulau Kalimantan.
“Salah satu langkah awal ini pendahuluannya yang sudah kita lakukan dengan penetapan masyarakat hukum adat. Nah selanjutnya nanti ada perlindungan terhadap mereka dari berbagai apakah itu aspek perlindungan dari bidang sosial, perlindungan terkait dengan territorial yang ada di kawasan ini,” kata Bupati Bulungan, Syarwani.
Advertisement