Sukses

Memilah Sampah, Mengubah Petaka Jadi Berkah

Larangan penggunaan kantong plastik sekali pakai tanpa ada pergerakan mengubah mindset masyarakat, hanya jadi omong kosong.

Liputan6.com, Jakarta - Mentari makin menguning di pinggiran Jakarta. Sambil menenteng keranjang belanja rajutan bambu, seorang ibu muda bergegas menuju pasar. Sepertinya masa depan masih cerah, masih ada orang yang mau peduli mengurangi sampah plastik dengan membawa keranjang rajut ke pasar.

Tapi selang berapa lama, sang ibu kembali. Ada yang aneh, keranjangnya malah dipenuhi bungkus plastik belanjaan.

"Iya udah biasa begini, kalo gak pake plastik beleberan kemana-mana dong," katanya.

Kebijakan mengurangi sampah plastik, di Jakarta misalnya, sebenarnya sudah tercantum dalam Pergub Nomor 142 Tahun 2019. Pergub yang sudah dijalankan sejak Juli 2020 tersebut melarang pengelola pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat, menggunakan kantong plastik sekali pakai. Hal itu mendesak dilakukan untuk mengurangi sampah plastik yang makin mengkhawatirkan.

Data terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, secara nasional sampah plastik di Indonesia menyumbang komposisi sampah terbesar kedua dengan persentase 18,62 persen, setelah sampah sisa makanan 41,22 persen.

Angka tersebut tidak jauh berbeda di Kota Jakarta. Di Jakarta, persentase komposisi sampah terbesar didominasi sampah ranting dan kayu 31,59 persen, disusul sampah sisa makanan 25,5 persen, lalu sampah plastik 19,18 persen.

Sementara itu, laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2021 menyebutkan, secara global total jumlah produksi plastik di seluruh dunia pada 2017 mencapai 438 juta ton. Namun ironis, hanya sekitar 12 persen dari total plastik yang kemudian dibakar dan yang berhasil didaur ulang hanya 9 persen.

Sampah ranting dan sisa makanan dapat terurai dengan mudah, tapi sampah plastik butuh ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun agar bisa terurai lagi. Sampah plastik tidak mudah terurai karena rantai karbonnya yang panjang, sehingga sulit diurai mikroorganisme. Kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan sekali pun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai.

Bisa dibayangkan betapa mengerikannya jika sampah-sampah plastik tersebut terus menumpuk, lautan yang bakal jadi korbannya. Laporan UNEP yang diakses di www.unep.org/plastic-pollution menyebut, sebanyak 0,8 dari 2,7 juta ton sampah plastik yang ada di sungai dan kali (perairan daratan) dialirkan menuju lautan.

Ini yang membuat sampah plastik mendominasi sebanyak 85 persen dari total sampah di lautan. Jika dihitung-hitung, diperkirakan ada 75 sampai 199 ton sampah plastik yang saat ini ada di lautan kita, atau setara dengan satu truk sampah plastik per menit.

Tanpa tindakan yang berarti, sampah plastik yang masuk ke laut diperkirakan meningkat menjadi hampir tiga kali lipat. Jika kita selalu tidak peduli, sampah plastik akan menjadi ‘musuh’ terbesar umat manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Namun imbauan dan larangan saja tanpa ada pergerakan mengubah mindset masyarakat, hanya jadi omong kosong. Masyarakat bukan hanya butuh edukasi, tapi juga perlu ada kolaborasi dari berbagai pihak. Kekosongan ini yang kemudian diisi Yayasan Wings Peduli dengan menggencarkan kampanye #PilahdariSekarang, sebagai wadah edukasi ke warga tentang betapa pentingnya memilah sampah.

"Kampanye #PilahdariSekarang menjadi medium kami terjun langsung ke masyarakat untuk menyosialisasikan pentingnya memilah sampah dan cara menerapkannya, untuk meningkatkan kesadaran memilah sampah dari rumah. Inisiatif ini tentu akan kami lanjutkan dengan berbagai program di bidang lingkungan lainnya, sehingga dapat menjadi gerakan berkelanjutan," ungkap Perwakilan Yayasan Wings Peduli, Sheila Kansil, melalui keterangan tertulisnya.

Wings sebagai perusahaan, yang menurut catatan Sungai Watch, menjadi lima besar produsen penghasil sampah plastik terbanyak di lautan Bali pada 2021, tentu merasa berdosa jika tak turun langsung ke masyarakat memberi edukasi. Kolaborasi juga dilakukan dengan menghadirkan bank sampah, seperti yang sudah dilakukan di lima RW di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.

Menggandeng Rekosistem dan UPS Badan Air DLH Jakarta, kolaborasi Wings mengubah sampah menjadi cuan melalui ekonomi sirkular, akan tercipta di tengah masyarakat. Jika ini sudah terjadi, pemerintah tak perlu repot-repot membuat imbauan dan larangan, karena masyarakat akan memilah sampah dengan sendirinya.  

 

 

2 dari 2 halaman

Kesadaran Diri Sendiri

Itu yang dilakukan Sere Rohana, seorang ibu yang tinggal di Kawasan Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur. Saat ditemui Liputan6.com, Sere bahkan juga mengajak orang-orang di lingkungannya, termasuk ibu-ibu pengajian, untuk mau memilah sampah.

"Jadi kita sekarang sudah biasa memilah sampah di lingkungan sini, sampah basah, sampah kering, dan sampah buang itu sampah B3," katanya.

Di tangan Sere, sampah basah dan sampah kering bisa dimanfaatkan langsung. Sampah basah misalnya, dia membuat komposter dari tong-tong dan kaleng bekas yang sudah tidak terpakai. Tong itu kemudian menjadi wadah sampah basah.

"Sampah basah buangnya ke situ, sampah kulit buah, dan lain-lain tampung di situ. Bagian bawah tong lubangi dan dibikin keran, airnya jadi air lindi, itu bisa buat penyubur tanaman," katanya.

Dari air lindi itu, Sere mampu mengembangkan urban farming di rumahnya. Dengan keterbatasan lahan ala penduduk kota, siapa yang sangka, Sere mampu menghasilkan sayur kualitas bagus yang bisa dikonsumsinya sendiri.

Lalu ke mana sampah kering? Ke bank sampah inilah sampah-sampah kering dikumpulkan dan diubah menjadi rupiah.

"Oke, kalau belum ada bank sampah atau kamu enggak mau ke bank sampah, yauda gak apa-apa, cukup gantungin aja sampah keringnya, nanti kan diambil pemulung, atau tukang sampah. Itu kan jadi amal. Karena kalau sampah kering sudah bercampur sampah basah itu yang susah, sudah pasti menumpuk, karena gak bernilai ekonomi," katanya.

Sere menyayangkan warga, khususnya di Jakarta, yang selalu menyalahkan pemerintah, selalu protes jika tukang sampah tidak datang berhari-hari, dan kerap mengeluh saat iuran sampah naik. Padahal itu sampah mereka sendiri. 

"Kenapa kamu gak mulai dari diri kamu sendiri. Orang itu sampah kamu sendiri kok. Coba lihat di luar negeri, sampah itu diambilnya seminggu sekali," katanya.

Sere mengaku sering mengajarkan anak-anak di sekolah untuk, ayo memilah sampah mereka. Jika tak punya bank sampah, paling tidak ikut memilah sampahnya saja sudah baik.

"Coba lihat pernah tukang sampah enggak dateng berhari-hari, kami gak masalah, sampah kami yang terbuang cuma sedikit," katanya.