Sukses

Jadi Warisan Budaya UNESCO, Ini Sejarah dan Makna Sumbu Filosofi Yogyakarta

Sumbu pusat Yogyakarta dibangun pada abad ke-18 oleh Sultan Mangkubumi dan telah berlanjut sejak saat itu sebagai pusat pemerintahan dan tradisi budaya Jawa.

Liputan6.com, Yogyakarta - Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai world heritage atau warisan dunia. Penetapan itu dilakukan dalam Sidang Luar Biasa ke-45 Komite Warisan Dunia di Riyadh, Arab Saudi, pada 10 hingga 25 September 2023.

Dikutip dari laman X @UNESCO, Sumbu Filosofi Yogyakarta disebut sebagai The Cosmological Axis of Yogyakarta and It's Historic Landmark.

"Inskripsi baru pada Daftar Warisan Dunia @UNESCO: Sumbu Kosmologis Yogyakarta dan Situs Bersejarahnya, #Indonesia 🇮🇩. Bravo!," tulis akun resmi tersebut.

Melansir laman resmi UNESCO, sumbu pusat Yogyakarta dibangun pada abad ke-18 oleh Sultan Mangkubumi dan telah berlanjut sejak saat itu sebagai pusat pemerintahan dan tradisi budaya Jawa. Sumbu utara-selatan sepanjang enam kilometer ini diposisikan untuk menghubungkan Gunung Merapi dan Samudra Hindia, dengan keraton (istana) di pusatnya, serta monumen budaya kunci yang menghiasi sumbu tersebut ke utara dan selatan yang terhubung melalui ritual.

Hal ini mencerminkan keyakinan kunci tentang kosmos dalam budaya Jawa, termasuk penandaan siklus kehidupan. Dikutip dari laman visitingjogja.jogjaprov.go.id, sejarah Sumbu Filosofi Yogyakarta dimulai saat Sultan Hamengku Buwana I membangun Yogyakarta.

Sultan Hamengku Buwana I menata Kota Yogyakarta membentang arah utara-selatan dengan membangun Keraton Yogyakarta sebagai titik pusatnya. Sultan juga mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton, dan Panggung Krapyak di sisi selatannya.

Dari ketiga titik tersebut apabila ditarik suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang lantas dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta. Secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) dan manusia dengan manusia (Hablun min Annas).

Selain itu, sumbu filosofis juga menunjukkan keselarasan manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (ether).