Sukses

Walhi Jambi Sebut Korporasi Menjadi Biang Kekeringan di Lahan Gambut

Paradigma pencegahan karhutla di lahan gambut yang dilakukan pemerintah harus diubah. Walhi Jambi mendesak prioritas pencegahan mestinya menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan perusahaan di wilayah gambut.

Liputan6.com, Jambi - Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi menyebut perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang beroperasi di lahan gambut menjadi biang kekeringan, sehingga gambut kering di wilayah sekitarnya dan di dalam perusahaan itu menjadi lebih rentan terbakar dan membara.

"Kenapa gambut sekarang mudah kering? itu semua akibat pembangunan kanal oleh perusahaan. Dalam investigasi kami, kekeringan di lahan gambut sebagian besar karena ulah perusahaan," kata Manajer Kajian dan Pembelaan Hukum pada Walhi Jambi, Dwi Nanto di Jambi, Jumat (18/8/2023).

Dalam sebuah refleksi 78 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Dwi bilang, Provinsi Jambi yang memiliki lahan gambut cukup luas masih dibayang-bayangi oleh bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Dalam artian, masyarakat belum sepenuhnya merdeka mendapatkan udara yang sehat.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Jambi telah terjadi. Pada 9 Agustus 2023, kebakaran itu telah melalap lahan gambut di Desa Talang Duku, Kecamatan Taman Raja, Kabupaten Muaro Jambi. Kebakaran tersebut terjadi di sekitar area wilayah kerja sebuah perusahaan perkebunana kelapa sawit.

Kebakaran lahan yang terjadi di desa tersebut, kata Dwi, tepat berada diwilayah Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Batanghari – Sungai Kumpeh. Dalam peta KHG tersebut, terdapat 17 perusahaan sawit dan satu perusahaan HTI yang merangsek di wilayah hidrologis gambut tersebut.

"Titik kebakaran di desa ini tidak jauh dari wilayah perusahaan," ujar Dwi.

Kebakaran lahan yang terjadi di kawasan gambut, Dwi bilang, tidak bisa dilepaskan oleh buruknya tata kelola yang dilakukan perusahaan. Dengan melakukan proses pengeringan air gambut di wilayah konsesinya sangat memudahkan terjadinya peristiwa karhutla itu.

"Kebakaran hutan dan lahan akan makin muda di seluruh wilayah Kesatuan Hidrologi Gambut, baik yang berada di dalam wilayah konsesi perusahaan itu sendiri maupun di wilayah kelola masyarakat yang berada diwilayah sekitarnya," kata Dwi menjelaskan.

Hal ini pun sejalan dengan data titik panas di Provinsi Jambi. Dalam kurun waktu 2023, julah titik panas (hotspot) yang terpantau sebanyak 129 titik. Dari jumlah tersebut kawsan HTI paling banyak terdeteksi di wilayah perusahaan HTI sebanyak 32 titik dan kawasan restorasi ekosistem (RE) sebanyak 5 titik.

Luas karhutla yang terjadi di Provinsi Jambi mencapai 229 hektare, menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jambi, dalam kurun waktu Januari-Agustus

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 2 halaman

El Nino dan Karhutla Gambut Sudah di Depan Mata

El Nino sudah singgah di Indonesia. Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi Indonesia tak luput dari bencana kekeringan.

Fenomena El Nino ini membuat durasi musim kemarau tahun ini lebih panas dan panjang. Kondisi ini dikhawatarikan akan berdampak pada ketersediaan air. Lahan gambut yang sejatinya menyimpan air pasti akan kerontang dan mudah terbakar.

Akibat fenomena El Nino ini potensi karhutla masih sangat besar. Dalam kasus karhutla di Provinsi Jambi yang dibarengi dengan El Nino ini, harus disikapi dengan tindakan pencegahan yang masif.

Walhi Jambi menuntut pemerintah agar lebih progresif dan tegas untuk menangani korporasi biang karhutla. Pemerintah mesti lebih tegas melakukan penindakan terhadap perusahaan yang tidak mematuhi aturan dengan mengeringkan lahan gambut.

Berdasarkan data Walhi Jambi, sambung Dwi, luas gambut yang tersebar di Provinsi Jambi mencapai 716.838 hektare. Dari luasan tersebut, menurut analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, sekitar 70 persen atau 400 ribu luas gambut telah dibebankan izin.

Gambut merupakan kawasan yang unik. Lahan gambut adalah timbunan pepohonan, rerumputan, jasad hewan, dan sisa-sisa materi ogranik lainnya yang terbentuk selama ribuan tahun silam.

Namun sayang, gambut dengan ekosistem yang unik dan mampu menyerap karbon, justru kini mengalami kerusakan. Gambut telah dieksploitasi oleh industri kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Kedua industri tanaman monoklutur itu membuka kanal-kanal, mengeringkan air.

Kanalisasi dibangun secara masif untuk mengeringkan gambut dan juga pembakaran. Gambut yang kering menjadi rawan terbakar hingga akhirnya melepaskan karbon ke atmosfer sehingga memperparah laju perubahan iklim.

Selama ini menurutnya, dalam kasus karhutla tahun-tahun sebelumnya, pemerintah hanya melihat dari aspek adanya pelaku pembakaran. Padahal, aspek yang paling penting dari karhutla ini adalah tata kelola perizinan di lahan gambut itu sendiri.

Sudah jelas di dalam PP No 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menyebutkan, tinggi muka air tanah tidak boleh lebih dari 40 cm di bawah permukaan gambut. Jika lebih tinggi, maka akan bisa menyebabkan kerusakan fungsi budidaya.

"Gambut itu harus basah. Tapi di lapangan, ada yang sampai 10 meter baru ditemukan air. Ini semua dampak pembangunan kanal oleh perusahaan," ujarnya.

Walhi Jambi mendorong paradigma pencegahan gambut yang dilakukan pemerintah harus diubah. Dwi Nanto mengatakan, prioritas pencegahan mestinya menggunakan pendekatan evaluasi tata kelola perizinan di wilayah gambut.

"Jika priortas pencegahan yang dilakukan tidak dengan menggunakan pendekatan evaluasi tata Kelola perizinan industi diwilayah gambut, maka sangat berpeluang besar menjadi peristiwa yang terus berulang dengan kerugian besar dan akan turut mewarnai setiap refleksi kemerdekaan Indonesia pada setiap tahunnya," kata Dwi.

"Pemerintah harus berani menindak perusahaan yang sengaja mengeringkan gambut," demikian Dwi.