Sukses

Derita Nelayan di Kutai Kartanegara, Danau Kering, BBM dan Garam Mahal

Harga BBM dan garam yang menjadi kebutuhan penting nelayan di Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara kian mahal dan langka.

Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Ramli menepi Ketika melihat sebuah perahu mogok di alur sungai menuju kampungnya di kawasan Kecamatan Muara Muntai, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Air Sungai Mahakam sedang surut sehingga tampak tanah di kanan kiri yang mengeras.

Perahu bermesin tempel milik rekannya sesama nelayan air tawar sedang mogok. Ramli berinisiatif menepi untuk menolong.

“Harga BBM mahal dan susah didapat,” keluh Ramli memulai obrolan itu ke sesama nelayan.

Tak terasa ada tiga perahu saling menempel sambil menunggu bantuan datang. Perahu paling ujung yang mogok merapat ke tanah. Kondisi sungai dan danau mengering membuat mesin boros bahan bakar karena terkadang harus menerobos lumpur.

“Sekarang pertalite harganya sudah Rp18 ribu. Sudah mahal, lebih sering sulit dapat,” kata Ramli dengan Bahasa Kutai yang kental.

Kecamatan Muara Muntai adalah satu-satunya kecamatan yang punya akses ke tiga danau besar di Kalimantan Timur. Ketiga danau tersebut adalah Danau Semayang seluas 13 ribu hektar, Danau Melintang 11 ribu hektar, dan Danau Jempang mencapai 15 ribu hektar.

Tak heran kecamatan ini termasuk kawasan penghasil ikan air tawar terbesar di Kalimantan Timur. Anehnya, kecamatan ini hanya memiliki satu APMS (Agen Premium dan Minyak Solar). Tak ada Sarana Pengisian BBM Umum (SPBU).

Bisa dibayangkan bagaimana kesulitannya nelayan setempat terhadap akses untuk memperoleh bahan bakar. Kecamatan ini juga menjadi pusat ekonomi beberapa kecamatan lainnya hingga ke Kabupaten Kutai Barat.

“Ada juga yang Rp20 ribu per liter. Misalnya di wilayah yang lebih jauh dari Muara Muntai,” tambah Ramli.

Selain dijual ke luar daerah dalam bentuk ikan basah, hasil tangkapan nelayan juga diolah jadi ikan asin. Pengepul ikan bertebaran di kecamatan ini sehingga nelayan tak kesulitan menjual hasil tangkapannya.

Hanya saja, sejak musim kemarau saat danau-danau dan aliran Sungai Mahakam surut, harga ikan anjlok. Meskipun hasil tangkapan tidak berkurang, namun harganya yang jatuh di saat BBM mahal dan langka makin menyulitkan kehidupana nelayan setempat.

“BBM mahal dan langka, harga ikan murah, kurang komplit apa lagi kebahagiaan kami,” kata Ramli dengan satir disambut tawa teman-temannya.

Begitulah ciri khas orang Kutai di kawasan dataran rendah Mahakam Tengah. Selalu tetap tertawa di tengah getir kehidupan.

2 dari 2 halaman

Garam Mahal

Puluhan ton ikan asin dikirim tiap pekan dari Kecamatan Muara Muntai. Ikan-ikan tersebut merupakan hasil tangkapan nelayan setempat yang kemudian diolah jadi ikan asin.

Meskipun hasil tangkapan tidak diserap pasar dalam kondisi basah, mereka masih bisa menjual ke pengepul yang mengolah jadi ikan asin.

Tak sedikit pula nelayan yang secara mandiri mengolah ikan tangkapannya menjadi ikan asin. Setelah kering, nelayan akan menjualnya ke pengepul dengan harapan dapat nilai ekonomis lebih tinggi.

Tapi, di saat BBM mahal dan langka, harga garam ikut-ikutan melambung tinggi. Jika biasanya per kilogram hanya Rp4 ribu, kini tembus Rp9 ribu.

Ketua Komisi II DPRD Kutai Kartanegara Sopan Sopian tak menampik jika di Kecamatan Muara Muntai harga BBM dan garam melambung tinggi. Selain mahal, barang kebutuhan penting nelayan lokal itu juga langka.

“Di pusat Kecamatan Muara Muntai sendiri saja pertalite harganya sudah di kisaran Rp15 ribu hingga Rp18 ribu. Itu belum termasuk desa yang pelosok, seperti Desa Enggelam yang sekarang sudah Rp20 ribu,” kata Sopan kepada liputan6.com, Rabu (9/8//2023)

Sebagai legislator di komisi yang mengatasi persoalan ini, Sopan Sopian menyebut sudah pernah mendatangi Pertamina. Keinginannya kala itu hanya ingin BBM satu harga juga bisa dilaksanakan di Kecamatan Muara Muntai.

“Hanya saja, kendalanya di Muara Muntai ini hanya ada satu APMS. Cuma APMS itu kadang aktif, kadang tidak aktif,” katanya.

Sopan menjelaskan, APMS yang ada di muara muntai berbentuk terapung dan berada di tepi Sungai. Hanya saja, APMS tersebut bangunannya berupa kayu.

“Sementara dalam standar Pertamina harus ponton besi, yang sekarang hanya rakit kayu. Padahal ini kearifan lokal warga di sini,” katanya.

Untuk itu, Komisi II DPRD Kutai Kartanegara mendorong agar ada APMS lain sebagai pesaing. Sehingga tidak ada APMS tunggal yang melayani warga tidak setiap hari.

Mengenai garam, Sopan Sopian juga mengeluhkan langkanya garam untuk pasokan ikan asin nelayan lokal. Garam yang selama ini disuplai untuk nelayan, ternyata juga dibeli perkebunan kelap sawit.

“Indikasinya kuat karena dipakai sebagai bahan pupuk. Harusnya perkebunan kelapa sawit tidak menggunakan garam, untuk nelayan saja,” keluhnya.

Sopan Sopian menyebut akan menggelar pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara terkait masalah ini. Soal garam misalnya, harus ada pembenahan alur distribusi agar benar-benar sampai ke nelayan sehingga tidak ada kelangkaan yang berdampak pada naiknya harga.

“Distribusinya harus dibenahi. Kalau perkebunan cukup beli pupuk saja, jangan garam dijadikan pupuk,” katanya.

Sejauh ini Komisi II DPRD Kutai Kartanegara sudah berkomunikasi dengan Bagian Ekonomi Setkab Kutai Kartanegara. Dalam waktu dekat aka nada tindak lanjut dari dinas terkait untuk mengatasinya.

“Kalau terus begini matilah nelayan kita. Minimal eksekutif ini punya program kerja seperti apa untuk pengendalian harga ini,” ujarnya.