Sukses

Kearifan Lokal Suku Bajo di Gorontalo di Tengah Perubahan Iklim

Meskipun sebagian dari mereka tidak pernah mengenyam pendidikan soal lingkungan, akan tetapi merekalah masyarakat yang paling menjaga ekosistem laut, tempat mereka bermukim saat ini.

Liputan6.com, Gorontalo - Dalam kehidupan manusia, tumbuh tradisi, perilaku, atau pengetahuan tentang suatu objek, biasanya berkembang sesuai kedekatan manusia dengan lingkungan sekitar. Contohnya, pemahaman manusia terhadap alam serta bentuk perilaku manusia akibat kedekatannya, sehingga terbentuk elemen ekologis dan kearifan lokal.

Hal itu dibuktikan masyarakat Bajo di Desa Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Meskipun sebagian dari mereka tidak pernah mengenyam pendidikan soal lingkungan, akan tetapi merekalah masyarakat yang paling menjaga ekosistem laut, tempat mereka bermukim saat ini.

Di lingkungan sekitar pemukiman masyarakat Bajo di Desa Torosiaje, sumber daya dan ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang masih terpelihara dan dijaga dengan baik. Kondisi seperti sangat jarang ditemukan di pemukiman masyarakat pesisir lainnya.

Suku Bajo atau Bajau yang mendiami daerah pesisir Gorontalo memiliki kedekatan emosional dan pemikiran terhadap alamnya. Sehingga melahirkan sikap dan perilaku nyata dengan terus menjaga ekologis laut.

Komunitas ini memiliki kearifan lokal berupa sejumlah tradisi, aturan atau pantangan. Kearifan lokal ini masih berlaku secara turun temurun yang dipraktekkan, dipelihara dan ditaati oleh masyarakat Bajo.

"Kearifan lokal ini memiliki nilai-nilai penting dan perlu dipelihara dan dikembangkan agar tidak tergilas oleh kemajuan dan tantangan hidup masyarakat," kata Anunu warga Torosiaje.

Meski begitu, mereka mengaku jika perubahan iklim saat ini tidak bisa mereka hindari. Siklus cuaca yang terjadi, hampir tidak bisa diprediksi oleh mereka yang sudah sejak dulu tinggal di pesisir pantai.

"Seperti contoh, kami memprediksikan tidak akan terjadi hujan badai. Tiba-tiba terjadi, nah, itu yang membuat kami bingung," ujarnya.

Dengan perubahan iklim tersebut kata Anunu, mereka harus mempelajari lagi perilaku alam. Musabab, kehidupan mereka tergantung pada pendapatan hasil laut.

"Bingung dengan perubahan iklim, mau tidak mau kami pelajari kembali perilaku alam sekitar. Sungguh ini sangat berpengaruh pada hasil laut," katanya.

Dengan begitu, rata-rata masyarakat Torosiaje hidup di bawah garis kemiskinan. Cuaca dan perubahan iklim yang kerap berubah, membuat pendapatan mereka menurun dari tahun ketahun.

Sebuah Studi memberi gambaran sedikit lebih terang tentang sebab-musabab kemiskinan Komunitas Bajo. Publikasi Jurusan Ilmu Lingkungan, Universitas Halu Oleo (UHO) yang ditulis Satria Dewiyanti, Amar Ma’ruf, dan Lies Indriyani (2019) menyelidiki bagaimana nelayan Bajo menghadapi perubahan iklim.

Studi ini dengan Komunitas Bajo di Soropia, Konawe Sultra. Warga Bajo di Indonesia tersebar di beberapa wilayah termasuk di Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.

Dalam riset itu menjelaskan, pesisir dan laut merupakan wilayah paling rentan terkena berbagai dampak perubahan iklim. Dampak ini antara lain, berupa kenaikan muka air laut, perubahan keasaman air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrem.

Fenomena itu, katanya,  akan mengubah kondisi ekosistem perairan, hingga memengaruhi keanekaragaman hayati setempat. Perubahan ini pada akhirnya punya peran menggerus sumber pendapatan nelayan Bajo.

Data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menyebut, suhu rata-rata permukaan laut mencapai 21,2 derajat sejak awal April 2023, mengalahkan suhu tertinggi sebelumnya sebesar 21 derajat pada 2016.

Dampaknya ialah, terjadi pemutihan koral dirasakan pula oleh mangrove dan padang lamun yang jadi habitat biota laut. Pertumbuhan dan perkembangan biota menjadi terganggu bahkan mati akibat kenaikan suhu air laut.