Sukses

18 Tahun Perdamaian, KontraS Aceh Gelar Tapak Tilas

Menggenapi 18 tahun penandatanganan nota kesepahaman antara RI dengan GAM yang menandai perdamaian di Aceh, lembaga kemanusiaan KontraS Aceh memberi sejumlah catatan guna merespons beleid pemerintah dalam pemenuhan hak korban.

Liputan6.com, Aceh - "Kalaulah delapan belas tahun itu dilekatkan pada umur manusia, itu adalah sebuah usia di mana dia sudah dikatakan dewasa."

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, dalam orasinya, membuka diskusi publik dan tapak tilas, yang digelar di pelataran lembaga kemanusiaan itu, Selasa pagi (15/8/2023).

Tapak tilas ini digelar untuk merespons pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat pasca perdamaian yang dinilai masih memerlukan banyak dorongan.

Usia perdamaian yang sudah terhitung dewasa dinilai oleh Azharul Husna belum menunjukkan tanda-tanda yang matang, terutama dalam hal implementasi pemenuhan hak korban.

Azharul Husna memberi catatan terhadap beleid pemerintah yang saat ini sedang menggarap program Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM).

Seperti yang diketahui, di Aceh terjadi tiga peristiwa yang tergolong ke dalam daftar dua belas kasus yang telah diakui oleh pemerintah sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu.

Yaitu, peristiwa Rumoh Geudong, Simpang KKA, dan Jambo Keupok.

Presiden Jokowi datang ke Rumoh Geudong, salah satu situs penyiksaan di Aceh pada 27 Juni lalu, memukul gong yang menandai program telah dimulai.

Sejauh ini, tim pelaksana program telah mengumpulkan data korban untuk masing-masing peristiwa, yakni Rumoh Geudong sebanyak 58 orang, Simpang KKA 11 orang, dan Jambo Keupok 23 orang. 

Angka ini belum termasuk data ahli waris. 

Menurut Azharul Husna, umur pelaksanaan program penyelesaian nonyudisial yang tergolong singkat berpotensi menyebabkan masalah dalam hal pendataan.

"Pemerintah harusnya punya mekanisme dan standardisasi verifikasi data korban untuk program penyelesaian nonyudisial ini," tegas Azharul Husna kepada Liputan6.com, di akhir diskusi, Selasa (15/8/2023).

 

2 dari 3 halaman

Peran KKR Aceh

Selain itu, peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang tidak dipertimbangkan dalam program ini menurut Azharul Husna amat disayangkan.

Komisi yang lahir sebagai salah satu perwujudan perdamaian di Aceh melalui MoU Helsinki sejauh ini telah melakukan pengambilan pernyataan terhadap lebih dari 5.000 korban.

"Mestinya data KKR Aceh juga menjadi input bagi tim pelaksana penyelesaian nonyudisial. Karena KKR Aceh adalah juga mekanisme nonyudisial. Data KKR Aceh dikumpulkan berdasarkan standar kerja mekanisme pengungkapan kebenaran," kata Azharul Husna.

KKR Aceh sampai saat ini tidak memiliki payung hukum secara nasional sejak UU No. 27 Tahun 2004 tentang KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. 

Konsekuensi logis dari dicabutnya UU ini, selain membuat KKR Aceh tidak memiliki acuan mekanisme pengungkapan kebenaran skala nasional, kondisi ini juga membuat lembaga tersebut terkesan tidak mendapat dukungan pemerintah.

"Seharusnya pemerintah di Jakarta punya KKR nasional jika berniat serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini secara komprehensif," ujar dia.

Bagi Azharul Husna, perumusan program penyelesaian nonyudisial ini belum menemukan formula yang dinilai tepat. 

"Untuk sebuah rumusan yang memenuhi unsur keadilan korban, program penyelesaian nonyudisial ini rasanya masih jauh," tegas dia yang juga menyinggung bahwa program tersebut tidak komprehensif.

"Tidak pernah ada permintaan maaf atas nama negara dari presiden. Selain itu hanya berfokus pada korban, pelaku tidak disebutkan pelaku sama sekali di sana. Bagaimana berbicara kebenaran dan pelurusan sejarah," kata Azharul Husna.

3 dari 3 halaman

Menuju Petilasan

Azharul Husna sendiri menegaskan soal pentingnya menjadikan situs-situs peristiwa pelanggaran HAM masa lampau sebagai memorabilia.

"Tujuannya sebagai pendidikan bagi bangsa dan untuk memutus mata rantai kekerasan di generasi selanjutnya," cetusnya.

Pewarisan sejarah ini mencakup upaya mengarustamakan narasi sejarah tentang apa yang pernah terjadi di masa lalu ke dalam kurikulum pendidikan.

Menghiasi diskusi publik yang digelar sebagai pengantar tapak tilas, dua deret pigura disusun sebagai jalan masuk menuju ke riungan di bawah tenda.

Pigura tersebut berisi foto-foto korban penghilangan orang secara paksa yang terbentang sejak tahun 1990 sampai 2003.

"Artinya mulai dari korban Daerah Operasi Militer (DOM) sampai Darurat Militer (DM)," sebut Azharul Husna.

Tapak tilas yang digelar KontraS Aceh ini mengambil empat lokasi monumental sebagai petilasan yang menandai peristiwa kekerasan masa lalu berpusat di Banda Aceh.

Yaitu, Masjid Raya Baiturrahman, bekas penjara Keudah, Taman Sulthanah Safiatuddin, dan UIN Ar-Raniry. 

"Di masjid itu kasus penembakan H.T Johan, penjara Keudah merupakan penjara untuk tapol/napol, kalau di taman Ratu Safiatuddin itu penembakan Dayan Dawood, dan terakhir UIN Ar-Raniry, kita akan berkunjung ke rumah Profesor Safwan Idris," terang Azharul Husna.

Lewat tengah hari, tiga bus diiisi hampir seratus mahasiswa mahasiswa dari tiga kampus, yakni Universitas Syiah Kuala, UIN Ar-Raniry, dan Al-Muslim Bireuen, berarak dari Lamlagang menuju ke lokasi petilasan.

Selain KontraS, dan Asia Justice and Rights (AJAR), sejumlah lembaga yang turut menyokong diskusi dan tapak tilas ini antara lain, Kabinet Berhasil, European Union, dan UKM ForKAH.