Sukses

Kulit Biji Kakao Berpotensi Jadi Pangan Fungsional, Apa Saja?

Dengan senyawa polifenol yang masih signifikan dan tingginya komponen serat, kulit biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan fungsional.

Liputan6.com, Bandung - Kulit biji kakao kerap tak termanfaatkan dan hanya berakhir membusuk jadi limbah di area perkebunan kakao. Padahal, kulit biji kakao dinilai memiliki potensi menjanjikan sebagai pangan fungsional.

Menurut Besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Mohamad Djali, penelitian menunjukkan bahwa kulit biji kakao mengandung senyawa bioaktif yang tidak berbeda jauh dengan yang terkandung dalam keping biji.

Kandungan senyawa bioaktif itu bertanggung jawab sebagai antioksidan, antitumor, antimikroba, dan aktivitas antivirus.

Djali melanjutkan, dengan senyawa polifenol yang masih signifikan dan tingginya komponen serat, kulit biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan fungsional.

Namun, pemanfaatan kulit biji kakao saat ini baru sebatas riset, terutama riset yang dilakukan di perguruan tinggi. Aplikasi penggunaan di masyarakat sebagai bahan pangan pun belum ada.

“Riset ke arah eksplorasi lanjut cacao shell dengan fokus perannya sebagai bahan makan fungsional dan keamanan pangannya perlu terus ditingkatkan,” kata Djali dikutip Liputan6.com melalui laman resmi Unpad.ac.id, Minggu (30/7/2023).

Menurut Djali, belum adanya pemanfataan biji kulit kakao untuk bahan pangan masyarakat karena riset yang dilakukan belum tajam. Riset lebih banyak mengarah langsung ke pemanfaatan bahan pangan atau non-pangan.

“Seharusnya di sini ada kajian-kajian awal dulu. Jadi sebelum melangkah ke aplikasi bahan pangan harus dikaji dulu sebetulnya bagaimana profilnya, baik profil kimia juga bioaktifnya, maupun profil lainnya,” kata Djali.

Diungkapkan Djali, produksi kulit biji kakao di satu industri mencapai 12,6 – 13,5 ton per tahun. Salah satu permasalahan yang dihadapi, yaitu aspek keamanan pangan yang masih diragukan. Hal ini dikarenakan kulit biji kakao sebagai bagian terluar biji kakao berpotensi kontak langsung dengan kontaminan. Sumber kontaminan tersebut, yaitu residu pestisida, logam berat, dan jamur aspergillus.

Kontaminan tersebut akan terkonsentrasi pada kulit biji kakao terlebih jika penanganan panen dan pascapanen yang tidak tepat. Djali melanjutkan, riset kulit biji kakao sebagai bahan pangan perlu diawali dengan mengungkapkan profilnya.

Hal ini, katanya, dilakukan dengan menganalisa komponen proksimat (karbohidrat, protein, lemak, kadar abu, dsb) dan komponen bioaktif (polifenol, theobromine, kafein, dan serat), serta memperhatikan keamanan pangannya.

"Dengan mengetahui profilnya, ini bisa ditentukan mengolahnya seperti apa ke depannya,” ujar Djali.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Zero Waste

Jika limbah kulit biji kakao dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pangan fungsional, maka hal tersebut dianggap dapat mengurangi masalah lingkungan akibat limbah kulit biji kakao. Djali mengatakan, kulit biji kakao yang dibiarkan membusuk akan menyebabkan masalah lingkungan, seperti bau busuk dan sumber penyakit.

Pemanfaatan kulit biji kakao dengan penerapan konsep zero waste dalam industri kakao akan memberikan nilai tambah bagi diversifikasi olahan juga sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam orasi ilmiahnya pada tahun 2022 lalu, Djali sempat menyampaikan bahwa jumlah produksi kakao Indonesia berdasarkan data Kementerian Pertanian RI tahun 2021 sebesar 728.046 ton biji kering dan ekspor sebesar 28.678 ton kering. Diperkirakan, jumlah kulit biji kakao yang dihasilkan dalam negeri tidak kurang dari 109.200 ton.

"Tingginya potensi produksi limbah biomassa kulit biji kakao ini akan menjadi prospek masa depan yang menjanjikan. Bukan sekadar bagi industri kakao, tetapi juga industri pangan terutama industri pangan fungsional," katanya.