Sukses

Melihat Desa di Pedalaman Kalimantan Manfaatkan Mata Air untuk Sumber Energi Listrik

Desa Tepian Terap di Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur yang berada di pedalaman Kalimantan berhasil mandiri secara energi.

Liputan6.com, Kutai Timur - Sebuah desa di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur mampu memenuhi kebutuhan energi listriknya secara mandiri. Desa itu adalah Desa Tepian Terap yang terletak di Kecamatan Sangkulirang.

Desa ini, sejak tahun 2015, sudah memiliki pembangkit sendiri yaitu Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLMH). Desa ini kini bisa disebut mandiri dalam memenuhi kebutuhan listriknya sendiri.

Kepala Desa Tepian Terap Eko Sutrisno menjelaskan, Desa Tepian Terap memang cukup jauh dari pusat pemerintahan, baik dari kabupaten maupun kecamatan. Mereka sangat sadar jika akses energi listrik dari PLN akan sangat sulit masuk ke desanya.

“Kami ini terpencil sehingga perlu usaha mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti listrik,” kata Eko Sutrisno kepada liputan6.com, Selasa (4/7/20230).

Di Pedalaman Kalimantan Timur, masih banyak desa atau pemukiman penduduk yang belum tersentuh akses kebutuhan dasar seperti listrik. Luasnya wilayah serta akses jalan yang minim membuat prosentase elektrifikasi tak pernah menyentuh angka maksimal.

Misalnya di Kabupaten Kutai Timur, rasio elektrifikasi untuk jaringan PLN saja hanya mencapai 82,17 persen. Ini mengindikasikan, jika secara keseluruhan rasio tersebut di atas 90 persen, maka cukup banyak wilayah yang memenuhi sumber listriknya tidak dari PLN.

Lalu bagaimana desa-desa atau kawasan yang jauh dari jaringan listrik PLN memenuhi kebutuhan listriknya? Jawabannya tentu saja dengan menggunakan mesin generator berbahan bakar solar.

Mesin generator atau biasa disebut mesin genset menjadi solusi termudah memenuhi kebutuhan listrik, baik kelompok, maupun individu. Sayangnya, penggunaan mesin ini cukup boros, mahal, dan tidak ramah lingkungan.

Biaya yang dibebankan kepada warga tiap rumah sangat besar, bahkan menyentuh Rp1 juta per bulan. Terkadang, BBM jenis solar sulit didapat dan langka. Maka, warga desa di Pedalaman Kalimantan hidup dalam kegelapan.

Eko Sutrisno menceritakan perjalanan panjang desanya hingga bisa mandiri untuk memenuhi kebutuhan listriknya sendiri. Di Tengah keterbatasan, mereka mencoba melihat pontensi yang dimiliki desa tersebut.

“Kami punya mata air yang tak pernah berhenti mengalir dan debitnya tak berkurang meski kemarau 7 bulan sekalipun,” katanya.

2 dari 7 halaman

Diawali Kincir Air

Pada 2010 silam, melalui program PNPM Mandiri, pemerintah desa bersama warga sepakat membuat kincir air. Pendanaannya dari dana PNPM dibantu swadaya masyarakat dan sumbangan pihak lain.

“Kita inisiasi sejak 2006, kemudian dimatangkan pada 2008 dan 2010 jadi,” kenang Eko.

Kincir itu pun jadi lengkap dengan dinamo serta alian listrik ke rumah-rumah. Aliran air yang digunakan bersumber dari sebuah mata air yang dinamakan Mata Air Jiwata.

Saluran air dari mata air dibuat menyempit agar debit air mampu menggerakkan kincir air. Semua proses persiapan pun tuntas dilakukan.

“Hari yang ditunggu itu tiba. Kami memulai menggerakkan kincir dan akhirnya berhasil,” kata Eko Sutrisno kemudian melanjutkan cerita sambil tersenyum.

Tak disangka, kincir itu berhasil. Dinamo yang bergerak menghasilkan energi listrik. Namun sayang, mereka tidak menghitung kekuatan kincir menahan derasnya debit air.

Kincir itu rusak. Dinamo hanya berputar sebentar. Aliran listrik memang mengalir ke rumah-rumah warga, tapi hanya dua jam.

“Kami sempat bahagia, tapi hanya sementara,” katanya seraya tertawa lepas.

Mimpi punya aliran listrik saat itu pun buyar. Mereka sempat menyerah dan kembali ke mesin generator berbahan bakar solar. Warga pun masih harus membayar mahal untuk sekedar ada penerangan di malam hari.

“Sudah mahal, cuma mengalir enam jam pula,” kenangnya.

3 dari 7 halaman

Tak Menyerah

Bukannya menyerah, kegagalan di kincir air membuat pemerintah desa bersama warga makin semangat. Mereka tak lagi memikirkan kincir air, tapi cara lain agar punya aliran listrik 24 jam.

Akses media sosial pun dimaksimalkan. Secara mandiri mereka melakukan riset kecil-kecilan. Semua informasi ditampung.

“Bahkan kami mencari di youtube, daerah mana saja yang memanfaatkan aliran air untuk pembangkit listriknya. Sekitar 2013 apa 2014, ketemu pembangkit mikro hidro. Kami gali terus soal itu,” kata Eko.

Eko yang kala itu masih jadi Bendahara Desa Tepian Terap pun terlibat mencari informasi lokasi pembuatan turbin untuk PLMH.

“Kami minta bantuan pihak kecamatan dan kabupaten untuk menghubungkan ke pembuat turbin itu,” kata Eko.

Usaha itu pun berhasil. Teknisi dari Blitar didatangkan untuk melihat langsung kondisi debit air dari Mata Air Jiwata.

Teknisi tersebut kemudian mendukung rencana Pembangunan PLMH karena konsistensi debit aliran air. Rancangan Anggaran Biaya (RAB) pun dibuat. Pendanaan berasal dari Dana Desa, CSR Perusahaan sawit di sekitar desa, dan juga dibantu swadaya masyarakat.

Pada 2015 itu, mimpi Desa Tepian Terap punya aliran listrik akhirnya berhasil. PLMH beroperasi dengan baik hingga saat ini. Pengelolaanya diserahkan ke BUMDes Jiwata Energi milik Pemerintah Desa Tepian Terap.

Direktur BUMDes Jiwata Energi, Anwar menuturkan, listrik yang dihasilkan cukup besar. Hanya dengan satu trafo, mampu mengaliri listrik ke 300 rumah.

“Voltase yang dihasilkan dari tiga fase 380- 400 Volt. Untuk yang satu fase ke konsumen kita menghasilkan 220- 230 volt. Daya maksimum bisa menghasilkan 100 KVA,” papar Anwar.

Jaringan yang digunakan adalah jaringan tegangan menengah atau biasa disebut Jaringan TM. Ini dipilih untuk mengantisipasi hilangnya arus atau daya saat dialirkan.

“Karena jarak antara sumber daya dengan konsumen sekitar kurang lebih 3 kilometer,” ujar Anwar.

Aliran listrik ke rumah-rumah menggunakan tiang kayu ulin. Sementara BUMDes menyediakan secara gratis untuk meteran listrik. Tak ada biaya yang dikeluarkan untuk sambungan baru.

4 dari 7 halaman

Perdebatan Soal Tarif

Seperti biasa, selalu ada perdebatan di masyarakat saat penentuan tarif. Itu pula yang terjadi di Desa Tepian Terap. Rapat besar penentuan tarif pun jadi panjang.

Eko Sutrisno kemudian datang untuk menenangkan warga yang menuntut agar tarif listrik murah, kalau perlu gratis. Sementara pemerintah desa fokus pada upaya pembiayaan perawatan untuk keberlanjutan PLMH.

“Akhirnya waktu itu kita sepakati tarif Rp70 ribu per ampere per rumah. Untuk warga yang kurang mampu kami subsidi,” kata Eko.

Harga tersebut bukan tanpa penolakan. Warga berdalih, sumber air dari Mata Air Jiwata itu juga gratis dan tidak perlu keluar biaya.

“Saya bilang ke warga, kalau ada yang bersedia jadi operator 24 jam penuh tanpa dibayar, siap keluarkan uang untuk operasional turbin, atau punya uang jika ada sparepart yang rusak, bisa gratis. Tapi saat itu tak ada yang jawab hingga akhirnya tarif ditentukan,” cerita Eko sambil tersenyum.

Kini, harga per ampere hanya Rp100 ribu. Untuk ukuran rumah tangga sederhana, 1 ampere saja cukup. Namun untuk rumah tangga besar bisa menggunakan 2 ampere dengan harga dua kali lipat.

Tarijo, seorang warga Desa Tepian Terap, mengaku bersyukur dengan hadirnya PLMH. Dahulu, sebelum ada pembangkit ini, dia sekeluarga menggunakan mesin genset pribadi.

Biayanya paling murah Rp1 juta per bulan. Itu pun dengan waktu yang tak lama dan perangkat elektronik terbatas. Tarijo mengambil daya 2 ampere untuk memenuhi kebutuhan listrik keluarga besarnya.

“Kami bersyukur sekali dengan hadirnya PLMH ini, hanya Rp200 ribu sebulan sudah bisa menyalakan semua perangkat elektronik di rumah tangga, termasuk mesin cuci,” kata Tarijo.

Kehadiran listrik 24 jam tentu membantu peningkatan ekonomi yang berdampak pada kesejahteraan warga. Juga membantu penerangan para pelajar yang ingin belajar tanpa terganggu gulita malam.

5 dari 7 halaman

Energi Terbarukan

Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mengapresiasi Desa Tepian Terap dalam memanfaatkan potensi desa untuk menjadi pembangkit listrik. Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman mengakui kabupaten yang dipimpinnya sangat luas.

Jarak antar desa yang sangat jauh membuat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti listrik dan air bersih jadi sangat sulit dan membutuhkan dana yang besar.

“Kami lebih luas dari Provinsi Jawa Tengah,” kata Ardiansyah, Senin (3/6/2023).

Beberapa desa atau kawasan pemukiman, sejak lama didorong untuk membuat pembangkit listriknya sendiri. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Kutai Timur juga didorong untuk menyuplai energi listriknya ke warga sekitar perusahaan.

“Desa Tepian terap ini sangat kita apresiasi. Karena ini sekaligus sebagai tindak lanjut daripada instruksi presiden soal energi terbarukan kita,” katanya.

Saat ini, tambahnya, selain PLMH di Desa Tepian Terap, Kabupaten Kutai Timur juga punya pembangkit listrik bio energi dari cangkang kelapa sawit. Perusahaan kelapa sawit didorong untuk melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan listrik perusahaan, sekaligus dialirkan ke warga sekitar.

“Dan beberapa sudah dialirkan kepada masyarakat. Seperti beberapa desa di Kecamatan Karangan, beberapa wilayah di Kecamatan Muara Bengkal. Dan sekarang dalam proses untuk enam desa di Kecamatan Sandaran. Dan ini luar biasa karena masyarakat terayomi sekali,” papar Ardiansyah.

6 dari 7 halaman

Ancaman Mata Air

Mata Air Jiwata yang jadi sumber energi listrik di Desa Tepian Terap bukan tanpa ancaman. Hutan yang menjadi pelindung mata air tersebut masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) sebuah perkebunan kelapa sawit.

Tentu saja, jika perusahaan ini ingin meluaskan areal perkebunannya, maka hutan akan dibabat habis. Pemerintah Desa Tepian Terap terus berkomunikasi dengan pihak perusahaan agar kawasan seluas 211 hektar itu tidak hilang.

“Komitmen baru sebatas komunikasi. Tapi kami akan berusaha agar hutan tersebut tidak hilang untuk menjaga debit mata air,” kata Kepala Desa Tepian Terap, Eko Sutrisno.

Eko pun berharap ada bantuan dari pihak lain, terutama Kementerian Kehutanan, agar bisa mengubah status kawasan tersebut. Mereka pun punya cita-cita agar hutan tersebut menjadi hutan desa, syukur-syukur bisa menjadi hutan konservasi.

“Hutan seluas 211 hektar ini sangat penting untuk keberlangsungan Mata Air Jiwata. Kami pun punya mimpi untuk mengembangkan hutan tersebut sebagai tempat edukasi sekaligus wisata yang mengenalkan ragam pepohonan Kalimantan seperti Pohon Ulin maupun Pohon Kapur,” papar Eko.

Tak hanya sebagai sumber energi listrik, Mata Air Jiwata juga menjadi sumber air bersih warga desa. Jika hutannya hilang, bisa dipastikan mata airnya juga terancam.

Desa Tepian Terap adalah potret Masyarakat desa yang berjuang melawan keterbatasan. Terpencil dan nyaris terisolir tak membuat desa ini berhenti mengembangkan potensi yang dimiliki. Namun, Desa Tepian Terap juga butuh bantuan agar sumber kebutuhan dasarnya tidak hilang.

7 dari 7 halaman

Bukan Energi Alternatif

Finance Campaigner 350 Indonesia, Suriadi Darmoko menjelaskan, di tingkat komunitas seperti desa sebenarnya sudah bukan bagian dari isu transisi energi. Masyarakat pada tataran akar rumput sudah bisa memaksimalkan sumber energi di kawasan tempat tinggal masing-masing.

“Pada dasarnya memang energi yang dibangkitkan di tingkat komunitas itu basisnya adalah energi terbarukan. Sehingga tidak bisa lagi kita sebut transisi energi,” kata Suriadi, Selasa (8/8/2023).

Pada tingkat komunitas seperti masyarakat desa, mereka memang membangkitkan energi terbarukan. Lebih spesifik lagi, sambungnya, energi terbarukan yang dibangun berdasarkan potensi yang ada di komunitas itu.

Seharunya ini dilihat oleh pemerintah sebagai peluang untuk diimplementasikan di banyak desa di Indonesia. Ini tentu saja untuk memenuhi rasio elektrifikasi.

“Meskipun rasio elektrafikasi di tingkat desa cukup bagus, tetapi pada dasarnya banyak kampung-kampung yang belum teraliri listrik. Sehingga ini jadi jalan pemenuhan kebutuhan energi,” katanya.

Suriadi menegaskan, setiap desa bisa mandiri dan berdaulat dalam pemenuhan energi seperti Desa Tepian Terap. Jika mampu berdaulat dan mandiri secara energi, Suriadi yakin  desa tersebut juga akan mampu mandiri dan berdaulat secara ekonomi.

Desa Tepian Terap bisa menjadi potret kemandirian dan kedaulatan energi di tingkat desa. Bahkan desa ini harusnya bisa mewakili desa-desa lainnya di Indonesia yang bisa memaksimalkan potensi desanya untuk jadi pembangkit energi listrik.

“PLMH seperti di Desa Tepian Terap harusnya tidak lagi disebut pembangkit listrik alternatif, tetapi lebih layak disebut sebagai sebuah solusi,” ujar Suriadi.

350 Indonesia, sebuah LSM lingkungan internasional yang fokus pada krisis iklim, meyakini jika Desa Tepian Terap patut dicontoh dan jadi inspirasi. Upaya mandiri secara energi merupakan bentuk protes desa kepada korporasi besar yang menguasai listrik selama ini.

“Saya rasa apa yang ada di Desa Tepian Terap sangat mewakili dan bisa menjadi inpirasi banyak desa di Indonesia. Jika kemudian ini kita amplifikasi, tetapi juga pemerintah menjadikan Desa Tepian Terap dan desa lainnya yang sudah memanfaatkan energi terbarukan berbasis air untuk dijadikan contoh,” ujar Suriadi.