Sukses

Sidang Perdana Gugatan Pembangunan Underpass Jalan Juanda Bergulir di PTUN Medan

Sidang perdana gugatan penolakan pembangunan Underpass Jalan Juanda bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Medan. Gugatan diajukan Tim Kuasa Hukum Masra Chairani Dalimunthe, pemilik Dalitan Coffee, bersama 8 warga lainnya.

Liputan6.com, Medan Sidang perdana gugatan penolakan pembangunan Underpass Jalan Juanda bergulir di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Medan. Gugatan diajukan Tim Kuasa Hukum Masra Chairani Dalimunthe, pemilik Dalitan Coffee, bersama 8 warga lainnya.

Sidang perdana yang digelar Selasa (8/8/2023) beragendakan pemeriksaan persiapan dari kedua belah pihak, penggugat dan tergugat. Sidang diketuai Alpon T Sagala.

Dalam gugatan tersebut, tergugat pertama Kepala Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Konstruksi (SDA BMBK) Kota Medan. Tergugat dua, Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang Kota Medan.

Tergugat ketiga, Wali Kota Medan. Tergugat keempat, Gubernur Sumut, Tergugat kelima, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Tergugat keenam, Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (USU), dan tergugat ketujuh, Mendikbudristek cq Rektor USU.

"Hari ini sidang pertama, pemeriksaan persiapan. Di samping itu, melihat persiapan," kata Kuasa Hukum Dalitan Coffee, Refman Basri, kepada wartawan di PTUN Medan.

Diungkapkan Refman, ada beberapa masyarakat di Jalanan Juanda dan sekitarnya memasukkan permohonan intervensi untuk ikut sebagai pihak penggugat, dalam gugatan menolak pembangunan underpass tersebut.

"Ya, permohonan intervensi ikut bersama-sama keberatan pembangunan underpass. Paling utama itu, ada ketidakadilan," ungkapnya.

 

2 dari 4 halaman

Alasan Menolak

Diterangkan Refman, pembangunan Underpass Jalan Juanda yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemko) Medan tidak memberikan keadilan bagi masyarakat. Karena di sisi kiri Jalan Juanda ke Jalan Brigjend Katamso terdapat hotel, gudang pemerintah, hingga pusat perlengkapan rumah tangga tidak terkena pelebaran.

"Kami ini, penduduk yang dikorbankan. Mudah-mudahan Pak Wali Kota tahu ini, takutnya tidak tahu," terangnya.

Poin utama dalam gugatan tersebut adalah membatalkan pembangunan underpass, karena tidak memiliki rasa keadilan bagi masyarakat di sekitar Jalan Juanda.

"Pembangunan underpass bukan jalan keluar. Banyak jalan keluar, seperti satu arus, lebarkan kiri dan kanan. Ini kanan tidak kena, namanya tidak ada keadilan," Refman menuturkan.

Menurut Refman, pihaknya sangat optimis dan yakin PTUN Medan sebagai benteng keadilan akan memberikan rasa keadilan kepada penggugat. Sebab menurut mereka, kajian dari Profesor Teknik USU tidak bisa diambil dengan akal sehat.

"Kenapa sebagian kena dan sebagian tidak," ujarnya.

3 dari 4 halaman

Dinilai Bukan Solusi

Disebutkan Refman, contoh pembangunan underpass simpang Titi Kuning, Kota Medan, tidak menjadi solusi dalam mengurangi kemacetan. Bahkan tetap menimbulkan kemacetan dan banyak usaha warga yang tutup.

"Kalau Jalan Juanda itu, tinggal diatur lampu merah. Harusnya dikaji dulu rekayasa lalulintas. Ini tidak, tanpa ada informasi," ucapnya.

Refman meminta kepada Pemko Medan dan pihak terkait dalam pembangunan Underpass itu. Untuk menghargai proses hukum di PTUN Medan. Jangan ada aktivitas pembangunan dulu.

"Berkaitan dengan Underpass kita minta ditunda, selama proses di PTUN. Kita tunggu saja, satu terima dan satu lagi banding. Tetap kita upaya hukum," ucap Refman dengan tegas.

Warga yang terkena pembangunan underpass juga menolak kompensasi yang diberikan Pemko Medan. Warga menilai kompensasi tidak sebanding dengan usaha yang mereka jalani puluhan tahun. Juga berdampak dengan usaha yang akan bangkrut.

"Kita tidak mau kompensasi, ganti untung tidak mau, apalagi ganti rugi," Refman mengungkapkan, sembari mengatakan sidang selanjutnya di PTUN Medan digelar 22 Agustus 2023.

4 dari 4 halaman

Merasa Tidak Berikan Keadilan

Johannes Liong, seorang warga yang menolak pembangunan underpass, mengungkapkan, alasannya menolak arena tidak memberikan keadilan dan akan mematikan usaha mereka.

"Ada yang enggak kena, kita kena. Kita tidak bisa berusaha lagi nanti," ucap pria yang tinggal dan memiliki usaha di Jalan Juanda/Jalan Brigjen Katamso sejak 1990.

Diungkapkan Johannes, kemacetan di Jalan Juanda terjadi saat pagi hari ketika masyarakat pergi kerja dan sore saat masyarakat pulang kerja.

"Sisanya, aktivitas lalu lintas normal dan tidak ada kemacetan," tandasnya.