Sukses

Sejarah Perayaan Malam Satu Suro dalam Tradisi Jawa

Malam satu Suro diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu Suro.

Liputan6.com, Yogyakarta - Satu Suro atau malam Satu Suro merupakan malam pergantian tahun dalam kalender jawa. Malam satu Suro juga bertepatan dengan Satu Muharram dalam kalender hijriah atau kalender Islam.

Pada 2023 ini, malam satu suro akan jatuh pada 18 Juli atau 19 Juli. Malam satu Suro diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu Suro.

Hal itu karena dalam kalender Jawa pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam sebagaimana pergantian hari dalam kalender masehi. Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, peringatan malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa yang masih dilestarikan hingga saat ini.

Misalnya di Solo, malam satu Suro diperingati dengan tradisi arak-arakan atau kirab hewan kerbau, yang bernama kebo bule atau Kebo Kiai Slamet. Kebo bule bukan sembarang, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik Keraton Surakarta Hadiningrat.

Selain Solo, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam satu Suro. Bedanya, kirab malam satu Suro di Keraton Yogyakarta membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lain.

Sementara itu, wilayah Banyumas, ada sekelompok masyarakat yang melakukan tetirah, atau menyepi. Sementara, kelompok lainnya melakukan ritual kungkum atau berendam di sungai atau sendang yang dianggap keramat.

Sejarah peringatan malam satu suro dimulai pada abad ke-17 tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram. Kala itu, sultan mengubah penanggalan Saka, yang merupakan penanggalan Hindu, menjadi penanggalan Jawa.

Selain dari penanggalan Saka, penanggalan Jawa ini juga mengadopsi kalender Islam, sehingga memiliki persamaan pada permulaan awal tahun. Nama satu Suro diambil dari bahasa Arab yakni asy-syura yang berarti tanggal 10.

Oleh sebab itu, sebetulnya hari yang penting dalam kebudayaan Jawa adalah tanggal 10 Suro yang yang bertepatan dengan 10 Muharram dalam kalender Islam. Namun, peringatan justru digelar pada malam satu Suro alih-alih malam sepuluh Suro.

Sumber lainnya mengisahkan, sejarah perayaan malam satu suro berasal dari keinginan Sultan Agung untuk menyatukan rakyatnya. Ia menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia, termasuk ingin menyatukan Pulau Jawa.

Oleh karena itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan.

Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten. Perayaan ini sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Sunan Ampel dan Giri.

Akibatnya, 1 Muharram yang dimulai pada hari Jumat Legi turut dikeramatkan pula. Bahkan, dianggap sial kalau ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.