Liputan6.com, Yogyakarta - Gasing merupakan salah satu mainan tradisional yang dulu sering dimainkan oleh anak-anak maupun orang dewasa. Para generasi 90-an atau generasi sebelumnya pasti pernah merasakan serunya permainan ini.
Permainan ini terbuat dari bambu atau kayu yang dimainkan dengan cara diputar di media yang datar. Gasing dapat berputar dan berpusat pada satu titik tumpu.
Mengutip dari surakarta.go.id, gasing termasuk mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi dan masih bisa dikenali. Tak hanya anak-anak, orang dewasa juga menyukai gasing dan ikut memainkannya.
Advertisement
Baca Juga
Permainan ini dimainkan dengan cara melilitkan tali ke leher gasing. Lalu, gasing diayunkan ke arah tanah atau ke tempat arena datar dengan cara melepaskan tali dengan cepat.
Selanjutnya, gasing pun akan berputar. Gasing yang mampu berputar paling lama akan keluar sebagai pemenangnya.
Mainan ini biasanya terbuat dari bahan bambu, kayu, atau bahan lainnya. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing.
Sementara tali gasing umumnya dibuat dari nilon. Namun, untuk tali gasing tradisional biasanya dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing juga berbeda-beda, bergantung pada panjang lengan orang yang memainkannya.
Gerakan gasing berdasarkan efek giroskopik. Gasing biasanya berputar terhuyung-huyung untuk beberapa saat hingga interaksi bagian kaki dengan permukaan tanah membuatnya tegak.
Setelah gasing berputar tegak untuk sementara waktu, momentum sudut dan efek giroskopik berkurang sedikit demi sedikit. Hingga akhirnya bagian badan gasing akan terjatuh secara kasar ke permukaan tanah.
Permainan tradisional nusantara ini juga banyak dimainkan di wilayah Kepulauan Tujuh (Natuna), Kepulauan Riau. Konon, di sana permainan gasing telah ada jauh sebelum penjajahan Belanda. Masyarakat di kepulauan Riau bahkan rutin menyelenggarakan kompetisi gasing.
Sementara itu, di Sulawesi Utara gasing mulai dikenal sejak 1930-an. Adapun masyarakat di Demak biasanya memainkan gasing saat pergantian musim hujan ke musim kemarau. Berbeda lagi dengan masyarakat Bengkulu yang ramai-ramai memainkan gasing saat perayaan Tahun Baru Islam.
Penyebutan gasing di tiap daerah pun berbeda-beda, mulai dari gangsing atau panggal (Jawa Barat dan DKI Jakarta), pukang (Lampung), begasing (Kalimantan Timur), apiong (Maluku), maggasing (Nusa Tenggara Barat), magassing atau aggasing (Bugis), paki (Bolaang Mangondow di Sulawesi Utara), kekehan (Jawa Timur), hingga gansing (Lombok). Sementara masyarakat Jambi, Bengkulu, Sumatra Barat, Tanjungpinang, dan Kepulauan Riau menyebutnya sebagai gasing.
Adapun di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nama berbeda. Jika terbuat dari bambu disebut gangsingan, sedangkan yang terbuat dari kayu dinamai pathon. Sementara di Solo, permainan ini kerap disebut gangsing, gangsingan, atau gasing.
Saat ini, keberadaan gasing perlahan tergeser dengan berbagai permainan modern maupun gim canggih di smartphone. Meski demikian, gasing juga masih bisa dijumpai di beberapa penjual mainan tradisional.
Penulis: Resla Aknaita Chak