Liputan6.com, Gorontalo - Saat ini, Provinsi Gorontalo tengah dilanda cuaca ekstrem. Panas yang disertai angin kencang membuat warga merasa waswas akan terjadinya kemarau panjang. Kemarau tersebut diprediksikan akan berdampak pada timbulnya bencana kebakaran, krisis air bersih, dan krisis pangan.
Penjabat Gubernur Gorontalo Ismail Pakaya meminta seluruh bupati dan wali kota, mengantisipasi kemungkinan terjadinya musim kemarau panjang akibat fenomena El Nino. BMKG memprediksi musim kemarau pada 2023 akan lebih kering jika dibandingkan dengan periode tiga tahun terakhir (2020-2022).
Advertisement
Baca Juga
Prediksi BMKG, kemarau di Gorontalo akan berlangsung Juli–September 2023. Setiap kabupaten kota akan berbeda-beda dampaknya.
"Kepala BMKG sudah menyampaikan ini kemarau panjang dan bahaya ada titik titik api. Karena puncak kemarau kita ada di bulan September. Tapi diprediksi fenomena ini panjang sampai bulan Januari 2024," kata Ismail Pakaya.
Ismail juga meminta, seluruh pemda untuk memperhatikan wilayahnya yang rawan air. Selain itu juga, diharapkan untuk terus menyiapkan mobil pemadam di segala situasi. Ia menekankan kabupaten kota untuk lebih cepat bergerak jika terjadi kebakaran.
"Karena dilihat-lihat ketika terjadi kebakaran, damkarnya provinsi yang duluan tiba di lokasi, damkarnya kabupaten kota terlambat, padahal kan dekat lokasi. Tolong disiagakan petugasnya, sehingga kalau ada kejadian (kebakaran) sebisa mungkin cepat kita selamatkan," ujarnya.
Hal lain yang menjadi penekanan, diharapkan kabupaten kota untuk bisa membentuk posko penanganan kemarau panjang. Posko diminta berlokasi di depan kantor bupati masing-masing yang dikoordinasi BPBD Kabupaten Kota.
"Posko ini juga untuk memantau ketersediaan pangan. Ini Kabulog hadir, kami sudah tanya ketersediaan beras, minyak goreng, gula pasir dan lain-lain itu tersedia. Tapi kita harus tetap pantau harganya, karena ini menjadi perhatian utama dari Pak Presiden untuk menghadapi El Nino paling penting adalah ketersediaan pangan,"Â dia menandaskan.
El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah Indonesia.