Liputan6.com, Gorontalo - Musim kemarau yang melanda Provinsi Gorontalo memberikan dampak serius bagi ketersediaan pangan. Salah satunya harga beras yang mulai naik dalam beberapa pekan terakhir.
Pantauan Liputan6.com, harga beberapa jenis beras di pasar tradisional Gorontalo mulai merangkak naik. Kenaikan itu terjadi mulai pertengahan Agustus hingga saat ini.
Advertisement
Baca Juga
Salah seorang penjual beras, Yurni (45), mengaku yang memicu kenaikan harga beras di Gorontalo adalah, kurangnya ketersediaan beras di gudang. Berkurangnya stok diduga kuat dampak dari musim kemarau.
"Menurut pengalaman saya, biasanya setiap musim kemarau tiba, beras di Gorontalo menjadi mahal," kata Yurni.
“Stok di gudang kurang, petani menyimpan beras sendiri dan sebagian lagi gagal panen,” ujarnya lagi.
Dirinya merincikan, beras yang mengalami kenaikan adalah beras jenis pandan yang sebelumnya di ecer seharga Rp11 ribu, sekarang naik menjadi Rp12 ribu per liter.
Sementara itu, beras jenis Nurdin yang sebelumnya Rp610 ribu sekarang berada di kisaran harga Rp640 ribu per karung. Bahkan, pedagang memprediksi harga beras tersebut akan terus merangkak naik.
Sementara itu, jenis beras yang belum mengalami kenaikan adalah beras Ambor. Jenis beras ambor merupakan beras lokal yang hanayanya masih terbilang rendah yakin Rp9 ribu per liter, namun sulit didapatkan.
"Hanya beras lokal yang murah, tapi sulit ditemukan kalau musim kemarau begini," ungkapnya.
Yurni mengungkapkan, adanya kenaikan beras tersebut, rata-rata pedagang beras tersebut memasok dari Sulawesi Tengah (Sulteng). Mereka menilai, beras di Sulteng cenderung murah dan bisa dijual dengan untung yang sedikit.
"Kalau di Sulteng, beras masih murah. Kalau tidak dapat dari petani Gorontalo, kami ambil dari sana, murah meskipun keuntungan sedikit," ia menandaskan.
Penjelasan BMKG
Ancaman bahayanya El Nino, istilah yang menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia, terus menjadi perhatian. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyadari, El Nino sudah menyebabkan kekeringan di sejumlah daerah.
BMKG sudah memprediksi, musim kemarau saat ini sedang berlangsung bersamaan dengan fenomena El Nino tahun ini. Dampak dari fenomena tersebut mulai terlihat di beberapa wilayah dengan munculnya kondisi kekeringan.
"Peran aktif Bapak/Ibu di daerah masing-masing diperlukan untuk antisipasi berlanjutnya kekeringan, mempertajam monitoring, dan prediksi terhadap peluang terjadinya hujan di saat musim kemarau," kata Dwi Korita.
Dia menjelaskan, saat ini, terdapat tantangan besar dalam menghasilkan informasi iklim yang beragam dan akurat. Oleh karena itu, dibutuhkan inovasi yang berkelanjutan, termasuk dalam prosedur, metode, dan mekanisme penyusunan informasi iklim.
Dwikorita menyebut, pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara adalah resiko yang terjadi
"Dampaknya produksi pertanian menurun secara signifikan. Kekeringan menyebabkan tanaman mengalami gagal panen atau puso," ujarnya.
Dwikorita mengungkapkan, fenomena El Nino dan IOD Positif yang terjadi membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.
Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, kata dia, maka pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.
"Puncak kemarau kering ini diprediksi akan terjadi di bulan Agustus hingga awal bulan September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022," ia menandaskan.
Advertisement