Sukses

Keterlibatan Tim Aprasial di Kasus Mafia Tanah Bendungan Paselloreng Turut Diusut

Kejati Sulsel bakal mengusut keterlibatan semua pihak dalam kasus mafia tanah di Bendungan Paselloreng, Wajo, Sulsel

Liputan6.com, Wajo Tak hanya mendalami peran Panitia Pengadaan Tanah beserta para penerima ganti rugi, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) juga bakal mengusut keterlibatan Tim Aprasial dalam penyidikan kasus mafia tanah kegiatan pembayaran ganti rugi lahan proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun Anggaran 2021.

"Tentu kita bakal mendalami sejauh mana keterlibatan Tim Aprasial tersebut. Tim Penyidik bakal ke situ nantinya," ucap Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel, Soetarmi ditemui di ruangan kerjanya, Selasa (15/8/2023).

Tim Aprasial, kata dia, dalam kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng disebut Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) yang tupoksinya untuk menilai harga tanah, tanaman, jenis serta jumlahnya.

Soetarmi menjelaskan, dari hasil penyidikan sebelumnya telah digambarkan tugas KJPP. Di mana setelah Satgas A dan Satgas B menyatakan 246 bidang tanah telah memenuhi syarat untuk dibayarkan ganti ruginya, maka selanjutnya dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang berikutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah, tanaman, jenis serta jumlahnya. 

Dalam pelaksanaannya, lanjut Soetarmi, KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman, tetapi hanya berdasarkan sampel.

Kemudian, berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan kemudian meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah untuk selanjutnya melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 246 bidang tanah seLuas 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.

"Nah kita akan mengusut sejauh mana Tim Aprasial ini menjalankan tupoksinya. Minimal menelaah atau meneliti kebenaran data yang ada sebelum membuat penilaian harga atas lahan beserta tanaman di atasnya yang kemudian menjadi dasar pembayaran," terang Soetarmi.

Ia menyebutkan, sejak kasus mafia tanah pada kegiatan pembayaran ganti rugi lahan pembangunan Bendungan Paselloreng itu ditingkatkan ke tahap penyidikan, sudah puluhan saksi diperiksa secara maraton dan intens. 

"Pemeriksaan saksi-saksi berjalan terus. Tadi penyidik memeriksa kepala desa dan beberapa warga penerima ganti rugi atas 246 bidang tanah yang masuk dalam kawasan hutan tersebut," kata Soetarmi.

Terpisah, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun mengaku cukup mengapresiasi gerak cepat Kejati Sulsel dalam rangka memaksimalkan perampungan penyidikan kasus tersebut.

Dia bahkan mendukung Kejati Sulsel untuk memeriksa atau mendalami keterlibatan semua pihak yang ikut serta dalam menciptakan ruang terjadinya kerugian negara atau perekonomian negara yang nilainya sangat besar tersebut. 

"Termasuk Tim Aprasial dalam kegiatan ini patut didalami keterlibatannya karena punya peran strategis terkait dengan penentuan harga tanah dan jumlah tanaman yang dibayarkan," ucap Kadir.

Ia juga turut mendorong Kejati Sulsel tidak mengabaikan keterlibatan pihak Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Provinsi Sulawesi Selatan yang sejak awal perencanaan, penentuan lokasi pembangunan Bendungan Paselloreng hingga proses pembayaran diduga lalai atau tidak mengedepankan azas kehati-hatian.

"Pihak balai ini harus didalami ful keterlibatannya. Kami duga mereka turut serta dalam menciptakan ruang terciptanya kerugian keuangan atau perekonomian negara," tutur Kadir.

2 dari 3 halaman

Kantor BPN Wajo dan BBWS Pompengan Digeledah

 

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menggeledah Kantor Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo, Rabu 2 Agustus 2023.

Dari kegiatan penggeledahan di dua kantor tersebut, Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel masing-masing menyita 89 bundel dokumen dari Kantor Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Provinsi Sulawesi Selatan.

89 dokumen tersebut, terdiri dari dokumen tahapan persiapan perencanaan pengadaan tanah, dokumen perencanaan pengadaan tanah, dokumen pelaksanaan pengadaan tanah, daftar nominatif pengadaan tanah Bendungan Paselloreng, laporan penilaian pengadaan jasa penilai (appraisal) pengadaan tanah Bendungan Paselloreng serta dokumen kuitansi penerimaan ganti rugi.

Sementara dari Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo, Tim Penyidik menyita 13 bundel dokumen yang terdiri dari dokumen ex kawasan hutan nomor urut 1–200, daftar nominatif pengadaan tanah Bendungan Paselloreng, kuitansi penerimaan ganti kerugian pengadaan tanah proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Paselloreng, validasi pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dan peta bidang tanah, 4 unit CPU komputer, 1 unit laptop serta 4 unit handphone.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan penggeledahan ini merupakan bagian dari proses penyidikan kasus tersebut. 

Di mana, kata Leonard, penggeledahan berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Nomor: Print-128/P.4.5/Fd.1/08/2023 tanggal 2 Agustus 2023 dan Penetapan Penggeledahan Nomor: 2PenPid.Sus-TPK-GLD/2023/PN Mks tanggal 1 Agustus 2023 dari Pengadilan Negeri Tipikor pada Pengadilan Negeri Makassar.

"Penggeledahan hari ini dilakukan secara serentak tepat Pukul 13.00 Wita, baik oleh tim yang menggeledah di Kantor Satuan Non Vertikal Tertentu (SNVT) Pembangunan Bendungan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Provinsi Sulawesi Selatan maupun yang menggeledah di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo," ucap Leonard di Kantor Kejati Sulsel.

Ia mengatakan terhadap dokumen-dokumen maupun barang bukti yang telah disita dari dua kantor tersebut, selanjutnya akan diteliti dan diajukan penyitaan sebagai alat bukti surat dan barang bukti yang akan digunakan untuk pembuktian kasus dugaan praktik mafia tanah pada kegiatan pembayaran ganti rugi lahan pada proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun 2021. 

Leonard juga tak lupa kembali menegaskan agar seluruh saksi-saksi maupun pihak lainnya untuk tidak merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung jalannya proses penyidikan. 

Tim penyidik Kejati Sulsel, kata dia, tidak ragu dan akan menindak tegas para pelaku sesuai pasal 21 UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, saya sekali lagi mengimbau kepada pihak-pihak terkait lainnya untuk tidak mempercayai oknum-oknum yang mengatasnamakan Kejaksaan ataupun mencoba mengurus atau menawarkan penanganan Tindak Pidana Korupsi ini," tegas Leonard.

3 dari 3 halaman

Kronologi

Kajati Sulsel Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, kasus ini bermula pada Tahun 2015, di mana Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang sedang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo. 

Untuk kepentingan pembangunan bendungan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan (Gubernur Sulsel) lalu mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng yang dimaksud.

Adapun lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng memerlukan lahan atau tanah yang terdiri dari lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng, Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan HPT.

Selanjutnya dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan yang salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo. Maka pada 28 Mei 2019 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 91.337 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 Ha di Provinsi Sulawesi Selatan.

Setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, kemudian dimanfaatkan oleh oknum di Kantor BPN Kabupaten Wajo yang selanjutnya memerintahkan beberapa honorer di kantor tersebut untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) secara kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada 15 April 2021.

Sporadik tersebut lalu diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan sporadik itu seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah yang dimaksud padahal diketahuinya bahwa tanah tersebut merupakan kawasan hutan.

Sebanyak 246 bidang tanah kemudian dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Namun, berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) tampak bahwa eks kawasan hutan tersebut di Tahun 2015 masih merupakan kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.

Dengan demikian lahan tersebut, tidak termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.

Setelah Satgas A dan Satgas B menyatakan 246 bidang tanah yang dimaksud telah memenuhi syarat untuk dibayarkan ganti ruginya, maka selanjutnya dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang berikutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk menilai harga tanah, tanaman, jenis serta jumlahnya. 

Dalam pelaksanaannya, KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel.

Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan kemudian meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah untuk selanjutnya melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 246 bidang tanah seLuas 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.

Namun karena 246 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan, maka pembayaran 246 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623.

Pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan oleh instansi yang memerlukan tanah seharusnya cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Video Terkini