Liputan6.com, Manado - Deputi Kepala Perwakilan Divisi Perumusan dan Implementasi Bank Indonesia (BI) Sulut Fernando Butarbutar mengatakan penurunan harga daging babi berdampak pada inflasi di daerah itu.
"Dampak terhadap inflasi kemungkinan ada, tapi berapa besarnya BPS yang akan menghitung," kata Fernando, Jumat (28/7/2023).
 Fernando mengatakan, BI bersama pemerintah daerah akan merevitalisasi pos pemantauan wabah penyakit, yakni virus flu babi Afrika.
Advertisement
Menurutnya, selain menguatkan fungsi pemantauan wabah, juga pemantauan arus masuk keluar pangan dan pembuatan neraca pangan.
"Untuk hal-hal terkait lainnya, kami koordinasikan dengan pemda," jelasnya.
Dia menjelaskan saat ini sudah ada check point di daerah perbatasan yakni Kabupaten Bolaang Mongondouw Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondouw Utara untuk pemantauan wabah penyakit.
Hingga Jumat (28/7/2023), harga daging babi di sebagian besar wilayah Sulut merosot tajam. Harga di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Minahasa seperti di Pasar Kakas, Pasar Langowan dan Pasar Kawangkoan, daging babi dijual dengan harga Rp100 ribu per 3 kilogram.
Angka ini turun tajam sebesar 44,45 persen jika dibandingkan dengan harga normal Rp60 ribu per kilogram.
 Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Asim Saputra mengatakan bahwa penurunan harga daging babi persisten mingguannya selama Juli, bisa berdampak deflasi.
Tapi, jika hanya seminggu rata-rata agregat bulanannya tidak berdampak besar ke inflasi Sulut.
Asim menjelaskan karena data inflasi merupakan agregasi dari sekitar 300 komoditi, tidak valid jika turunnya harga daging babi berdampak ke inflasi tapi bagaimana respon komoditas lainnya.
"Kalau restoran yang menjual daging babi tetap menjual dengan harga normal, belum akan berdampak ke inflasi," jelas dia.
Baca Juga
Â