Liputan6.com, Jakarta - Mohammad Hatta merupakan tokoh bangsa sosok kutu buku yang pendiam, diibaratkan seperti gunung berapi, ia menanti waktu yang tepat untuk mewujudkan ide-ide gagasannya. Dari pemikirannya itu akan menjadi keputusan penting bagi bangsa yang juga ditakuti oleh lawan-lawan politiknya.
Hal itu diutarakan Muhidin M. Dahlan, seorang penulis terkenal yang aktif menuangkan pikirannya melalui platform Radio Buku saat Podcast Edisi Spesial Ulang Tahun Moh. Hatta ke 121 bersama host Naza Yusril Yudansa yang tayang pada akun Youtube BKN PDI Perjuangan, Minggu (13/08/2023).
Muhidin memaparkan buku menjadi suatu hal yang sangat penting bagi sosok Moh. Hatta, saat pertama kali sampai di Belanda, Hatta langsung mencari perpustakaan dan toko buku untuk melengkapi koleksi-koleksinya.
Advertisement
Berbeda dengan pemuda pada umumnya, buku menjadi dalih sosok Hatta untuk menolak ajakan temannya untuk dugem. Setiap harinya Hatta rutin dan disiplin untuk membaca dan menulis buku. Papar pria yang aktif kerja kronik ini.
Saking cintanya pada buku seorang Mohammad Hatta membawa 16 peti besar kemanapun ia pergi dari Belanda sampai saat dirinya diasingkan di daerah Boven Digoel dan Banda Neira.
"Sosok Hatta juga rela meminjamkan buku-buku miliknya kepada tawanan lain serta warga sekitar, bisa dikatakan Hatta merupakan Bapak Taman Baca Masyarakat di Boven Digoul Papua," jelasnya.
Muhidin selanjutnya mengatakan bahwa Bung Hatta merupakan sosok yang lurus, lugu, dan kaku. Saking lurusnya godaan laki-laki seperti harta, tahta, dan wanita pribadi Hatta sudah kalis akan akan godaan-godaan tersebut.
Bahkan sosok Bapak Koperasi Indonesia ini sampai bersumpah untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Dan benar saja sumpah itu ditepatinya, setelah Indonesia merdeka barulah Hatta menikah dengan Siti Rahmiati dan uniknya menjadikan buku berjudul 'Alam Pikiran Yunani' yang ditulisnya sendiri, sebagai mahar pernikahan mereka.
"Mohammad Hatta juga gemar menulis melalui majalah majalah perjuangan, salah satu yang terkenal adalah Daulat Rakyat," ujarnya.
Cara kepenulisan Bung Hatta sangatlah berbeda dengan Sukarno. Sukarno menulis dengan karakter seperti orang berpidato namun tulisan Hatta yang lebih terlihat berat dan panjang. namun meski terlihat tidak berbahaya di akhir orde lama tulisan-tulisan Mohammad Hatta justru dilarang untuk dipublikasikan.