Sukses

Siapa Melanggar HAM Warga Pulau Rempang?

Ditemukan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia, bahkan Komnas HAM meminta agar petugas keamanan ditarik dari Pulau Rempang.

Liputan6.com, Batam - Polemik kasus penggusuran warga di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) kian tidak menghasilkan titik temu antara pemerintah dengan masyarakat.

Menanggapi hal ini, aktivis kemaritimam asal Kepri, Siswanto Rusdi menilai agar dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk mencari permasalahan serta solusinya.

"Situasi ini begitu pelik. Pemerintah merupakan bagian dari persoalan ini sementara masyarakat Melayu (di Rempang) menunggu kepastian dan tentunya berharap keadilan. Saya usulkan untuk dibentuk TPF Independen yang isinya orang-orang berintegritas dan sama sekali tidak ada sangkut paut dengan pemerintah," kata Siswanto kepada Liputan6.com, di Jakarta, Selasa (12/9).

Menurut Siswanto usulan ini datang dari para akademisi lintas bidang dan aktivis yang sudah jemu melihat ketidakadilan begitu jelas di depan mata.

"Masyarakat ini sudah dalam kondisi lemah, sementara program investasi dari pemerintah pusat tetap harus berjalan, apapun yang terjadi, sampai satu tahun masa pemerintahan Jokowi ini," katanya.

Mengenai komposisi TPF Independen, Siswanto mengatakan harus berisi para akademisi dari universitas terkemuka khususnya di Kepri. Kemudian orang-orang LBH yang concern mengadvokasi warga dan pakar hukum adat.

"Pakar hukum adat ini penting karena permasalahan ini terkait dengan hak ulayat atau tanah adat dari masyarakat Melayu," kata Siswanto.

Pemerintah berencana mengusir warga pulau Rempang dengan istilah relokasi warga Rempang, Batam. Hal itu dilakukan karena adanya proyek pembangunan pabrik kaca terintegrasi hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Xinyi Group asal China.

Menko Polhukam Mahfud MD bahkan menyebut jika tanah yang ditempati warga merupakan hal kelola oleh PT Makmur Elok Graha sekitar tahun 2001. Warga Melayu menempati pulau Rempang dan Galang sudah ratusan tahun.

Mereka membuka lahan dan bahkan sempat mempunyai dokumen atas tanah yang mereka tempati. Warga menjadi kaget dan menolak karena tiba-tiba dokumen mereka dianulir meski diterbitkan pemerintah saat itu.

Dikutip dari laman resmi BP Batam, proyek Rempang Eco-City mencakup pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan renewable energy. Rencana pengembangan wilayah Rempang seharusnya telah dimulai sejak 2004 berdasarkan Akta Perjanjian No. 66 Tahun 2004 kerjasama antara BP Batam dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG).