Sukses

Keinginan Anak-anak Pengungsi Rohingya Sekolah di Aceh Kandas, Polisi Larang Mereka Keluar Kamp

Wajah sejumlah anak-anak pengungsi Rohingya di Aceh yang awalnya ceria kini murung. Awalnya mereka bisa mencecap asiknya sekolah sampai polisi yang bertugas menjaga kamp tak mengizinkan anak-anak tersebut keluar kamp. Simak beritanya:

Liputan6.com, Aceh - Sejumlah anak-anak Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian Mina Raya Gampong Luen, Kecamatan Padang Tiji, Pidie, Aceh, dikabarkan mulai masuk ke sekolah sejak dua pekan yang lalu. 

Namun, harapan untuk mencecap pendidikan formal itu kini kandas. Petugas keamanan tidak memperbolehkan anak-anak tersebut keluar dari kamp. 

Nurmalawati, seorang relawan yang selama ini menjadi tenaga pendidik nonformal di kamp, mengatakan terdapat sepuluh anak Rohingya yang belakangan sekolah di sebuah sekolah dasar setempat. 

"Hari pertama mereka senang sekali. Biasanya malas mandi, ini mereka jam tujuh sudah bangun untuk bersiap masik ke sekolah," tutur Nurmala saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu sore (5/8/2023).

Awalnya, jelas dia, hanya tujuh anak yang masuk ke sekolah sebelum bertambah menjadi sepuluh.

Saking antusiasnya, di antara anak-anak tersebut ada yang rela mengenakan pakaian biasa karena tidak memiliki seragam.

"Orang tua mereka yang selalu bertanya kapan anak-anak ini bisa masuk ke sekolah formal," kata Nurmalawati yang selama ini aktif mengajarkan anak-anak pengungsi di luar pendidikan formal.

Akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi sendiri telah ditekankan melalui sebuah surat edaran oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kepada satuan pendidikan.  

Surat dengan nomor 30546/A.A5/HK.01.00/2022 yang terbit sejak 12 Mei 2022 dikeluarkan dalam rangka pemenuhan akses pendidikan bagi para pengungsi anak usia sekolah dari luar negeri.

Beberapa poin yang kemudian ditekankan di dalam surat edaran itu mencakup hal-hal seperti partisipasi pengungsi anak usia sekolah tidak boleh membebankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (ABPD).

Selain itu, untuk mendukung pembelajaran bagi peserta didik dari kalangan pengungsi dapat dilakukan melalui pembiayaan dari lembaga yang mensponsori. 

Berdasarkan surat edaran tersebut, lembaga kemanusiaan yang selama ini bekerja di kamp mengusulkan rencana mengikutsertakan anak-anak pengungsi ke sekolah formal. 

Mereka mendapat dukungan berupa persetujuan dari dinas pendidikan setempat hingga ketujuh anak tersebut mulai bersekolah pada Senin, 24 Juli 2023.

Namun, dengan dalih tidak memiliki surat resmi dari otoritas pendidikan setempat yang menjamin anak-anak tersebut bersekolah, petugas kepolisian yang selama ini bertugas di pos penjagaan kamp melarang pengungsi terlibat aktivitas di luar kamp. 

Ini artinya, ketujuh anak pengungsi Rohingya otomatis tidak bisa bersekolah.

Segenap upaya pun dilakukan oleh petugas kemanusiaan di kamp untuk menjamin agar anak-anak pengungsi di sana dapat bersekolah kembali.

"Kita advokasi. Malam itu juga bertemu dengan pihak terkait," terang Nurmalawati.

Setelah berembuk dengan melibatkan pelbagai pihak, otoritas pendidikan setempat setuju untuk mengeluarkan surat dukungan akses edukasi formal bagi anak-anak pengungsi teraebut pada 25 Juli 2023. 

Terdapat poin yang kemudian ditekankan sebagai syarat penerimaan peserta didik dari kalangan pengungsi itu.

Antara lain, memiliki kartu pengungsi yang dikeluarkan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) serta adanya surat jaminan dan komitmen dukungan biaya pendidikan dari lembaga yang mensponsori keberadaan pengungsi.

Anak-anak tersebut akhirnya kembali bersekolah sejak 31 Juli 2023.

Kepala Sekolah SDN Tanjung, Wahidin, menggambarkan bagaimana anak-anak tersebut bergaul dengan siswa lainnya selama di sekolah.

"Anak-anak itu sudah tidak ada kesenjangan. Mereka akur dan akrab. Minat belajar mereka bagus. Saya lihat sudah sama-sama dengan anak-anak kita. Walaupun cara berkomunikasi agak sedikit kurang, tetapi cara bergaul mereka sudah enggak ada perbedaan," ungkap Wahidin, dihubungi Liputan6.com, Minggu pagi (6/8/2023).

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

Dalih Polisi

"Namun, Sabtu, 5 Agustus 2023, lagi-lagi anak-anak tersebut tidak diizinkan keluar atau sekolah oleh polisi yang bertugas menjaga kamp. Artinya mereka terakhir sekolah pada 4 Agustus," ungkap Nurmalawati.

Hal ini dipandang aneh oleh Nurmalawati karena semua hal yang dibutuhkan sebagai syarat anak-anak tersebut dapat bersekolah sudah dilakukan tetapi malah terkesan bermasalah oleh kepolisian.

Selama bersekolah, anak-anak tersebut diantar oleh pekerja kemanusiaan di kamp.

"Di sekolah mereka jadi wewenang pihak sekolah. Pulang kami jemput," kata Nurmalawati.

Nurmalawati mengaku sempat terlibat adu mulut dengan oknum polisi yang selama ini bertugas di pos penjagaan kamp, juga yang paling ngotot melarang anak-anak tersebut keluar dari kamp.

Dia bersikeras agar anak-anak tersebut diizinkan bersekolah. Namun, usaha Nurmalawati sia-sia belaka.

Liputan6.com berusaha menghubungi Kapolsek Padang Tiji, Handriansyah via telepon untuk dimintai tanggapan.

Handriansyah sebenarnya memilih untuk irit bicara, tetapi dia menyinggung soal dampak kasus asusila yang pernah terjadi di kamp sebagai alasan tidak memperbolehkan anak-anak tersebut ke luar kamp.

"Kita melihat kondisi yang terjadi belakangan ini masalah asusila yang terjadi di dalam, itu yang kita khawatirkan," jawab Handriansyah, Sabtu sore, 5 Agustus 2023.

Menurut Handriansyah, kepolisian berusaha menekan dampak yang bisa ditimbulkan dari kasus asusila tersebut di tengah-tengah penduduk setempat.

"Dari masyarakat sebagian tidak menerima bahwa di dalam kamp sendiri ada terjadi tindak pidana tentang asusila," kata dia.

Menjawab hal tersebut, Nurmalawati mengatakan bahwa dalih polisi yang mengaitkan kasus asusila yang pernah terjadi di kamp dengan hak pendidikan bagi anak-anak pengungsi terkesan dipaksakan karena tidak ada sangkut pautnya sama sekali.

"Para pelaku asusila yang terjadi di kamp itu sudah ditindak dengan hukum sama seperti bagaimana polisi menindak warga negara kita saat melanggar hukum. Para pelaku tidak diistimewakan sama sekali," ujar Nurmalawati.

Seirama dengan Nurmalawati, Kepala Sekolah SDN Tanjung, Wahidin berharap anak-anak tersebut dapat kembali bersekolah.

"Kalau bisa diperjuangkan, (agar) anak-anak Rohingya tersebut bisa bersekolah sama seperti kemarin," demikian Wahidin.