Sukses

Mimpi Menikmati Sungai Batanghari Tanpa Khawatir Bahaya Merkuri

Ekspedisi Sungai Batanghari kali kedua digelar di Sumatra Barat dan Jambi. Namun persoalan krusial; merkuri dan batu bara di situs bersejarah jarang dibicarakan dalam helatan ekspedisi yang digelar Kemendikbudristek itu.

Liputan6.com, Jambi - Ekspedisi Sungai Batanghari bagian dari Kenduri Swarnabhumi 2023 yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun ini adalah kali kedua digelar. Masih sama dengan tahun sebelumnya, ekspedisi ini diikuti sekitar 50 peserta yang berasal dari: peneliti, komunitas, jurnalis, pegiat lingkungan, pemengaruh (influencer), dan perwakilan pemerintah daerah setempat.

Dalam ekspedisi itu, mereka menyusuri daerah aliran Sungai Batanghari dari Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat pada 27 Juli dan berakhir 9 Agustus di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Dari Dharmasraya dimulainya ekspedisi, mereka menghilir ke Provinsi Jambi dengan rute Kabupaten Tebo, Batanghari, Muaro Jambi, Kota Jambi.

Setiap kabupaten/kota yang dilewati tim ekspedisi mengadakan festival yang disesuaikan dengan budaya dan kearifan lokal. Tim ekspedisi singgah di desa yang telah ditentukan, dan kemudian disambut dan dilepas secara seremonial yang dibalut dalam festival kebudayaan.

"Meski daerah punya isu sendiri-sendiri, tapi intinya dari (ekspedisi) ini untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup," kata Pamong Budaya Utama Kemendikbudristek, Siswanto di Jambi, Jumat (4/8/2023).

Sungai Batanghari menurut Siswanto, masih menghadapi berbagai persoalan. Sungai saat ini masih dianggap sebagai tempat pembuangan sampah dan mata pencaharian ekonomi warga masih menganggu ekosistem sungai.

"Sungai Batanghari ini kan lintas sektor dan wilayah, kita merangkul semua untuk memikirkan sungai kita ini, enggak mungkin kan kita berpikir sendiri," ucap Siswanto.

Batanghari, sungai terpanjang di Sumatra yang meliuk-liuk melintasi belasan daerah kabupaten/kota kini kondisinya sedang tak baik-baik saja. Kondisi sungai semakin kotor dan tercemar dan tekanan terhadap sungai terpanjang di Sumatra itu semakin besar.

Ridho Saputra, seorang pegiat lingkungan dari Komunitas Sekolah Sungai Muaro Jambi, mengkritisi helatan Ekspedisi Sungai Batanghari yang dibungkus dalam gelaran Kenduri Swarnabhumi itu. Menurut Ridho, acara tersebut hanya seremonial belaka dan tidak ada efek untuk kelestarian Batanghari ke depan.

Sebagai contoh, Ridho bilang, isu pencemaran merkuri dampak tambang emas ilegal dan penimbunan batu bara (stockpile) di pinggir Sungai Batanghari, tepatnya Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muara Jambi, luput dari Kenduri Swarnabhumi.

Kedua persoalan ini tak pernah mencuat dalam gelaran dan festival Kenduri Swarnabhumi. Kenduri Swarnabhumi yang di dalamnya terdapat rangkaian Ekspedisi Batanghari, kata Ridho, hanya menghabiskan uang rakyat dengan dalih penyelamatan lingkungan dan kebudayaan.

"Isu merkuri dan stockpile batu bara tidak dipernah digaungkan. Padahal kedua isu ini adalah isu yang paling nyata ancamannya dan berbahaya bagi Candi Muara jambi, dan juga isu ini sangat krusial karena menyangkut dengan kesehatan warga," kata Ridho.

Ridho menuturkan, stockpile batu bara yang sudah merangsek di kawasan Candi Muara Jambi ini ke depan jika tidak segera diatasi bisa bikin cagar budaya itu hancur.

"Tapi isu stockpile batubara dan tambang emas ilegal malah dikesampingkan," kata Ridho.

 

2 dari 3 halaman

Merkuri di Daging Kerang Kepah

Pencemaran merkuri di Sungai Batanghari semakin tidak terkendali. Pencemaran merkuri di aliran sungai itu telah mengakibatkan degradasi sumber daya perikanan, sumber daya air, dan ekosistem sungai yang penting bagi manusia.

Pencemaran kandungan merkuri di sepanjang Sungai Batanghari, yang mengalir melintasi Provinsi Sumatera Barat dan Jambi, semakin hari kian membahayakan warga. Pencemaran merkuri tidak boleh dianggap remeh. Soal pencemaran ini kalau tidak segera diatasi akan semakin memperburuk kualitas air sungai dan habitat di dalamnya.

Teranyar dalam sebuah penelitian dari Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Jambi, disebutkan bahwa pencemaran merkuri di sungai Batanghari telah terakumulasi pada daging kerang kepah (Polymesoda erosa). Penelitian ini dapat diakses melalui laman https://repository.unja.ac.id/16882/ yang dipublikasikan Universitas Jambi.

Penelitian tersebut dilakukan tahun 2020. Penelitian kandungan logam berat dilakukan di 6 titik lokasi di Kelurahan Olak Kemang Kota Jambi dan Desa Kemingking Dalam Muaro Jambi. Pengkuran kandungan merkuri dilakukan mulai dari bagian atas dan bawah sungai.

Kandungan merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Disebutkan bahwa kadar logam Hg yang terdapat di Sungai Batanghari Hilir yaitu sebesar 0,017– 0,032 mg/L dimana nilai tersebut telah melewati baku mutu kelas II, dimana kadar yang diperbolehkan hanya 0,002 mg/L.

Dalam 6 sampel itu disebutkan kandungan logam Hg pada kerang kepah dari yang terendah 0,096 mg/kg dan tertinggi 0,152 mg/kg.

"Kualitas air Sungai Batanghari berdasarkan parameter TSS, kekeruhan, dan kandungan logam Hg sudah melebihi batas baku mutu yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 dan Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990. Sedangkan untuk parameter COD dan DO beberapa sampel telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan," tulis Shally Yanova dkk dalam jurnalnya yang berjudul Akumulasi Merkuri pada Daging Kerang Kepah di Sungai Batanghari, Kota Jambi.

Tingginya parameter logam Hg menurut penelitian itu, disebabkan oleh adanya kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) di bagian Hulu sungai Batanghari, seperti di Kabupaten Tebo dan Sarolangun.

Dari hasil pengukuran tersebut bisa dikatakan bahwa kegiatan PETI dibagian Hulu sungai Batanghari telah berdampak hingga ke sungai Batanghari Hilir, atau tepatnya yang melintasi Kota Jambi.

Pencemaran merkuri di sungai Batanghari tidak boleh dianggap remeh. Kalau masalah pencemaran ini terus terjadi, maka tragedi Minamata Disease di Jepang, bisa terulang di Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya. Sungai Batanghari jika tidak segera diatasi, ke depan diyakini akan menjadi sumber bencana ekologi.

Padahal diketahui bersama hampir semua perusahaan daerah air minum (PDAM) di Jambi, mengandalkan sungai Batanghari sebagai bahan baku sumber bahan baku air.

Di Kota Jambi, air Sungai Batanghari dikonsumsi untuk kebutuhan air minum. PDAM Tirta Mayang sebagian besar memenuhi kebutuhan air masyarakat Kota Jambi juga memanfaatkan air Batanghari. Menurut data perusahaan air minum itu, sambungan pelanggan PDAM tersebut telah mencakup seluruh kecamatan dengan jumlah pelanggan mencapai lebih dari 88.149 sambungan.

 

3 dari 3 halaman

Penumpukan Batu Bara di Candi Muara Jambi

Kawasan Candi Muara Jambi di tengah menyisakan kejayaan peradaban masa lampau menyandang predikat Cagar Budaya Nasional itu sudah lama terancam oleh aktivitas industri.

Bangunan candi yang menjadi saksi bisu peradaban masa lampau masih terkepung alat berat, pabrik, dan industri stockpile batubara. Kawasan Cagar Budaya yang berada di sisi selatan Desa Muara Jambi itu seakan tak berdaya menghadapi stockpile batubara lebih dari satu dekade terakhir.

Stockpile adalah tempat penumpukan batu bara. Batu bara di stockpile itu didatangkan dari sejumlah daerah di Jambi, kemudian diangkut kapal tongkang lewat jalur perairan Sungai Batanghari. Tahun 2010, ekspansi stockpile batubara semakin tak terbendung.

Tumpukan ratusan ribu ton “emas hitam” itu masih menggunung dengan aktivitas alat beratnya di beberapa titik lokasi menjadi ancaman serius terhadap pelestarian cagar budaya. Karena lokasi stockpile batu bara yang begitu dekat, sehingga dikhawatirkan debu batubara bisa mempercepat pelapukan bangunan candi.

Supriyadi, seorang pelestari budaya di Desa Muara Jambi melakukan pemetaan spasial terhadap industri yang berada di dalam Kawasan Cagar Budaya Muarajambi, terutama di sisi selatan seberang Sungai Batanghari di desanya.

Analisis spasial menggunakan platform Google Earth, tampak jelas di kawasan tersebut terdapat bagian hitam pekat yang menandakan tumpukan batu bara. Sementara di sekitar peta yang menghitam bangunan candi berdiri.

"Di kawasan itu juga ada Sungai Kemingking dan Buluran Bumban, itu merupakan tali-tali air bersejarah," ujar Supriyadi.

Namun, persoalan batu bara yang tampak di mata itu jadi angin lalu. Pemerintah seakan tak berdaya untuk memindahkan stockpile batubara dari kawasan bersejarah itu. Malah, pemerintah menggaungkan situs bersejarah Candi Muarajambi bisa masuk daftar warisan dunia.

Pamong Budaya Utama Kemendikbudristek Siswanto mengklaim berbagai persoalan yang terjadi di Sungai Batanghari sudah mereka rekam dalam ekspedisi. Dia meminta semua pihak mestinya perlu menyadari akan keberlangsungan sungai.

"Kita harus menyadari sungai ini untuk kepentingan bersama, soal indikasi-indikasi tidak baik, semoga mereka diberi kesadaran untuk memindahkan atau mungkin mengalihkan kegiatannya (stockpile dan tambang) dalam bentuk lain," ucap Siswanto.