Sukses

Mendambakan Kehadiran Ulama Perempuan

Stigma bahwa perempuan tidak bisa atau tidak pantas dan tidak layak menjadi pemimpin masih ada di tengah masyarakat.

Liputan6.com, Jakarta - Peluang partisipasi perempuan dalam politik di era reformasi sebenarnya makin terbuka. Di ranah legislatif misalnya, ada jaminan UU Parpol No 2 tahun 2008 dan UU Pemilu No 7 tahun 2017, yang mengatur kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Namun mengapa pada praktiknya, perempuan seolah tidak diperhitungkan di dunia politik tanah air? Jangan-jangan keberadaan perempuan dalam parpol hanya jadi komoditas dan formalitas pemenuhan kuota keterwakilan 30 persen semata.

Perempuan tidak diberi kesempatan untuk andil bersuara dan menentukan arah kebijakan nasional, terutama yang menyangkut kaumnya sendiri. Kenyataan itu makin perih saat melihat kebanyakan parpol di Indonesia masih ‘bercorak’ patriarki. Lihat saja di televisi, saat pertemuan para pemimpin parpol membicarakan copras-capres, yang terlihat hanya laki-laki.

Anggapan kebanyakan parpol, yang memandang perempuan tidak punya kapasitas memimpin, sehingga tidak perlu turut ambil bagian dalam penentuan kebijakan, merupakan suatu tindakan yang ahistoris. Mengingat sejarahnya, sejak zaman kerajaan di Nusantara hingga zaman pascakolonialisme, banyak sekali perempuan Indonesia hadir dan menunjukkan taringnya. Bahkan ikut turun langsung perang gerilya memimpin pasukan, sebut saja misalnya Laksamana Keumalahayati di Aceh.

Basis sejarah itu nampaknya tak cukup prima melawan kuatnya stigma publik soal perempuan yang didasari konstruksi sosial, adat, dan agama. Agama kerap menjadi ‘alat’ yang paling gampang untuk dipakai memberikan stigma kepada perempuan, saat ajaran agama itu diterjemahkan secara sempit dan hanya tekstual semata.

Misal ada ayat Al-Qur’an yang mengatakan “kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” Ajaran itu lantas dipotong tak hanya menjadi sumber penataan nilai dan tingkah laku di masyarakat, tapi juga memberikan stigma bahwa perempuan tidak bisa atau tidak pantas dan tidak layak menjadi pemimpin.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah berisi para cendikiawan dan pemikir muslim, harusnya menjadi ‘teman masyarakat’ yang membantu melawan stigma dan meluruskan pandangan keliru tentang perempuan di ranah politik saat ini, karena posisinya yang cenderung netral. Di sini lah, Indonesia membutuhkan peran sentral ulama-ulama perempuan, sebagai ‘leader’ untuk mendobrak konstruksi sosial dan membawa suara-suara kaumnya yang selama ini teropresi.

Sayangnya sebutan ‘ulama perempuan’ di Indonesia juga terdengar aneh dan dianggap tak biasa, mengingat selama ini ulama selalu identik dengan sosok laki-laki. Hal ini yang juga membuat Nyai Badriah Fayumi gusar. Aktivis perempuan NU yang juga Wasekjen MUI Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, itu merasa suara-suara perempuan tidak terdengar atau bahkan terlupakan saat tidak ada subjek ‘ulama perempuan’. Meski begitu, Nyai Badriah menyukuri tidak ada larangan penyebutan ‘ulama perempuan’ di Indonesia, sehingga ini bisa menjadi modal awal untuk menggaungkan suara-suara perempuan agar bisa eksis di ranah politik.

Dalam sebuah kesempatan halaqah, Nyai Badriah berpesan, agar semua orang tidak perlu ragu lagi menyebut ulama perempuan, sehingga kata ‘ulama perempuan’ jadi familiar di masyarakat.

"Ulama perempuan juga harus sering hadir menyampaikan pandangan-pandangannya untuk memberikan kemaslahatan," katanya.

Selain itu, dirinya juga berpesan, agar ulama perempuan melakukan kaderisasi agar tetap eksis dan menyuarakan suara-suara kaumnya.

"Ajak influencer untuk memahami perspektif keilmuan Islam, dan ulama perempuan terus hadir di komunitas-komunitas belajar, di mana pengasuhnya ulama perempuan yang dihadiri perempuan dan laki-laki," katanya.

Hadirnya ulama perempuan di tengah gelanggang hiruk-pikuk perpolitikan tanah air saat ini sangat dibutuhkan umat, terlebih bagi kaum perempuan itu sendiri yang selama ini suara-suaranya terlupakan. Sudah saatnya kaum perempuan memilih perempuan untuk kemajuan perempuan dengan bantuan ulama perempuan.

Ekosistem Politik Indonesia Tidak Berpihak ke Perempuan

Pengamat Politik sekaligus Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro kepada Kanal Regional Liputan6.com, beberapa waktu lalu mengatakan, diperlukan solusi yang komprehensif dari SDM perempuan itu sendiri agar berani terjun ke dunia politik. Kaderisasi yang belum dilakukan partai secara baik, juga menjadi biang keladinya.

"Rekrutmen kader dan kaderisasi perempuan di politik kerap dilakukan dengan cara-cara biasa saja sehingga parpol dihadapkan pada keterbatasan ketersediaan kader perempuan dalam pileg," katanya.

Perempuan di daerah, kata Siti Zuhro, yang tertarik ke politik belum sangat banyak. Belum banyak perempuan yang bertalenta, yang bisa direkrut karena keterbatasan skill dan kompetensi perempuan daerah.

"Ikhtiar parpol di daerah untuk mengundang perempuan terjun ke politik belum maksimal," katanya.

Mekanisme pemilihan legislatif yang ruwet, kata Zuhro, juga membuat perempuan kurang kompetitif dan terlempar dalam kontestasi pileg bahkan sebelum bertanding.

"Pengalaman tersebut cukup demoralizing bagi perempuan dan membuatnya kurang antusias," kata Siti.

Ditambah lagi minimnya dukungan terhadap perjuangan perempuan. Perlu diakui, kata Siti, ekosistem politik di Indonesia belum betul-betul berpihak kepada perempuan.

"Pada saat bersamaan daya dobrak kaum perempuan belum cukup ampuh untuk menghadirkan terobosan-terobosan baru yang memunculkan semangat dan animo baru bagi kaum perempuan," katanya.

Siti Zuhro berharap parpol lebih proaktif melalukan 'head hunter' ke kampus-kampus, ke organisasi-organisasi perempuan, dan meminta kader terbaiknya untuk direkrut. Selain juga tentunya perempuan mengembangkan potensi dirinya sendiri untuk berani terjun ke dunia politik. 

Memang tidak bisa dipungkiri, saat ini sudah banyak bermunculan perempuan yang terjun ke dunia politik dan berhasil menduduki posisi di legislatif bahkan eksekutif. Namun kemunculan itu sama sekali tidak menegaskan kualitas perempuan, jika melihat pada kenyataannya perempuan belum menempati posisi-posisi sentral penentu kebijakan.

Keterlibatan perempuan dalam politik digunakan partai hanya untuk memenuhi formalitas syarat keterwakilan perempuan. Tak jarang kelompok perempuan yang terlibat dalam partai politik sebenarnya tidak memiliki latar belakang pendidikan politik dan perjuangan aktivisme. Perempuan-perempuan itu diambil secara acak saja, melalui status hubungan keluarga atau ambil dari kalangan selebritas. Imbasnya, perempuan tidak punya posisi tawar dalam parpol dan peluang-peluang yang ada tidak bisa diambil secara maksimal.

Akhirnya, menilik poin-poin dalam Pancasila, tidak ada persatuan Indonesia sebelum ada kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka perjuangan keadilan gender di ranah politik bukan menjadi tugas perempuan saja, tapi juga tugas semua orang Indonesia yang mendambakan persatuan, untuk permusyawaratan, demi mencapai keadilan sosial. Di sinilah peran ulama perempuan dinanti.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini