Sukses

Kisah Ayif Penyintas Talasemia Cirebon Bergantung Hidup dari Transfusi Darah

Sejak kecil, ia selalu mendapat layanan medis di rumah sakit karena Talasemia yang ada dalam tubuhnya sehingga perlu rutin transfusi darah setiap minggunya.

Liputan6.com, Cirebon - Ayif Muhammad Aripin kini menjadi sosok yang tegar dan aktif berinteraksi bersama orang lain di lingkungannya. Bahkan, ia aktif ikut kegiatan warga desa hingga memberi motivasi kepada sesama penyintas Talasemia Cirebon.

Warga Desa Cikancas Desa Cikancas Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon tidak tahu apa yang sedang dialami Ayif Muhammad Aripin. Sejak kecil, ia selalu mendapat layanan medis di rumah sakit karena Talasemia di tubuhnya.

"Warga sekitar tahunya saya sering sakit kurang darah sering dibawa ke rumah sakit. Tapi respon mereka baik sekali biasa saja bahkan sangat perhatian," kata Ayif Muhammad Aripin kepada Liputan6.com, Rabu (23/8/2023).

Saat itu, suasana desa tempat tinggal Ayif memasuki waktu Magrib, dia bergegas pergi ke Musala Raudhatut Tholibin Desa Cikancas, Kecamatan Beber, Kabupaten Cirebon. Jaraknya kurang dari 1 kilometer dari rumah menuju ke musala.

Ayif bersama anak-anak dan warga sekitar dengan khusyuk mengikuti solat magrib berjamaah. Setelah itu, ia bersama rekan-rekannya mulai mengajarkan anak-anak desa mengaji.

"Kebetulan hari ini saya mengajar Iqra kepada anak-anak dan saya sebenarnya menggantikan teman sesama guru mengaji yang tidak masuk. Biasanya saya mengajar Al-Qur'an tapi tidak masalah itu hal teknis dan bisa disiasati," ujar Ayif.

Ayif bersama puluhan anak desa yang lain mengambil tempat belajar mengaji di bagian depan musala. Anak-anak dengan rapi dan tertib berbaris sambil duduk di lantai musala.

Ayif yang selalu berpenampilan sederhana ini mengajari anak-anak mengaji dengan tenang, mulai dari anak yang masih mengaji Iqra 1 maupun Iqra 6.

"Ya beginilah kegiatan saya kalau sudah di rumah malam mengajar ngaji setelah itu pulang istirahat. Besok paginya kerja di Kota Cirebon sampai siang terus lanjut ngajar lagi di Madrasah Al-Muawanah di dekat rumah. Kalau waktunya transfusi darah maka saya izin pulang kerja lebih cepat," sebut Ayif.

Jarak antara rumah Ayif menuju tempat kerjanya di Kota Cirebon kurang lebih 15,3 kilometer. Menurut peta digital, perkiraan waktu tempuh ke tempat kerja Ayif maksimal 22 menit perjalanan menggunakan sepeda motor.

2 dari 8 halaman

Sempat Terpukul

Rutinitas Ayif seakan menjadi penyemangat untuk tetap tegar dan bangkit dari beban hidup yang dipikulnya. Bahkan, kini Ayif tengah kuliah jurusan PAI di salah satu kampus swasta Islam di Cirebon.

Jauh sebelum Ayif menjadi seperti sekarang ini, dia kerap terpukul Talasemia yang ada dalam dirinya. Sejak kecil, Ayif sering keluar masuk rumah sakit hanya untuk transfusi darah.

"Dulu saya tidak tahu saya ini sakit apa sampai bolak balik rumah sakit dan yang saya alami selalu begini. Kemudian saya cari tahu sendiri ternyata saya sejak lahir sudah kena Talasemi. Sempat down tapi tidak baik juga untuk sendiri dan keluarga akhirnya saya berusaha bangkit dapat dukungan dari keluarga dan orang dekat," ujar Ayif.

Ayif mengaku pernah memasuki fase di mana perasaan emosinya tidak stabil sehingga membuatnya pesimis dapat hidup lebih lama. Namun, dukungan orang terdekat membuatnya kembali bangkit meski harus selalu transfusi darah tiap 3 minggu sekali dan konsumsi obat setiap hari.

Singkat cerita, Ayif mulai bangkit dan membuka diri kepada orang di sekitar tentang sakit yang dialaminya. Ia berusaha untuk menjadi manusia biasa dengan mengikuti sejumlah aktivitas yang disukainya.

"Alhamdulillah sampai sekarang tidak merasakan beban tidak dibedakan dengan orang lain di lingkungan maupun tempat kerja. Lebih semangat buktinya saya penyintas Talasemi tetap bisa berkarya dan bermanfaat bagi orang lain," ujar dia.

Selain aktif di lingkungan desa, Ayif juga aktif kampanye dan sosialisasi Talasemia. Ayif juga menjadi salah satu pengurus di Perhimpunan Orangtua Penderita Talasemia Indonesia (POPTI) wilayah Cirebon.

Ia dengan sesama penyintas yang lain rutin menggelar kegiatan kampanye dan pencegahan Talasemia. Salah satunya, yakni memastikan adanya pasokan darah segar untuk kebutuhan transfusi kepada para penyintas.

"Sosialisasi sudah pasti kemudian cari pendonor darah sampai kami memberi semangat kepada adik-adik penyintas talasemi agar tetap hidup layaknya manusia normal meski tiap minggu kita harus 'konsumsi darah'," kata Ayif.

Ayif maupun rekan sesama penyintas Talasemi lain mengaku kerap mengalami kekurangan darah. Paling parah, para penyintas talasemi harus bertahan berjuang mencari darah saat situasi pandemi Covid-19.

3 dari 8 halaman

Mengandalkan Pendonor

Ayif kerap meminta kerelaan orang terdekatnya agar mau mendonorkan darah demi keberlangsungan hidupnya. Meski demikian, dia mengaku tidak mudah meminta darah segar di masa pandemi karena harus melalui proses skrining terlebih dahulu.

Umumnya kebutuhan darah di Cirebon meningkat saat memasuki musim arus mudik dan balik lebaran Idul Fitri. Konsentrasi petugas kesehatan terbagi dengan menjadi bagian dari tim arus mudik.

"Biasanya kan kalau musim mudik ada saja kecelakaan sampai harus transfusi darah otomatis pasokan di PMI atau rumah sakit berkurang," tutur dia.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, Ayif menghubungi orang terdekat seperti keluarga maupun teman dekat. Ia mengaku, rata-rata penyintas talsemia sudah punya orang yang rela menjadi pendonor cadangan mengantisipasi apabila terjadi kekurangan darah.

Jika terjadi kekurangan darah, para penyintas tinggal menghubungi yang bersangkutan kemudian lakukan transfusi. Meski demikian, tidak mudah mencari orang yang mau mendonorkan darahnya untuk penyintas Talasemia.

"Kami punya grup sesama penyintas jadi informasi selalu update jika tidak ada darah biasanya rumah sakit selalu memberi tahu sebelumnya memang sedih dengarnya tapi kita harus kuat. Karena terlambat transfusi saja akibatnya tidak baik ke tubuh," ujar dia.

Jika penyintas Talasemi tidak mendapat dukungan dari orang terdekat akan berdampak buruk bagi kondisi psikologisnya. Penyintas bisa menutup diri enggan bersosialisasi bahkan tak mau berobat hingga menyebabkan kematian.

Bahkan, kata Ayif, dukungan tersebut harus diberikan secara tulus dari orang terdekat. Terutama para penyintas ketika memasuki usia sekolah hingga ia dewasa nanti.

"Bayangkan sejak sekolah sudah bolak balik izin ke rumah sakit, setelah dewasa bolak balik lagi ijin ke rumah sakit hanya untuk transfusi darah. Jika sekolah dan tempat kerja tidak mengerti dan memberi dukungan maka dampak buruknya ke diri sendiri," ujar Ayif.

Seumur hidup, Ayif harus bolak-balik masuk rumah sakit untuk transfusi darah dan mengonsumsi 14 macam obat setiap hari. Sejak pagi, ia mengonsumsi 6 obat bernama kelasi besi untuk meluruhkan zat besi dalam tubuh.

4 dari 8 halaman

Bukan Vampir

Obat yang diminum pagi untuk meluruhkan zat besi yang berlebih akibat dari transfusi darah. Kemudian 2 butir obat vitamin E, 1 butir vitamin D untuk menjaga kondisi tulang, dan 5 obat asam folat.

Jika terlewat minum vitamin E, akan berdampak kepada kulit tubuh yang pucat, kering dan gosong. Kemudian jika tidak mengkonsumsi obat pada sore hari akan berpengaruh kepada tulang dalam tubuh.

Sementara konsumsi asam follat pada malam hari untuk menstabilkan Hemoglobin tau protein yang ada dalam sel darah merah.

"Tidur juga harus teratur, tapi saya suka kesulitan tidur ngaruh ke HB, dan harus terjaga diatas 10 HB nya. Kalau di ilustrasikan mah seperti film vampir yang selalu minum darah manusia tapi bukan berarti kami seperti vampir hanya saja butuh transfusi darah rutin untuk keberlangsungan hidup kami karena dampaknya bisa menyebabkan kematian," ujar dia terkekeh.

Sebelum memutuskan menikah, Ayif terlebih dahulu melakukan skrining terhadap istri. Skrining tersebut dilakukan agar keturunannya nanti tidak lagi menjadi penyintas Thalasemia.

Ia mengaku, sebelum menikah, calon pujaan hati Ayip sempat kaget setelah diberi tahu sakit yang dialami seumur hidupnya itu. Namun, seiring berjalannya waktu, ia pun akhirnya meminang Titi Susanti hingga memiliki buah hati.

"Dikenalin sama teman saya dan dikasih tahu dari awal. Sebelum nikah istri sempat tanya ke teman dokternya dan diberi penjelasan. Alhamdulillah berkat peran penting Allah dia menerima skrining dan tidak ada thalasemia sehingga saya menikahinya," ujar dia.

Kendati demikian, sebagian besar penyintas Talasemia di Cirebon sudah tercover BPJS Kesehatan. Ayif mengaku tidak pernah menemukan kendala signifikan selama rutin menjalani transfusi darah menggunakan layanan BPJS kesehatan.

Bersama penyintas yang lain, Ayif kerap saling berbagi informasi dan membantu mendaftar ke rumah sakit untuk transfusi. Ia mengaku kehadiran BPJS kesehatan dalam menangani talasemia sangat bermanfaat.

"Paling kendalanya di sistem kadang eror dan saya biasanya daftar untuk 3 minggu kedepan agar tidak mendadak dan disiapkan darah sama rumah sakit. Ketika waktunya transfusi biasanya pagi saya cek HB darah dulu di laboratorium untuk menentukan kebutuhan transfusinya kemudian siangnya saya transfusi dan sore selesai terus pulang," ujar Ayif.

5 dari 8 halaman

Layanan BPJS Kesehatan

Ayif merupakan salah satu penyintas talasemia yang mendapat fasilitas JKN dari pemerintah daerah sejak tahun 2017. Sebelumnya, Ayif keluar masuk rumah sakit mengandalkan surat keterangan tidak mampu sehingga membutuhkan proses cukup lama untuk mendapat transfusi darah hingga ia kembali pulang ke rumah.

Namun, ia mengaku tidak semua kebutuhan penyintas ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Salah satu biaya yang ditanggung BPJS kesehatan selain darah adalah obat kelasi besi.

"Tapi semua sesuai kebutuhan penyintas ya kalau saya hanya dapat 4 kelasi besi dari yang seharusnya kebutuhan 6 tablet jadi sisanya nyari ke sesama penyintas yang punya lebihan obat. Begitu juga vitamin E dan sisa obat pendukung lain diluar BPJS saya beli sendiri. Secara keseluruhan tidak ada masalah dengan pelayanannya," ujar dia.

Kepala Bagian Penjaminan Manfaat dan Utilitas BPJS Kesehatan Cabang Cirebon Sri Wardhani mengatakan, Talasemia menjadi salah satu penyakit yang menjadi jaminan dalam JKN.

Penyintas talasemia tidak perlu lagi meminta rujukan ke puskesmas atau faskes pertama untuk mendapat layanan transfusi darah jika sudah terdaftar aktif di JKN.

Namun, jika ada ada yang terdiagnosa awal dan ingin dijamin oleh JKN. Maka peserta harus mengikuti proses rujukan awal melalui FKTP, FKTRL hingga mendapat rujukan ke dokter hermatolog anak.

"Intinya ada simplifikasi layanan untuk talasemia kecuali bagi penyintas yang baru pertama ingin mendapat layanan JKN harus mengikuti prosedur awal. Mekanisnya silahkan pilih sendiri mau mandiri atau ditanggung pemerintah. Setelah itu tidak perlu lagi meminta rujukan dari faskes awal bisa langsung mendaftar ke rumah sakit untuk mendapat transfusi darah maupun obat sesuai kebutuhan," ujar Sri Wardhani.

Kendati demikian, kata Sri, jika sebelumnya sudah terdiagnosa Talasemia dengan status pasien umum dan ingin mendaftar BPJS Kesehatan. Pasien bisa menempuh alur sesuai rujukan JKN dan langsung mendapat layanan kesehatan hari itu juga.

"Beda dengan asuransi swasta yang kalau sudah punya penyakit itu ya tidak mungkin bisa dijamin," sambung Sri. 

6 dari 8 halaman

Jumlah Penyintas

Sri memastikan BPJS Kesehatan akan menanggung biaya pengobatan Talasemia sesuai indikasi medis. Seperti kebutuhan transfusi darah dan obat yang rutih dikonsumsi penyintas.

Dari data yang dihimpun, rata-rata jumlah penyintas Talasemia yang ditanggung BPJS Cirebon mengalami peningkatan namun tidak signifikan. Data jumlah penyintas tahun 2019 sebanyak 364 orang, tahun 2023 naik 31 kasus menjadi 395 orang.

"Kami juga tetap melihat tren peningkatan Talasemi di wilayah kerja kami yakni Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Kuningan dan Indramayu. Tapi yang mantau langsung perkembangan penyintas tetap di faskes," ujarnya.

Pemilik Cattleya Daycare Cirebon Ayu Yuliani mengaku tetap menerima kondisi Ayif untuk bekerja membantu usahanya. Ayu yang juga perawat senior dan dosen di Poltekkes Tasikmalaya Cirebon ini mengaku selalu memperhatikan kondisi Ayif agar tidak drop di tengah aktivitas kerja.

Bahkan, Ayu selalu mengingatkan kepada pegawai yang lain agar selalu menegur Ayif jika lupa minum obat sesuai anjuran dokter. Ayu bersama dosen dan kampus kesehatan lain di Cirebon menaruh perhatian khusus untuk penyakit Talasemia.

"Talasemia ini tidak bisa disembuhkan karena bawaan genetika. Tapi bisa dicegah oleh karena itu penting untuk mendeteksi sejak dini," ujar Ayu.

Ia bersama tim FK Universitas Gunung Jati (UGJ) Cirebon aktif melakukan sosialisasi kepada kader di puskesmas. Mereka memberikan pengetahuan dan mengajarkan cara mendetksi dini penyakit Talasemia.

Menurut Ayu, solusi kongkrit untuk mencegah penyebaran talasemia adalah skrining sejak dini. Termasuk skrining terhadap pasangan yang akan menikah.

Namun, diakui tidak mudah untuk melakukan skrining mencegah talasemia karena karakter kultural masyarakat.

"Karena jika pasangan tersebut sama-sama resesif maka akan melahirkan anak yang salah satunya membawa talasemia. Tapi itu tidak mudah apalagi kalau si calon pengantin sudah saling suka," ujar Ayu.

7 dari 8 halaman

Pencegahan Dini

Salah seorang dokter dari FK UGJ Cirebon dr Tiar M. Pratinawati menjelaskan Talasemia adalah kelainan genetik dari keturunan yang terjadi perubahan pada sel darah merah terutama rantai hemoglobin.

Terjadi perubahan genetik yang menyebabkan struktur sel darah merah berbeda dari anak normal. Ia menyebutkan, pola penurunan talasemia adalah autosomal recessive.

"Jika seorang anak terdeteksi talasemia, maka orang tuanya pasti menjadi carrier atau pembawa. Di Indonesia ini carrier sudah banyak khususnya yang talasemia maka dari itu harus dicegah minimal tidak ada lagi carrier baru," ujar dia.

Oleh karena itu, untuk memutus mata rantai talasemia, seorang carrier tidak boleh menikah dengan carrier. Ia menyarankan, seorang carrier idealnya menikah dengan orang normal.

"Sehingga anaknya pilihannya hanya dua yaitu normal dan pembawa. Kalau memutus sampai zero talasemia emang sulit, tapi minimal tidak ada penderita atau hanya karier atau pembawa saja. Tapi harus menikah dengan orang normal," ujar dia.

Gencarnya kampanye talasemia di Cirebon salah satunya memberi edukasi kepada kader puskesmas untuk mendeteksi lebih dini. Ia menyebutkan, gejala awal talasemia adalah kondisi fisik pucat bisa dilihat dari kulit dan area bibir.

Kemudian mata bagian bawah lalu ujung kuku pucat, lalu nadi lebih cepat dari normalnya. Ciri lain Talasemia adalah kondisi fisik lebih lemah, letih gampang dan capek.

Kondisi tersebut karena sel darah merah berfungsi menyebarkan oksigen dan menyebarkan makanan ke seluruh tubuh terganggu. Namun, dari gejala tersebut belum tentu dinyatakan positif talasemia. Orang yang terkena gejala tersebut harus mengikuti skrining tambahan di laboratorium.

"Jika ada gejala yang mirip bawa ke puskesmas, minimal cek darah rutin dulu berapa HB nya, nanti biasanya ditentukan pemeriksaan lanjutan oleh dokter. Dari sosialisasi yang gencar ini para kader kami ajarkan untuk mendeteksi sejak dini karena lebih dekat dengan masyarakat." ujar dokter Tiar.

Talasemia sudah terlihat dari segi perubahan fisik. Sel sum-sum tulang dipaksa bekerja, maka terjadi perubahan fisik, seperti muka membesar, hati membesar, perut lebih gendut mirip gizi buruk akibat organ dalam siklus darah bekerja ekstra.

"Pertumbuhan terganggu kalau sel darah merah banyak dihancurkan, zat besi banyak terkumpul di tubuh kita maka hormon reproduksi terganggu, hormon pertumbuhan terganggu biasanya fisik anak lebih kecil atau menyusut. Kalau skrining makin kecil kita obati.

8 dari 8 halaman

Kesadaran Masyarakat

Ia menyebutkan, salah satu obat talasemia adalah kelasi besi yang berfungsi meluruhkan zat besi yang menumpuk akibat dari transfusi darah masuk ke penderita.

Salah seorang pemerhati Talasemia FK UGJ Cirebon FK UGJ Cirebon Donny Nauphar menyebutkan, jumlah penderita talasemia di Jawa Barat cenderung meningkat. Data terakhir tahun 2019 menyebutkan, penderita talasemia di Jawa Barat sebanyak 3636 orang.

Sementara data terakhir di Ciayumajakuning tahun 2020 sebanyak 120-165 orang yang terdeteksi. Ia meyakini, masih banyak masyarakat di Jawa Barat khususnya Cirebon belum terdeteksi talasemia.

"Kebetulan kemampuan deteksi dini talasemia di kita sudah mumpuni makannya selalu jadi rujukan kalau ada yang terkena gejala ya ke RSCM Jakarta atau RSHS Bandung. Tapi tetap harus dicegah dan minimalisir agar tidak menyebar luas," ujar dia.

Ia menyebutkan, talasemia sendiri terbagi menjadi dua kategori yakni mayor dan intermediasi. Untuk talasemia mayor solusinya adalah transfusi darah rutin dan konsumsi obat seumur hidup.

Untuk talasemia intermediasi bisa diminalisir dan tidak perlu transfusi darah reguler. Namun, penderita talasemia kerap menerima efek di ruang sosial.

"Dampaknya kan ke perubahan fisik seperti wajah, gangguan pekerjaan dan pendidikan sehingga secara psikologis bisa dikucilkan. Misal begini penderita sudah bekerja atau sekolah dan mereka harus rutin transfusi darah pasti selalu bolak balik cuti kerja sehingga efeknya ke penilaian dari atasan. Sementara di sekolah pasti mengganggu proses belajar mengajar," ujar dia.

Selain bergantung pada transfusi darah, talasemia masuk dalam kategori penyakit Katastrofik urutan ke 5 setelah gagal ginjal, jantung, kanker dan diabetes. Katastrofik adalah penyakit yang memakan biaya banyak, menyebabkan komplikasi bahkan kematian jika tidak diobati.

"Pengobatan untuk talasemia juga dilakukan seumur hidup," ujar dia.

Terpisah Ketua POPTI Cirebon Ella menyebutkan data terbaru penyintas Talasemia dari dua rumah sakit di Cirebon sebanyak 128 orang. Masing-masing 88 orang merupakan penyintas yang terdaftar di RS Gunungjati Cirebon, dan 40 orang di RS Ciremai Cirebon.

Menurut Ella, jumlah penyintas Talasemia di Cirebon relatif meningkat meski tidak signifikan. Data jumlah penyintas yang ada di dua rumah sakit tersebut naik turun.

"Tiap tahun selalu ada yang baru ada juga yang meninggal kemarin ada yang meninggal satu orang pasien dari RS Ciremai. Setelah lebaran juga ada yang meninggal satu orang pasien dari RS Gunungjati. Kenaikan tidak signifikan juga karena kadang ada pasien limpahan dari RS lain," ujar dia.

Meski tidak mengalami kenaikan signifikan, Ella tetap berharap ada perhatian khusus yang dilakukan sejumlah elemen untuk bersama mencegah penyebaran Talasemia agar tidak semakin meluas. Ia berharap, seluruh elemen berkolaborasi mendeteksi dini talasemia ini.

“Kalau bukan kita siapa lagi dan mencegahnya harus sejak dini,” ujar Ella.